Jika kalian memiliki waktu selo, coba googling deh dengan keyword angkringan, dan kalian akan
menemukan bahwa angkringan juga dibahas di Wikipedia. Saya semakin penasaran
bagaimana sejarah angkringan itu. Angkringan yang sebagian orang juga
menyebutnya dengan HIK yang artinya Hidangan Istimewa Kampung bisa tersebar di
gang-gang perkampungan, dan dipinggir-pinggir jalan dengan gerobak khasnya.
Menu yang disajikan pun rata-rata sama, dan nasi kucing seakan menjadi menu
wajib dalam sebuah warung angkringan, selain itu menu-menu pendukung lainnya
seperti berbagai macam gorengan serta sundukan
(sate ati atau usus ayam)
Saya sendiri juga telah melakukan googling sana-sini untuk mengetahui
lebih pasti bagaimana sejarah angkringan. Angkringan yang semakin menjamur,
mengalahkan dominasi warung burjo di area perkampusan, bahkan ritel sekelas
alfamart maupun indomart. Hasil googling
sana-sini setidaknya telah membuat saya sedikit paham mengenai sejarah warung
angkringan. Agkringan yang berasal dari kata angkring atau duduk dengan santai.
Biasanya warung angkringan berupa gerobak dengan tempat duduk di sekelilingnya
sehingga pelanggan bisa leluasa untuk mengambil berbagai menu yang dihidangkan,
Jika penuh sang penjual pun sudah menyiapkan tikar untuk lesehan.
Warung angkringan berawal dari
seorang yang ingin mengais rejeki dengan berjualan di kota jogja. Dan perlu
diketahui bahwa orang yang pertama kali berjualan angkringan berasal dari
Cawas. Cawas adalah salah satu kecamatan di pinggir kota Klaten Jawa tengah,
yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukoharjo. Sebagai orang yang
dilahirkan di cawas, saya pun patut bangga dengan hal ini, hehehehe Dahulu
angkringan tidak seperti saat ini yang berjualan dengan menggunakan gerobak,
melainkan dipikul. Semakin berkembangnya jaman kemudian beralih menggunakan
gerobak. Kemudian angkringan tersebut diwariskan ke anak cucunya. Setelah
sekian lama, angkringan seakan menjadi komoditi yang menggiurkan sehingga
banyak orang yang beramai-ramai melirik bisnis ini. Saya menjadi heran, ini
menunjukan bahwa orang jawa adalah orang yang suka berbagi, coba anda bayangkan
jika orang yang pertama memperkenalkan warung angkringan hidup di jaman
sekarang yang pemikirannya sudah tercampur dengan paham-paham kapitalis, saya
yakin bahwa angkringan tak ubah menjadi sebuah merk dagang seperti industri
waralaba-waralaba yang berkembang saat ini. Betapa orang jawa dalam hal ini tidak
menunjukan sifat serakahnya, mungkin ia (pioneer angkringan) berpikir bahwa
rejeki itu yang menentukan Allah, tak perlu lah jual nama segala karena takut
tersaingi dengan munculnya warung-warung angkringan lain, dengan menjual brand
angkringan.
Saya sendiri sudah terlampau sering
mampir di warung angkringan, apalagi ketika masih menjadi mahasiswa, angkringan
seperti menjadi alternative tempat nongkrong. Di solo dulu saya sering
nongkrong di angkringannya Pak Hasan. Di angkringan Pak Hasan kami sering duduk
lama di sana terkadang hanya berisi canda tawa, ditengah himpitan tugas-tugas
kuliah, terkadang kami bermain kartu hingga larut malam. Meski kami hanya pesan
minum dan beberapa goengan yang nilainya tak sampai 5ribu rupiah, sang pemilik
angkringan pun tak harus pasang muka kecut. Betapa sabarnya sebagai pemilik
warung angkringan, nongkrongnya sih lama, tapi jajannya tak seberapa, hehehe. Sabar
dan tak pasang muka kecut lah yang membuat angkringan selalu ramai. Eh tapi
warung angkringan yang sebrang BNI itu, meski sang pemilik angkringannya galak
bin judes habis tapi ramai juga ding, apalagi tahu dan tempe bacemnya enak
banget len, hehehe. Namun setelah mengalami pasang surut karena kadang buka,
kadang tutup lama, kadang buka lagi, membuat saya dan teman-teman mulai mencari
tempat tongkrongan baru. Dan angkringan samping PMI lah tempat baru kami. Nongkrong
di warung angkringan samping PMI seakan menjadi agenda wajib setelah kami lelah
bermain futsal. Angkringan samping PMI tempatnya asik dan yang pasti banyak
pilihan menunya. Jika punya waktu selo, mari kita agendakan untuk sekedar
wedangan di sana.
