Kemaren saya harus menghapus sebuah status
facebook yang sudah saya bagikan di kronologi facebook saya. Karena waktu saya
baca, ternyata isinya mirip dengan tulisan “Surat Cinta Untuk ISIS”, tulisan seorang blogger
bernama Denny Siregar sebagai respon pasca tragedi di Sarinah. Tulisan satire
yang dikemas dengan gaya penulisan yang enak dibaca lagi jenaka. Namun dalam
status facebook yang sempat saya bagikan itu tidak mencantumkan sumber tulisan
tersebut ataupun penulis aslinya, padahal ketika saya sandingkan kedua tulisan
tersebut memiliki banyak kemiripan, dan bisa dikatakan hampir sama.
Tidak begitu penting siapa dan apa
nama akun facebook itu, karena kita tidak boleh membenci orangnya, tapi
perilakunya saja. Ketika saya ngepoin
melihat tentang facebook-nya ternyata ia adalah seorang lulusan S1. Sebagai
lulusan S1 bisa dibilang ia orang yang berpendidikan.
Sebagai lulusan S1 tentu sudah
mengerjakan skripsi pastinya, dan di bagian akhir skripsi pasti ada yang
namanya daftar pustaka. Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana seorang lulusan
S1 mengutip sebagian besar tulisan orang lain, meski dari sebuah blog sekalipun,
kemudian dipublikasikan di sosial media seolah-olah menjadi tulisannya sendiri,
karena tidak mencantumkan sumber tulisannya. Apakah yang demikian bukan plagiat
namanya?
Sebenarnya saya tidak mau serius
dalam menanggapi media sosial, karena saya masih ingat dengan kata Johan, teman
saya yang nggapleki itu “Medsos jangan diseriusin, cukup anak gadis orang
saja yang diseriusin”
Namun melihat begitu gampangnya orang
mem-posting tulisan orang lain tanpa
mencantumkan sumbernya, sehingga seolah-olah tulisan tersebut adalah
tulisannnya sendiri. Saya jadi teringat bagaimana dugaan plagiasi bisa membuat
kawan kami Nugroho Pamungkas atau lebih sering dipanggil Inug, terjegal
langkahnya karena harus mengulang sidang pendadaran, padahal bisa dibilang
tinggal selangkah lagi gelar sarjana sudah tersemat di belakang namanya.
Kala itu, Inug yang keluar dari ruang
sidang, nampak wajah lesu lagi pucat. Saya kala itu tidak segera
menghampirinya. Ketika ia menoleh ke kami, ia memberikan kode dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Saya dan teman saya segera mendekatinya dan
memastikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruang sidang. Dan kami harus
menerima kabar buruk itu, ketika ia harus melakukan revisi lagi terutama pada
sumber pustaka yang harus merujuk pada buku-buku yang shahih, bukan hanya copas
tulisan dan daftar pustaka. Dosen penguji menduga adanya plagiasi dalam karya
ilmiah tersebut, dan meminta Inug untuk segera merivisi lagi pada bagian landasan
teori agar merujuk pada buku-buku yang shahih.
Kala itu, misi kami adalah menyelamatkan
kondisi kejiwaan Inug. Jiwanya yang merana karena cinta, kemudian jiwanya yang
goyah karena bisa dibilang langkahnya untuk menjadi sarjana harus mendapat tackle keras dari dosen penguji.
Kami semalaman menghiburnya dengan
menemani apapun yang hendak ia lakukan. Bersyukur ia tidak mengabiskan
berbotol-botol bir untuk mengilangkan frustrasi dan melupakan kejadian
pagi hari, ketika ia gagal sidang dan harus mengulang. Inug hanya ingin main
PES semalam suntuk. Main PES sambil misuh-misuh,
ternyata membuatnya lupa bahwa pagi tadi ia baru saja gagal ketika sidang
pendadaran.
Inug memang orang yang bakoh. Ia menganggap apa yang sudah lalu
biarlah berlalu, yang terjadi biarlah terjadi, yang mencret biarlah mencret.
Ia segera bangkit lagi, dan membuat kehidupan seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Tetap bermain futsal bersama kami sebagaimana biasanya, serta main PES
di kos Python setiap malam.
Bahkan Inug tidak sampai mutung atau menghilang dari peredaran,
karena ia masih bisa terpantau di kampus. Tidak lama kemudian, ia mencari
referensi lagi hingga berkeliling perpustakaan dari kampus ke kampus. Bahkan
ketika pulang ke Jakarta pun ia tetap pergi ke kampus-kampus di Jakarta demi
melengkapi referensi skripsinya.
Dan semua hasil kerja keras itu
terbayar juga, sidang kedua skripsinya berjalan lancar, bahkan tidak memerlukan
banyak revisi lagi. Dan yang membuatnya semakin sumringah adalah ketika si dia yang sudah bekerja di Jakarta
tiba-tiba datang memberi kejutan, rela mbolos
kerja demi sidang kedua Inug.
Ditambah lagi adanya sebuah MMT yang
bergambar Inug bertuliskan “Gua udah
sarjana mau apa lu” sengaja dibuat oleh sahabat-sahabatnya untuk menyambut
Inug saat keluar dari ruang sidang.
Dan tidak luput pula ia membagi
kebahagian kepada teman-temannya dengan mentraktir kami semua futsal dua jam,
sampai kami ngos-ngosan. Dalam hal
futsal Inug adalah partner saya di lapangan. Mungkin dia sudah lupa bahwa kami
berdua pernah berebut nomor punggung 12 ketika kami hendak memesan kostum
futsal. Tapi kala itu, saya yang lebih tua harus mengalah dengan menggunakan
nomor punggung 23.
Kabarnya Inug sekarang sedang
meniti karier di salah satu Bank milik BUMN, sebuah cita-cita yang pernah ia
ucapkan di salah satu sesi kuliah, saya lupa saat mata kuliah apa itu, kala itu
Inug berkata “Ingin menjadi pegawai BUMN” sepertinya apa yang ia cita-cita
tercapai juga. Tinggal kita tunggu kisah asmaranya saja.
Kejadian Inug adalah salah satu
contoh bagaimana plagiasi bisa menggugurkan sebuah karya ilmiah, dan harus
merevisi lagi serta mengulang sidang pendadaran. Pernah juga saya mendengar ada
seseorang yang dicopot gelar doktor-nya gara-gara kasus plagiasi. Apapun
bentuknya, plagiasi adalah kejahatan intelektual, yang merupakan perilaku
orang-orang yang malas berpikir. Tidak cukupkah kejadian Inug dan kasus
plagiasi lainnya sebagai pelajaran bagi kita semua?
Masihkah ingin mengutip tulisan orang
lain tanpa mencantumkan sumber tulisan? Mbok
mikir dulu, dikira yang nulis nggak
pakai otak apa? Situ enak tinggal CTRL +
C trus CTRL + V