Suara di seberang sana tiba-tiba
terputus di tengah percakapan kami. Waktu aku lihat, ternyata kami sudah
lumayan lama mengobrol lewat sambungan telepon, kurang lebih sekitar 20 menit. Ada
dua kemungkinan kenapa tiba-tiba sambungan telpon kami terputus, kalau bukan
baterainya habis, ya pulsanya yang habis. Dan aku tidak akan menelponnya balik
untuk memastikan hal itu. Karena haram
bagiku ketika sedang di rumah membicarakan headcount,
man power plan dan masalah turn over. Iya, apalagi kalau bukan
masalah pekerjaan. Kala itu, aku juga ada agenda ke togamas, Solo untuk mencari
sebuah buku. Pikirku masalah pekerjaan akan lebih baik jika dibicarakan di
tempat kerja saja.
Tidak jarang juga aku tidak membalas
pesan singkat dari karyawan yang tiba-tiba sms nyelonong tanpa permisi atau memperkenalkan dirinya terlebih
dahulu. Bukannya sombong atau apa, tapi aku menganggap bahwa masalah pekerjaan
akan lebih baik jika diselesaikan ketika di tempat kerja.
Sore itu, aku segera memasukan
barang-barangku, seperti handphone, powerbank serta dompet, ke dalam tas
kecil yang biasa aku bawa ketika bepergian. Aku segera menuju ke togamas, Solo
dengan mengendarai motor matic-ku.
Kali ini, aku sedang tidak ingin mampir-mampir, ke tempat teman yang masih di Solo,
mampir ke kedai roti bakar Lambemoo, atau sekedar ke warung susu segar. Aku
sedang tidak ingin menziarahi masalalu dan tenggelam lagi dalam kenangan,
seperti kala Hujan, Kedai lambemoo dan kenangan.
Aku hanya ingin ke togamas saja, mencari buku yang aku inginkan, kemudian
pulang.
Kali ini aku lewat jalan Kartasura. Jalanan
sedang tidak begitu ramai, hanya ramai dan macet ketika berada di lampu merah pertigaan
dekat pasar Kartasura. Kemudian dari depan Solo
Square sampai di pertigaan dekat RS Panti Waluyo juga terlihat penuh sesak
oleh kendaraan. Aku terus melaju dengan kecepatan yang tidak begitu cepat,
namun juga tidak pelan juga. Sedang-sedang saja, rata-rata hanya dengan
kecepatan 60 km/jam.
Perjalananku sedikit terganggu ketika
palang kereta tiba-tiba menghadang laju kendaraanku dan pengendara lain. Aku
berhenti tepat di belakang palang kereta api. Kala itu, aku tidak menyumpal
telingaku dengan headset untuk
mendengarkan lagu-lagu yang tersimpan di handphone-ku.
Suara sirine saat palang kereta menghadap terdengar begitu jelas. Aku melihat
arah dari kanan dan kiri, memastikan dari arah mana kereta itu tiba. Aku
melihat ke arah stasiun purwosari, nampak sorot lampu kereta yang hendak
melaju, yang semakin lama semakin mendekat. Kereta lokal menuju Jogja dengan
laju tidak begitu cepat, perlahan melintas memotong jalan. Iya, kereta prameks
dengan gerbong yang tidak panjang namun terlihat penuh sesak oleh penumpang.
Melihat deretan gerbong prameks yang
tidak begitu panjang dengan laju yang bisa dibilang pelan itu. Aku jadi
teringat dengan perjalananku menuju Jogja kala itu. Perjalanan yang merupakan
pengalaman pertamaku pergi ke Jogja dengan kereta. Karena biasanya aku lebih
suka mengendarai motor ketika hendak ke Jogja.
Aku masih ingat ketika aku hendak pergi
ke jogja, sorenya aku membeli tiket, kemudian aku berangkat sehabis sholat magrib.
