“Tak Pernah Mengutuk Keramaian, Hanya Butuh Ruang Untuk Menikmati Kesunyian”
Jika Dyah Maya (DM) menemukan jati
dirinya ketika memutuskan untuk hidup merantau, meski aku sendiri masih
meragukan apakah dia bisa dikatakan sebagai anak perantauan atau tidak. Karena
menurutku, yang namanya merantau itu bekerja atau hidup di luar kota yang jauh,
bahkan hingga ke pulau seberang, seperti halnya yang dilakukan oleh ibuku yang
hidup di Kerinci, Jambi. Tapi biar nggak gelo,
tak apalah aku menyebut DM sebagai anak perantauan. Karena setelah sudah
beberapa kali aku menagih tulisan terbaru, baru kemaren ia mengirim tulisan
postingan terbarunya. Ya syukur-syukur bisa seperti Johan di tengah kesibukan
membuat daftar undangan pernikahannya mulai membuat semacam agenda menulis
untuk blog yang tidak begitu kondang
ini, dengan #sundaynight-nya.
Lain DM, lain pula denganku. Aku yang
sejatinya adalah anak rumahan ini, harus dipaksa untuk hidup sebagai
anak kos, meski jarak antara rumah dan tempatku kuliah kurang lebih hanya satu
jam perjalanan, itu pun sudah termasuk mampir di angkringan pojok, untuk
menyruput kopi dan ngemil beberapa gorengan.
“kamu sebaiknya nge-kos saja, kalau perlu nanti aku akan hubungi temanku yang di
solo untuk mencarikan kos buat kamu, dia lebih tahu tentang lingkungan kos di
sana, kalau kamu tidak mau nge-kos,
lebih baik kamu hidup di Boyolali saja” Begitu kira-kira saran kepadaku yang
lebih kepada tuntutan itu, ketika aku sudah resmi diterima sebagai mahasiswa di
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Dengan banyak pertimbangan aku lebih
memilih untuk nge-kos saja, meski
pada akhirnya aku juga sering pulang ke Boyolai ketika sedang bosan di kos-an.
Aku sadar kenapa orang yang peduli
dengan masa depanku itu, lebih menyarankan agar aku nge-kos atau hidup di Boyolali saja. Karena ada beberapa alasan, terutama
kondisi lingkungan di Sukoharjo (tempat tinggalku) yang sepertinya tidak
kondusif, dan yang ditakutkannya adalah aku tidak bisa menyelesaikan kuliahku.
***
Aku lebih suka mencari kos sendiri saja,
sekalian jalan-jalan sambil menghafal jalan-jalan yang ada di kota Solo. Kala
itu aku mencari kos dengan temanku yang kuliah di D4 Kesehatan Kerja. Dia adalah temanku bermain bola dan futsal. Dan
atas informasi dari temanku itu pula, bahwa aku kelak akan berkampus di Tirtomoyo,
yang lokasinya bersebelahan dengan kolam renang Tirtomoyo. Di kampus Tirtomoyo digunakan
untuk kuliah D4 Kesehatan Kerja, D3 Hyperkes, serta Psikologi. Pertama kali aku
melihat kampus Tirtomoyo, gensiku sebagai mahasiswa langsung runtuh ketika
melihat kampus yang lebih mirip dengan kantor kelurahan itu. Dan
ternyata kampus itu telah membuat banyak kenangan. Di kampus kecil itu justru
nuansa keakraban begitu tercipta, tidak seperti saat ini, antar angkatan saja
sudah tersekat-sekat, bukan hanya tersekat antar tembok ruang kuliah, bukan! Tapi
sudah tidak ada nuansa keakraban diantara mahasiswa antar angkatan, kecuali
mereka yang memilih jalan hidupnya sebagai begundal kampus.
Karena kampusku di Tirtomoyo, aku
tidak mencari kos-kosan di daerah kampus pusat, Kentingan, namun mencari di
daerah dekat kampus Tirtomoyo. Awalnya aku mencari Kos-kosan di daerah Kandang
sapi, Jebres, namun setelah berkeliling, aku tidak mendapatkan kos-kosan. Meski
ada kamar kosong, ternyata kamar tersebut habisnya masih satu bulan lagi,
karena penghuni yang lama sudah lulus dan barang-barangnya belum di kemasi.
Aku dan temanku menuju ke daerah Petoran,
tepat di gang belakang Asia motor, ada kos-kosan di sana. Kos tersebut menjadi
satu dengan rumah pemilik kos. Kamar kos-nya ada di belakang, ada dua lantai
dengan total 9 kamar; 4 kamar di lantai bawah, dan 5 kamar di lantai atas.
