![]() |
sumber gambar |
Aku bukanlah pecinta kopi, aku hanya
suka minum kopi. Udah gitu aja! Aku tidak paham dengan kopi apa yang kuminum.
Arabika kah? Atau robusta kah? Aku tidak paham itu! Yang kutahu hanya kopi,
minuman hitam pekat, itu saja. Ketika pagi hari, entah itu sedang di rumah,
atau ketika sedang dinas pagi di kantor aku akan menyempatkan waktu untuk ngopi,
ya setidaknya secangkir kopi lah, meski perut masih dalam keadaan kosong sekalipun.
Betapa bahagianya aku yang tidak memiliki riwayat sakit maag, sehingga aku
tidak khawatir dengan asam lambungku akan naik ketika meminum kopi dalam
keadaan perut masih kosong.
Awalnya aku mengenal kopi dari
orang-orang terdekatku. Aku masih ingat betul, ketika itu aku masih kecil,
orang-orang terdekatku, termasuk Ibu, memiliki rutinitas minum kopi atau ngopi
di pagi hari. Dan di situlah aku mulai penasaran dengan kopi. Bagaimana rasanya
minuman panas berwarna hitam pekat itu, hingga banyak orang yang menyempatkan
waktu di pagi hari untuk meminumnya.
Namun ketika aku ingin mencobanya.
Mereka selalu membuat alasan, bahwa aku tidak boleh minum kopi, karena aku
masih kecil. “Besok kalau udah gede, baru boleh minum kopi”. Aku yang masih
kecil pun hanya mengiyakan saja ucapannya. “Aku pengen cepet gede, biar boleh
minum kopi”. Begitulah masa kecilku yang dikelilingi oleh mereka penikmat kopi,
terutama ibuku, Ibu yang dari dulu tinggal di Sumatera, setiap pulang ke Solo
tidak pernah lupa untuk membawa kopi dari Sumatera.
Pertama aku mengenal rasa kopi, aku
meminum kopi hitam pekat yang sebenarnya untuk suguhan para tamu, namun karena yang membuat kelebihan satu, jadi
aku yang meminumnya. Waktu pertama kali aku meminum kopi, yang kurasakan adalah
manis. Jadi hingga aku dewasa pun, yang namanya kopi, ya rasanya manis. Ditambah
lagi dengan banyaknya kopi-kopi yang beredar saat ini dengan variasi rasa,
membuat keyakinanku semakin terpatri bahwa kopi itu manis. Bukan pahit!
Namun sejak pertemuan dengan seorang
teman. Keyakinanku tentang kopi pun semakin runtuh. Ketika itu, aku diajak oleh
temanku ke sebuah kedai kopi, aku yang kebetulan tidak ada agenda lain pun,
menuruti keinginan temanku tersebut.
“Seperti biasa
ya, Mas” ia mulai memesan kopi,
Nampak ia sudah sering berkunjung ke kedai mungil itu. Kedai itu hanya
berukuran kecil, hanya ada 4 meja kecil, yang setiap mejanya terdiri dari 4
kursi yang mengelilinginya. Bisa dikatakan kedai tersebut tidak begitu ramai,
namun nampaknya sudah punya pelanggan tetap.
“Kamu suka kopi juga? Tenang kali aku
yang traktir deh”
“Iya, sama aja”.
Jujur aku tidak tahu dengan kopi apa
yang ia pesan, pikirku yang kami pesan adalah kopi hitam pekat seperti yang aku
minum sehari-hari. Ia mulai bercerita tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan,
tentang hobi, kemudian tentang hubungan percintaannya, iya begitulah ketika
orang sudah mulai nyaman, mereka akan secara tidak sadar sebuah obrolan itu
akan menuju pada sebuah topik yang bernama “curhat”. Ya, begitulah wanita,
dikasih pundak, langsung bersender. hehehe
Tiba-tiba pelayan pun datang seakan
menyela obrolan kami. “kopinya” suara Mas-mas penjaga kedai yang membuat
obrolan kami jeda sesaat.
“Diminum dulu kopinya yuk, mumpung
masih panas”
Aku perhatikan ada ritual khusus yang
ia lakukan sebelum menyeruput kopinya. Ia menutup matanya dan menghirup kepulan
asap yang ke luar dari air kopi panas tersebut, seperti halnya dengan berdoa
sebelum makan.
“Hey, malah bengong! Kopinya itu,
keburu dingin” Ia sepertinya tahu bahwa aku sedang memperhatikannya ketika ia
sedang meminum kopi.
“Nanti lah, masih panas”.
“Wah, kamu itu, sukanya menunda kenikmatan.
Kopi itu akan semakin nikmat jika di sruput
ketika dalam keadaan panas, coba anget atau dingin, pasti udah nggak
senikmat ketika masih panas, coba aja deh”
Aku mulai menghirup kecil kopi di cangkirku
agar bisa segera kunikmati. Dan ketika aku mulai menyeruput kopi itu, tiba-tiba rasa yang begitu pahit mulai masuk dan sampai
pada lidah, aku pun agak kaget dan hampir aku muntahkan. “Ini kopi kok aneh ya,
lupa di kasih gula ini”.
“Lho, kita kan pesennya sama, jadi
yang begini rasanya, tempatku juga sama kali, coba rasain”. Jawabnya. Aku pun
langsung memanggil pelayan untuk meminta segelas air putih.
“Ohiya, Mas, sekalian sama gula ya?”
ia juga meminta gula. Ia sepertinya tahu, bahwa aku tidak terbiasa dengan kopi
tanpa gula seperti dirinya.
“Kamu nggak ngerasa gimana gitu,
minum kopi dengan rasa pahit yang seperti ini?”
“lah, yang namanya kopi ya kaya gini,
aku kalau di kedai ini biasanya minum kopi seperti ini. Kopi tanpa gula”
Aku mulai mencampurkan sedikit gula
untuk mengurangi rasa pahit pada kopi itu, sambil mencari tahu, kenapa ia bisa
begitu menyukai kopi tanpa gula, yang akan lebih dominan dengan rasa pahit.
“Kenapa sih, kamu malah suka dengan kopi tanpa gula”. Ia seakan sulit untuk
menjawab pertanyaanku.
“Kenapa ya? Ya pokoknya beda aja,
orang bilang bahwa ia suka atau katakanlah penikmat kopi, tapi kenapa ia tidak
suka dengan rasa asli dari kopi itu sendiri? Ia memanipulasi rasa asli dari
kopi dengan tambahan coklat, madu, cream, kemudian gula. Ia seperti halnya
menginginkan kenikmatan hidup tanpa ingin merasakan kepahitan hidup itu
sendiri”. Kemudian berhenti sejenak
untuk kembali menikmati kopinya yang sudah mulai dingin.
Aku pun mulai serius untuk
mendengarkannya, karena ia nampak antusias dengan apa yang ia coba jelaskan,
kemudian ia mulai melanjutkan kembali pembicaraanya “Jadi, sepertinya mereka
hanya ingin merasakan effect dari
kopi tanpa mau menikmati rasa kopi yang sebenarnya, mungkin kamu juga adalah
orang-orang yang aku maksud, kamu mungkin suka minum kopi, kalau boleh tahu
kamu minum untuk apa?”
Aku menghela nafas sebentar, dan
ketika aku akan menjawab pertanyaannya, ia seperti tidak sabar dan mulai
melanjutkan kembali pembicaraannya “Mungkin kamu minum kopi ketika sudah mulai
lelah dan mengantuk padahal masih banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan
kan? Karena aku tahu bahwa kamu bukan perokok, jadi bukan rokok yang kamu
butuhkan ketika kamu sudah mulai lelah dan mengantuk kan. Tapi kopi!” Aku pun
hanya bisa mengangguk dan sesekali meminum kopi yang sudah aku beri sedikit
gula tersebut.
“Lagian dari segi kesehatan, terlalu
banyak konsumsi gula juga tidak baik kan? Lihat saja dirimu sekarang, ngemil
jalan terus, minum pun sering yang manis-manis, apalagi sekarang sedang ngobrol
sama aku, bisa diabetes kamu kalau sering-sering kaya gini”
“Preeeeet” kami pun tertawa lepas seakan memecah suasana yang tadinya serius.
Kopi yang sudah mulai dingin dan
hanya masih beberapa sruputan lagi,
seakan menjadi tanda bahwa hanya beberapa menit lagi kami akan mengakhiri
obrolan di kedai kopi itu. Dan setelah ia menghabiskan kopi dalam cangkirnya,
sebelum menuju kasir untuk membayar kopi kami, ia malah bertanya dengan nada
yang sedikit mengejek, ”Ehiya jomblo terus, kapan mau nikahnya?”
Sambil menghabiskan kopi aku sedikit
melototinya, “Ngomong apa sih?” jawabku.
Dengan penuh canda ia malah seakan mengejekku
“Ohiya, pahitnya kopi aja nggak mau,
apalagi pahitnya hidup”
Nb ; Tulisan ini diambil dari blog pribadi penulis, yaitu blogriki.com dengan judul yang sama, namun dengan sedikit revisi.