Aku menghubungi Johan yang kala itu singgah di Bantul, tepatnya pada sebuah
ruko yang terlatak di jalan Parangtritis.
Aku menghubungi Johan, agar berkenan
menjemputku di stasiun tugu, serta berkenan untuk memberiku tumpangan barang
semalam saja. Dan tentu aku juga berharap ia mau mengantarku pagi-pagi untuk ke
stasiun tugu lagi, karena aku mendapat telepon dari rumah agar segera pulang
keesokan harinya. Keesokan harinya, ibuku akan mengadakan acara syukuran. Aku
tidak tahu dalam rangka apa syukuran itu. Kelulusan kuliah kah? Rasa-rasanya
bukan!
Aku sampai di stasiun lima menit
sebelum keberangkatan. Ketika aku sedang memarkirkan motor, nampak sudah ada
kereta di barisan keberangkatan. Sengaja aku datang menjelang keberangkatan
saja, karena menunggu adalah hal sangat melelahkan. Sepertinya halnya rindu
kepada sang kekasih.
Aku memasuki gerbong kereta, dan terlihat
masih sepi. Aku menuju di tempat duduk yang masih kosong. Aku duduk di dekat
jendela kereta. Tak lama kemudian ada dua Bapak-bapak duduk tepat di depanku, nampak
mereka baru pulang bekerja. Waktu aku tanya, pulang pergi dengan kereta adalah
bagian dari rutinitas yang harus mereka jalani. Nampak wajah-wajah sedang
kelelahan. Mereka sering memanfaatkan
waktu di kereta untuk beristirahat. Ia memilih tidur ketika kereta sudah mulai
berjalan pelan menuju Jogja.
Kereta berhenti lagi di stasiun
purwosari. Penumpang mulai ramai, ada yang pulang kerja, nampak juga
mahasiswa-mahasiswa yang sedang merindukan rumahnya, serta tidak sedikit pula orang-orang
yang hanya sekedar main ke Jogja seperti yang kulakukan.
Seorang wanita yang usiaku kira-kira seusia
dengan kakakku, tiba-tiba dari depan menuju ke tempatku, yang kebetulan kursi
di sebelahku masih kosong. Aku yang awalnya menyumpal telingaku dengan headset untuk mendengarkan lagu-lagu
sendu untuk mengiringi perjalananku pun harus aku lepaskan. Ia berkata
“Permisi, Mas, kursinya masih kosong?” aku hanya menganggukan kepalaku sambil
melempar senyum sebagai isyarat mempersilakan duduk di kursi sampingku yang
masih kosong.
Awalnya aku tetap menyumpal telingaku
dengan headset dan ia sibuk dengan smartphone-nya. Dan nampak seorang yang
duduk bersampingan namun memiliki dunia yang berbeda. “Satu kursi dua dunia!”
Pikirku, yang kemudian aku mulai melepas headset
di telingaku dan mulai mengajaknya untuk saling mengobrol.
“Pulang kerja atau kuliah?” pertanyaanku
yang mencoba untuk memulai obrolan serta berusaha untuk menjadi manusia yang
sebenarnya. Manusia sosial!
“Owh, dari UNS Mas, ambil legalisir
sekalian main sama teman-teman kampus” Jawabnya dengan ramah kepadaku.
Kami berdua menjadi saling ngobrol
lebih akrab, nampak ia adalah seorang wanita yang supel. Sesekali kami tertawa
lepas karena terbawa obrolan, hingga lupa bahwa di depan kami sedang tertidur
pulas karena kecapekan. Kami mulai saling bercerita, dan aku banyak mengetahui
tentang dirinya.
Ia adalah orang asli Magelang yang
bekerja di Galery Indosat, Jogja,
sebagai Custumer Service. Kebayang
bagaimana standar tampang harus
diterapkan untuk posisi itu bukan? Ia adalah lulusan Ekonomi Akuntansi UNS. Ia
juga bercerita bahwa ia diterima di UNS lewat jalur undangan PMDK. Menambah
lengkap sifat duniawi yang tersemat pada dirinya. Cantik dan cerdas!
Ia mulai bercerita bagaimana ia
awalnya hidup sebagai anak kos di Solo, kemudian mulai nyaman di kota kecil
itu. Selain itu, ia juga tipe cewek yang pekerja keras. Karena ia juga
bercerita bagaimana ia memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang produktif, yaitu
bekerja part time di Starbuck Coffe, Solo Paragon.
Kemudian setelah lulus ia mulai
menjadi joobseeker, yang terus
mendatangi dari jobfair ke jobfair. Ia bercerita bagaimana ia pergi
ke jobfair hanya sekedar untuk ajang berkumpul dengan teman-teman kuliahnya. Pamitnya
aja ke jobfair, namun di jobfair paling hanya satu jam, apply CV kemudian setelah itu berjam-jam
malah main dengan teman-temannya. Dan di jobfair
UGM ia menemukan pekerjaannya saat ini, yaitu sebagai CS di Galery Indosat,
Jogja.
Kemudian ia juga menasehatiku yang
kala itu bisa dibilang masih pengangguran yang bersembunyi di balik status
mahasiswa, “Sering-sering main ke jobfair aja, di sana malah banyak peluangnya,
daripada masukin lamaran informasi di koran, hanya ditumpuk tanpa jelas ujung
pangkalnya bagaimana nasib CV kita”
***
Kereta sudah mendekati stasiun tugu,
nampak penumpang sudah berdiri dan segera turun. Aku masih di tempat duduk
menunggu agak sepi, Johan juga sudah sms, bahwa ia sudah menunggu di luar. Aku
keluar dari kereta dan nampak Johan sudah menunggu di ujung stasiun. Sebelum
aku menuju ke tempat Johan menungguku, aku menghampiri cewek itu, karena meski
kami sudah ngobrol akrab kami belum sempat berkenalan. Aku mulai berkenalan
dengannya. Aku mengenalkan diriku, dan dia juga mengenalkan dirinya pula.
Namanya Nadia. Dan hanya itu saja. Mungkin hanya itu saja pertemuanku
dengannya. Setelah itu? aku tidak tahu!
Aku menuju tempat Johan yang sudah nampak
bosan menunggu. Ia kemudian mengajakku mampir di sebuah warung angkringan untuk
menikmati malamnya Jogja sambil menyruput
kopi joss, beberapa nasi kucing, serta gorengan. Di angkringan pinggir jalan,
kami mendapat hiburan khas jalanan, yaitu seniman-seniman jalanan yang menjual
lagu secara eceran. Namun ada juga yang sengaja request satu lagu full,
tentu dengan imbalan yang berbeda.
Bisa dikatakan aku tiba di jogja
terlalu malam. Apa yang menjadi rencanaku, aku urungkan. Jadilah kami hanya
muter-muter sebentar di malioboro, kemudian mengambil motor di parkiran untuk
kemudian menyusuri jalanan Jogja di malam hari, sebelum kami memutuskan untuk
berisitirahat di sebuah ruko, di jalan Parangtritis. Iya, aku numpang tidur di
sana, sekaligus dengan fasilitas mengantarkanku ke stasiun tugu lagi pagi-pagi.
Aku merasa sebagai tamu yang kurang ajar kali ini, karena hanya merepotkan
saja.
***
Pagi-pagi aku dibangunkan oleh suara
alarm handphone, waktu kulihat sudah
pukul 04.30. Aku sholat subuh, kemudian sekalian numpang mandi. Pagi-pagi aku
sudah menuju ke stasiun tugu, pikirku aku bisa menggunakan kereta prameks yang
paling pagi.
Sampai di stasiun tugu ternyata aku
harus menunggu untuk beberapa saat. Calon penumpang di stasiun tugu pagi itu
tidak terlalu ramai, di stasiun masih terlihat sepi. Sebenarnya aku sudah lapar
dan ingin membeli sarapan terlebih dahulu, namun sepertinya sebentar lagi
kereta akan tiba.
Kereta prameks yang kutunggu nampak
sudah tiba di jalur keberangkatan. Aku dan penumpang lainnya masuk ke dalam
untuk mencari tempat duduk. Ketika aku masuk ke gerbong, ada kursi kosong di
dekat pintu, langsung saja aku menempatinya.
Kereta yang awalnya masih sepi itu
pun, tiba-tiba menjadi ramai ketika berhenti di stasiun berikutnya, aku tidak
begitu memperhatikan nama stasiun tersebut. Ada seorang laki-laki dengan style Islami lengkap dengan baju koko
sampai lutut, peci, serta jenggotnya. Jujur di tengah pemberitaan tentang aksi
teroris, aku sebagai orang islam ternyata juga terpengaruh terhadap pemberitaan
media.
Kemudian laki-laki itu, mengucapkan
salam dan segera aku jawab salam darinya. Awalnya kami tidak bertegur sapa, aku
yang sibuk dengan handphone-ku karena
aku sudah tidak tahu mau mengobrol dari mana, mengingat pengetahuanku tentang
agama masih sebatas hafalan tanpa tahu maknanya.
Aku melihat ke samping, nampak ia
sedang ber-dzikir, aku lihat di jari
telunjuk kanannya ada semacam cincin, dan waktu aku perhatikan ternyata semacam
tasbih digital.
Laki-laki itu, kemudian mengajakku
ngobrol, ia mulai bertanya kepadaku “Kemana, Mas?”
“Mau kembali ke solo”
“Kuliah atau kerja?”
“Cuma main, kok, Mas”
“Maaf, sampeyan, Islam?” Dan
pertanyaan yang membuatku langsung berpikir negatif tentangnya. Aku bahkan sempat
mengira bahwa dia adalah bagian dari Islam radikal seperti apa yang diberitakan
media. Namun segera aku mengembalikan kesadaranku dan berusaha berpikir lebih
positif untuk menghilangkan ketakutanku.
“Iya, Islam!” jawabku dengan penuh
keyakinan. Namun kemudian ia bertanya kepadaku lagi
“Sholat?” Ia seakan menyakinkanku
tentang ke-Islamanku.
“Sholat, lah” Jawabku
“Alhamdulillah”
Lelaki itu kemudian bercerita,
bagaimana kondisi saat ini banyak orang yang mengaku islam, namun masih aras-arasen dalam menjalankan ibadah
wajib, seperti sholat. Dan yang membuat aku sedikit tahu tentangnya ketika ia
mulai bercerita tentang kehidupannya di masalalu.
Ia bercerita kepadaku betapa ia
pernah merasakan manisnya dunia. Sering berganti-ganti mobil, motor sport, seperti kawasai Ninja. Dia juga
bercerita bahwa betapa gampangnya ia dulu mencari uang. Ia bekerja sebagai bartender, bukan hanya di Indonesia,
pernah sebagai bartender di
pelayaran, serta di luar negeri, tepatnya di Italia.
Ketika ia memutuskan pulang ke kampung
halamannya, ia merasa sudah punya segalanya, seperti mobil, rumah, motor sport. Namun, dia tidak pernah merasa
bahagia. Dan titik baliknya adalah ketika rumahnya terbakar, kemudian menyadari
apa yang ia punya begitu mudahnya habis begitu saja. Dan di sela-sela itu ia
bercerita “Bersyukur juga, hartaku terkuras bukan karena sakit, tapi karena
hal-hal lain, dan hingga saat ini aku masih diberi kesehatan”
Dia semakin sadar, bahwa jalan hidup yang ia jalani selama ini, salah!. Pekerjaan sebagai bartender yang dekat dengan kemaksiatan, ternyata menghasilkan
harta yang menurutnya tidak berkah. Dia juga mengatakan bahwa ia tidak menyesal
jika kondisi ekonomi saat ini berbeda jauh ketika ia bekerja sebagai bartender. Justru ia malah bercerita
kepadaku bahwa saat ini tidak begitu silau dengan harta, alasannya ia pernah
memiliki segalanya. “Aku sudah nggak
silau lagi dengan harta, mobil? bahkan aku pernah ganti-ganti mobil, motor
ninja? sama aja sama motor lainnya, malah sekarang di hati tenang meski hanya
memakai motor bebek Supra X 125”
Ia bertemu dengan temannya dan diajak
untuk mengikuti pengajian, dan di pengajian itulah ia memperdalam ilmu agama Islam,
aku lupa apa nama jamaah pengajiannya. Dan di dalam pengajian itu pula ia mulai
belajar berdakwah dengan cara mengajak. Berdakwah di dalam lingkungan
keluarganya agar senantiasa menjaga sholat lima waktu. Kemudian ia sengaja
bertamu di tetangga ketika menjelang magrib, dan ketika terdengar suara adzan
magrib barulah ia mengajak yang punya rumah untuk pergi ke masjid sholat magrib
berjamaah. Dia berpikir dakwah itu yang simpel-simpel saja, yang penting ajeg.
Kemudian ia juga bercerita, pernah
membantu temannya menjaga warung makan di dekat kampus UGM, ia dipercaya
sebagai kasir di warung makan tersebut. Awalnya dia sangat cocok bekerja di
sana, karena ada sebuah aturan yang tidak tertulis, bahwa ketika jam sholat
segera saja ke masjid sholat berjamaah. Dan sebelum pergi ke masjid, biasanya ia
akan memberitahu pengunjung terlebih dahulu untuk menunggu sebentar. Kalau
tidak mau menunggu, dipersilakan untuk membeli makanan di warung lain saja. Dan
anehnya, justru warung itu malah semakin ramai. Ia juga heran ketika
menceritakan hal itu kepada aku. Dan ia juga bercerita bahwa ia harus keluar
dari pekerjaan di warung makan hanya karena ia sering bertemu dengan pengunjung
wanita. Bisa dibilang, semakin lama, kebanyakan pengunjung di warung itu adalah
mahasiswi.
Dia juga bercerita bahwa saat ini
sudah berkeluarga dan mempunyai anak yang masih kecil. Sekarang ia memilih
usaha menjual mainan anak-anak. Dan kali ini, ia ke Solo untuk belanja
kebutuhan tokoknya. “Rejekinya kecil tidak apa-apa, yang penting barkah” begitu
katanya.
Terlalu asik mengobrol tak terasa
sebentar lagi sudah sampai stasiun purwosari. Sebagian besar penumpang di
gerbong tempat aku duduk, segera berdiri serta mempersiapkan diri untuk turun.
Laki-laki yang duduk di sampingku pun juga segera turun ketika sampai di
stasiun purwosari. Dia mengucapkan salam dan menjabat tangan aku. Dan aku lupa
siapa nama laki-laki tersebut.
***
Aku terkaget oleh klakson dari mobil
di belakangku, aku tersadar dari lamunan dan segera menarik gas menuju ke togamas. Jalanan yang ramai lancar, aku merasa
berutung karena selalu bertepatan dengan lampu hijau. Ketika sampai di
perempatan dekat RS Slamet Riyadi, segera aku mengambil kanan dan ketika tepat
lampu hijau, segera aku masuk ke togamas.
Sekitar satu jam aku di togamas,
mencari-cari buku yang sedang kucari serta membaca-baca buku lain yang
sekiranya menarik untuk dibaca, sebagai bahan bacaan di waktu selo. Namun, kala itu aku tidak
menemukan buku yang kucari. Aku memutuskan untuk langsung kembali pulang.