Kamar mandinya ada 3, semua di lantai bawah. Aku mulai masuk ke salah satu
kamar kosong yang terletak di lantai atas. Kamar yang berukuran kira-kira 3x3 meter itu lumayan adem, ada jendela besar di sisi timur, sehingga cahaya matahari pagi
bisa langsung masuk ke kamar. Meja yang berukuran lumayan besar ada di sudut
kamar. Di dalam kamar itu sudah ada juga lemari kecil dan tempat tidur kayu
dengan kasur masih tergulung di atasnya. Aku langsung membuat kesepakatan
dengan Bapak pemilik kos. Dan kesepakatannya aku harus membayar 3 bulan pertama
terlebih dahulu, baru untuk bulan selanjutnya aku bisa membayar setiap
bulannya.
Kebanyakan penghuni kos di sana
adalah anak-anak dari SMK Warga Surakarta, di samping kamarku ada mahasiswa UNS
juga, dia mahasiswa D4 Kesehatan Kerja, angkatan 2008, dan ia berasal dari
Boyolali. Sedangkan kamar yang lain diisi oleh anak SMK Warga, di lantai bawah
hampir semua diisi anak-anak SMK Warga juga, kecuali kamar dari barat nomor 2,
aku tidak begitu akrab dengannya, karena aku jarang melihatnya di kos. Katanya
dia mahasiswa semester akhir, jurusan teknik, Universitas Surakarta .
Aku teringat ketika awal-awal menjadi
anak Kos, seminggu pertama setelah masa orientasi, aku sakit. Mungkin aku belum
bisa menyesuaikan diri. Masa-masa itu pikiranku hanya untuk melihat tanggal dan
berharap segera hari jumat, agar aku bisa segera pulang ke rumah. Tidak jarang
ketika keesokan harinya kuliah agak siang, sehabis kuliah aku langsung pulang
ke rumah dan baru kembali ke solo lagi esok harinya. Terkadang juga aku bisa
pulang ke rumah dua kali dalam seminggu. Dan apa yang aku lakukan ketika di
rumah? Tidak ada yang spesial, kecuali sorenya aku bisa bermain sepak bola
dengan teman-temanku dan setelah itu santai-santai di depan televisi hingga aku
mengantuk.
Aku hanya kurang lebih satu tahun di
kos-an itu, ada yang membuatku mulai tidak nyaman dengan lingkungan kos
tersebut, kemudian aku menghubungi temanku yang kuliah di D4 Kesehatan Kerja,
yang dulu pernah bersebelahan kamar denganku, mengatakan bahwa ada kamar kos
yang kosong di kos-annya saat itu. Dia Nampak ragu untuk menawariku, namun aku
agak memaksa untuk melihatnya terlebih dahulu.
***
Waktu aku lihat di jalan, aku tidak
meyangka di balik rumah tua itu ada bangunan kamar kos. Aku mulai masuk
melewati rumah tua itu, dan di belakang rumah tua itu ada 4 kamar kos, dan
tepat di depan deretan kamar kos itu ada pohon mangga yang begitu rindang,
pohon mangga itu pula yang kelak akan menjadi makanan kaya akan serat yang bisa
aku petik sewaktu-waktu ketika musim mangga. Kemudian di sisi timur ada kamar
mandi, yang waktu pertama kali aku lihat, kamar mandinya lumayan bersih. Aku
melihat salah satu kamar yang kosong, agak lembab memang, karena kamar yang kosong
itu tidak bisa mendapat cahaya langsung dari matahari. Kala itu karena kos-ku
yang lama sudah hampir habis, jadi aku memutuskan untuk sementara waktu nge-kos dulu di sana. Karena bisa
dibilang lokasinya sangat dekat dengan kampus Tirtomoyo, kurang lebih hanya
lima menit, itu pun dengan jalan kaki.
Di kos-kosanku yang baru itu, bisa
dibilang suasana yang begitu sepi, dan membuatku merasa tenang. Dan aku suka
dengan ketenangan, jauh dari kebisingan dan kegaduhan. Di sana awalnya 4
kamarnya penuh, ada aku yang di kamar paling timur dekat dengan kamar mandi, di
sebelah kamarku ada orang Kediri yang sudah bekerja sebagai pemadam kebakaran,
kemudian sebelahnya lagi ada mahasiswa D4 kesehatan kerja, temanku di kos -an
yang lama, dan kamar paling barat, ada mahasiswa D4 Kesehatan Kerja pula yang
sebentar lagi lulus, dan di kamar itu pula Johan pernah singgah sementara.
Ibu kos-nya pun juga sangat baik,
beliau adalah seorang janda yang tidak memiliki anak, jadilah ia hidup sendiri
yang terkadang juga di temani oleh keponakannya. Bisa dibilang ia sangat jarang
dirumah, karena aktititas dan urusan pekerjaannya. Beliau tidak pernah menagih
uang kos selama bertahun-tahun nge-kos
dari kuliah semester 3 hingga lulus, meski kami sering bayar telat uang kos.
Beliau juga sering membagikan makanan kepada anak-anak kos. Pernah juga ketika
sedang bulan puasa, ketika aku sedang keluar hendak membeli makan buat sahur,
beliau memanggilku dan memintaku untuk mengambil makan buat sahur di tempatnya. Terkadang ketika ada makanan sisa, beliau juga tidak luput membagikan kepada
anak-anak kos.
***
Semuanya berbalik 180 derajat, aku
yang awal-awal nge-kos lebih sering
pulang, kini aku menjadi semakin betah di kos-kosan, aku jadi semakin jarang
pulang, jika pulangpun aku seperti orang yang (sok) sibuk, dengan pulang sabtu
sore, kemudian aku kembali ke solo lagi minggunya.
Kos-kosan yang awalnya penuh itu pun
mulai sepi, diawali dengan salah satu penghuninya yang sudah lulus kuliah. Aku
pun kemudian pindah ke kamar yang di tengah, dari barat nomor 2, dan kamarku
yang lama dijadikan untuk gudang. Kemudian tak lama setelah itu, salah satu
temanku pun juga lulus, dan ia pun juga berkemas untuk meninggalkan kos-kosan
itu.
Hingga hampir dua tahunan kos-anku
hanya ditempati oleh dua manusia saja, aku dan temanku yang sudah bekerja di
pemadam kebakaran itu. Pernah terbesit untuk pindah namun aku enggan untuk
pindah, meski kampusku juga turut pindah dari Tirtomoyo, ke Kampus Mesen, namun
aku enggan untuk pindah. Jarak antara kos-anku dan kampus Mesen juga tidak
begitu jauh, kurang dari 1Km. Selain itu, di tempat itu aku sudah mulai nyaman,
dan yang pasti mampu membuatku merasa tenang. Meski ada beberapa juga
teman-temanku yang meledek bahwa kos-kosanku hampir mirip dengan sarang
teroris. Betapa tidak, siapa yang akan mengira bahwa dibalik rumah tua, yang
mungkin sebagian orang akan menganggap angker, ada tanda-tanda kehidupan di
sana.
***
Meski aku sudah bekerja di Boyolali
aku masih enggan untuk mengemasi barang-barangku, biarkan saja tetap di sana,
dan aku akan tetap membayar uang bulanannya. Karena sewaktu-waktu aku bisa
menginap di sana ketika aku sedang ingin bernostalgia di Solo. Namun ada
kabar dari ibu kos, bahwa tanah, rumah sekaligus kos-kosannya sudah laku.
Padahal kerabatku yang pernah mengunjungi kos-anku pernah rasan-rasan ingin membelinya jika tanah itu hendak dijual, tapi
mungkin tanah itu belum jodohnya.
Aku pun mulai mengemasi
barang-barangku, tapi kala itu aku hanya berpamitan via telepon dengan ibu
kosku, karena beliau sedang berada di luarkota.
Aku pernah iseng-iseng lewat di gang
menuju kos-kosanku dulu itu, dan sekarang kos-kosan yang dulu dianggap oleh
sarang teroris oleh teman-temanku itu, sudah berubah menjadi bangunan megah
berlantai dua, dan sepertinya kenanganku akan kosku pun juga terkubur dalam
bangunan berlantai dua itu.
***
Aku lebih menikmati diriku sebagai
anak kos, karena bagaimana pun juga aku akan belajar mengambil
keputusan-keputusan kecil dalam hidupku, mengatur pengeluaranku sehari-hari,
dan tentu hal ini akan membuatku lebih bertanggung jawab. Dan karena itu pula,
aku sekarang memutuskan untuk menjadi anak kos (lagi), meski pada awalnya tidak
ada yang menyetujui keputusanku itu. Dan untuk kali ini, aku agak ngengkel dalam mengambil keputusan.
Karena bagiku, itu hanya masalah waktu, aku harus lepas dari orang-orang yang
sebenarnya begitu peduli denganku, karena aku tidak mau “mati” dalam kenyamanan
Aku sekarang menyewa kamar kos yang
sangat sederhana berukuran 2x3 meter, meski pada kenyataannya aku juga sering pulang,
entah itu ke Boyolali atau ke Sukoharjo. Di kamar kos baru ini, hanya ada kasur
yang beralasankan langsung dengan karpet, satu lemari kecil dan sebuah meja
kecil yang biasa aku jadikan meja kerjaku. Dan di meja kecil itu pula aku mulai
menulis apapun yang ingin aku tulis. Di samping meja itu ada dispenser yang
bisa aku gunakan untuk memanaskan air untuk menyeduh kopiku. Entah kopi pagi,
atau kopi soreku, karena waktu pagi dan sore menurutku adalah golden time untuk ngopi.
Kos baruku ini sangat dekat dengan
masjid, hanya terpisah oleh jalan, sehingga suara adzan begitu jelas aku
dengarkan ketika memasuki jam-jam sholat. Setidaknya aku lebih sering sholat
berjamaah ketika sedang di kos-an. Serta suasana kos-an yang mampu membuatku
nyaman dengan segala ketenangannya, dan hal inilah yang membuatku lebih
produktif. Dan karena aku suka dengan ketenangan, bukan berarti aku mengutuk
keramaian, karena aku “Tak Pernah
Mengutuk Keramaian, Hanya Butuh Ruang Untuk Menikmati Kesunyian”