Masih banyak angkringan yang telah
saya coba, dan dalam hal ini saya membuat riset kecil. Dan perlu anda ketahui
mungkin antara angkringan satu dengan yang lain mengusung menu yang sama, namun
ada ciri khas yang mungkin luput dri perhatian kalian. Saya sering mengamati
mengapa warung angkringan dari klaten selalu menyuguhkan hal lain dari
angkringan-angkringan lain. Dan saya lebih suka jika warung angkringan yang
berasal dari klaten, entah itu cawas, ataupun bayat, bayat adalah salah satu
kecamatan yang berada di barat cawas, terlepas asal-usul angkringan itu berasal
dari cawas, tapi ketika menyuguhkan wedang teh panasnya berbeda dengan
warung-awarung angkringan yang lebih ke duplikasi dari angkringan dari warga
cawas itu sendiri. Karena saya suka minum teh panas, dan saya paham betul ini
teh yang disuguhkan ke saya ini teh lama atau teh baru. Biasanya angkringan
yang berasal dari cawas maupun bayat, teh yang mereka buat, mereka tidak
langsung menyeduh teh ke dalam ceret atau teko besar, melainkan mereka membuat
“cem-ceman” di gelas gembreng terlebih
dahulu sehingga aroma teh yang sangat kuat akan terasa nikmat ketika disajikan
dengan air panas, mak nyus pokoknya. Terlebih ketika kondisi badan yang sedang gembreges akan terasa segar ketika
menikmati teh tersebut.
Menjamurnya angkringan, dan minat
kalangan muda yang hobi nongkrong di angkringan kini sudah tak peduli dengan
level sosial lagi, kini muncul lah “angkringan-angkringan” yang seakan khusus
untuk kalangan menengah, tentu dengan harga-harga yang yang murah nan merakyat
(untuk kalangan meengah). Sebut saja tiga ceret atau ceret telu di daerah
ngarsupuro, sebuah tempat nongkrong yang mengadopsi angkringan, karena
menu-menu yang coba mereka suguhkan adalah menu-menu khas angkringan. Selain
itu ada juga angkringan solo yang berada di barat manahan sebelum colomadu,
dari namanya saja sudah jelas, yaitu mengangkat harkat angkringan sehingga
mereka para kelas menengah tak sungkan untuk mampir dan ngangkring. Dan
angkringan yang selalu penuh hingga untuk parkir motor saja susah banget, yaitu
cafedangan. Konsep angkringan juga diterapkan dalam cafedangan. Bahkan untuk
memecah keramaian cafedangan sampai harus membuka cabang yang berada di
seberang jalan. Namun jangan harap dengan uang tujuh ribu rupiah kalian akan bisa menikmati 2 nasi
kucing, 2 gorengan, segelas teh panas dan sebatang rokok tentunya.
Angkringan. Seperti asal katanya
ngangkring yang berarti duduk dengan santai, memang tak perlu memandang kelas
sosial. Siapa pun kamu ketika duduk di warung angkringan adalah sama, yaitu tak
lebih dari seorang manusia yang ingin menjadi sebenar-benarnya manusia, saling bercerita,
senda gurau sambil tetap memutar-mutar rokok di sela-sela jari mereka, tanpa
perlu sibuk mengusap-usap layar gadget. Hari ini kita ketemu di angkringan
mana?
Referensi :
https://mysukmana.wordpress.com/2008/06/08/sejarah-angkringan-jogja-hiksolo/
Sumber gambar :www.kumpulancerita.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar