Meski tahun 2016 sudah menginjak hari ke 12, namun tidak ada salahnya saya memposting tulisan ketika saya lebih memilih merayakan tahun baru dalam kesunyian, menjauh dari keramaian dan sumpeknya jalanan.
Ternyata bukan hanya jedug cetar kembang api dan tiupan
terompet yang mewarnai perayaan untuk menyambut tahun baru kemaren. Tetapi ada
juga beberapa pemberitaan yang ramai di linimasa
menjelang awal tahun baru kemarin. Mungkin hal ini juga masih dibicarakan
hingga saat ini, entah itu masih di linimasa
juga, obrolan-obrolan di angkringan, atau setidaknya di pikiran saya sendiri
yang seperti belum bisa move on dari
tahun 2015. Pemberitaan-pemberitaan tersebut diantaranya adalah:
Tulisan Pak Bre Redana yang berjudul
“Inikah Senjakala Kami. . . ” yang dimuat dalam harian kompas di penghujung
tahun 2015 kemaren, ramai dibicarakan, bahkan tidak sedikit yang mengkritik
tulisan tersebut. Tulisan tersebut adalah kegelisahan seorang wartawan senior
terhadap nasib media cetak ditengah gerusan media digital, atau media dalam
jaringan (media daring). Kegelisahan yang wajar menurut saya, ditengah zaman
yang menuntut serba cepat, media cetak dianggap tidak mampu memenehui hal tersebut.
Sebut saja mingguan tempo yang menghentikan versi cetaknya, dan kini hadir
dalam bentuk pdf. Kemudian Harian bola, bahkan sudah jauh-jauh hari kukut,
disusul Jakarta Globe, kemudian Sinar Harapan. Hal ini mengingatkan saya, bagaima
kaset yang perlahan tapi pasti diganti dengan kepingan CD, kepingan-kepingan CD
berganti dalam bentuk musik digital yang bisa kita download, bahkan secara
gratis. Dan saat ini banyak artis yang lebih memilih mengeluarkan album digital
yang kemudian dijual di i-tunes, meski tidak memungkiri pula ada juga yang
masih berjualan CD di warung ayam goreng.
Kasus Saut Situmorang yang dilaporkan
atas dugaan pencemaran nama baik, sebagai akibat dari komentarnya di facebook
mengenai buku “33 Sastrawan yang paling berpengaruh di Indonesia” yang menjadi
polemik, karena “diduga” ada penumpang gelap dalam buku itu. Sengaja saya
menggunakan kata “diduga”, main aman Bos, maklum cicilan motor saya belum
lunas. Kini memasuki babak baru yang sebentar lagi akan memulai persidangan.
Bahkan minggu lalu seniman-seniman Jogja menggelar aksi pengumpulan dana dengan
tajuk #SaveSaut untuk membantu dalam proses advokasi, yang kemungkinan akan
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena menurut mereka, perdebatan sastra
tidak sepatutnya diselesaikan di meja hijau, namun juga harus diselesaikan di wilayah sastra.
Kemudian menjelang tahun baru, publik
juga digegerkan oleh terompet, tapi saya sedikit bisa bernafas lega ketika
terompet itu bukanlah terompet sangkakala. Penemuan sampul Al Quran di terompet
seperti sudah menjadi bagian dari polemik tentang meniup terompet saat tahun
baru itu sendiri. Jadi bukan hanya pesta kembang api yang akan menyambut tahun
baru, namun ada sebagian manusia kurang piknik sibuk ngurusi orang niup
terompet.
Dan yang membuat saya sedikit sumringah, ketika Chelsea yang belum
bisa menemukan performa terbaiknya hingga terpuruk di klasemen sementara liga
Inggris, yang berakibat pada pemecatan sang pelatih The special one. Sebagai fans
Arsenal karbitan pun, saya hanya ingin mengucapkan turut bersuka cita.
Sebenarnya masih banyak lagi yang
ingin saya tulis, namun saya sedang tidak ingin menulis kaleidoskop tahun 2015.
Dikira saya pengangguran? Saya juga punya kesibukkan! Sebagai seorang buruh di
balik meja yang sedang sibuk mikirin man
power. Iya, sebagai HRD, tentu saya sedang sibuk mencari karyawan untuk
memenuhi kebutuhan SDM perusahaan di tempat saya bekerja, hingga lupa mencari
pendamping hidup saya sendiri.
sumber gambar; kembangapiku.com