Aku seperti merasa harus menuliskan
semua ini, dan tentu akan mempublikasikannya di lobimesen.com daripada hanya
sekedar posting di blog pribadiku blogriki.com. Aku hanya tidak ingin
ada fitnah-fitnah kecil meski hanya dalam angan, ataupun pikiran. Aku tidak mau
itu terjadi! Karena cepat atau lambat semua orang juga akan tahu.
Aku sudah cukup menderita dengan
semua ini. Menderita ketika berjalan sendiri dianggap tak punya teman, dan
ketika berjalan berdua dengan teman, malah dikira homo. Dunia semakin tidak
ramah dengan kaum jomblo. Dan disaat seperti itu, aku hanya bisa misuh dalam
pikiran. Asu!
Teman-temanku sebenarnya juga banyak
yang sudah menikah, seperti Mama Nysa yang sekarang sudah hamil anak keduanya
(semoga diberi kesehatan untuknya dan bayi yang dikandung), Fitri dan Winda yang
sedang menerapkan ilmu psikologi perkembangannya untuk mengasuh putranya yang
lucu itu. Dan hal yang sama juga dilakukan oleh Erlina dengan anaknya yang lucu, serta dengan kucing-kucingnya. Mereka kini sudah menjadi Ibu-ibu cerdas
yang dibekali dengan mata kuliah Psikologi Perkembangan 1 dan 2 yang diampu
langsung oleh sang maha guru Ibu Machmuroh. Karena Ibu Machmuroch adalah salah
satu dosen luar biasa di kampus psikologi UNS.
Ada juga yang kini baru (menikmati)
masa-masa sebagai Ibu hamil, seperti Elva, Dian Eka, mungkin juga dengan Cimon.
Atau Vera yang baru saja menikah di penghujung tahun 2015 lalu, bisa juga ia kini
sudah hamil. Eh tapi, mungkin juga dia akan menunda kehamilannya agar bisa
lulus kuliah terlebih dahulu. Mungkin!
Dan ada juga yang sedang sibuk mempersiapkan
hari bahagianya. Ditya dengan kekasihnya seniornya di kampus waktu kuliah, Dica yang baru saja melangsungkan pertunangan itu, mungkin
sudah rembug tuo untuk menentukan
hari bahagianya. Hal yang sama juga dilakukan Johan yang kini nampak sedang
sibuk membuat daftar undangan untuk pernikahannya. Dan untuk Audit dan Bidari,
serta Bang Punto dan Asa, mungkin coming
soon!
Dan aku? Itulah alasan kenapa aku
seperti merasa harus menuliskan semua ini.
***
Aku juga tidak tahu, di tengah
kesibukanku hidup dalam rutinitas, Tuhan justru menyelipkan seseorang yang
mampu membuatku merasa mak deg ketika
tiba-tiba hadir di hadapanku. Sebut saja gadis berkerudung merah. Gadis yang
sudah kukenal dalam waktu yang relatif singkat itu, nampaknya sudah tak mau
lagi mencicipi manis semu duniawi. Bisa dibilang perkenalan yang lumayan
singkat itu mampu membuat aku dan dia sudah tak ragu lagi untuk menjalin sebuah
ikatan.
Aku yang kala itu hanya sekedar
mengantarnya pulang ke rumah. Tiba-tiba sudah ada laki-laki yang usianya nampak
seusia dengan Bapak Jokowi, Presiden RI itu, menyuruhku untuk mampir sebentar
untuk sekedar ngopi-ngopi.
kami berdua mengobrol lumayan lama,
sebenarnya aku bingung mau membicarakan hal apa, tapi untungnya si bapak yang
justru lebih banyak bertanya kepadaku. Bertanya dengan santai dan terkadang
diselingi guyonan. Setelah beberapa
saat aku baru sadar bahwa beliau sedang bertanya segala sesuatu tentangku.
Ditengah-tengah obrolan terdengar
suara adzan magrib, pikirku itu bisa jadi alasan untuk segera berpamitan. Namun
ternyata ia lebih cerdas dari yang kupikirkan, ia malah menahanku dan
menyuruhku sholat magrib berjamaah terlebih dahulu sebelum pulang. ”Magrib itu
waktunya pendek, sholat magrib dulu saja, nak” Dan menjadi semakin apes ketika
ia justru menyuruhku sebagai Imam sholat magrib berjamaah ”Sampeyan yang jadi
imam ya, nak, suaraku sudah nggak begitu jelas soalnya” Aku hanya bisa menuruti
kemauannya meski aku hanya bermodal qulhu
dan surat pendek lainnya.
Selesai sholat magrib berjamaah. Ketika
aku hendak pamit pulang, beliau malah bertanya tentang keseriusanku dengan
anaknya. “Sampeyan tenanan kalian
genduk?” aku yang masih keliatan bingung dan kikuk itu malah ceroboh dalam
memberikan jawaban. “Kulo saestu, Pak
Dhe” kemudian beliau menyuruhku untuk mendatangkan orangtuaku atau waliku
sebagai tanda bahwa aku serius dengan gadisnya.
Bisa dibilang ini adalah sesuatu yang
terlihat sangat mendadak. Aku menjadi semakin bingung. Bukan karena aku tidak
siap. Bukan! Aku sudah siap! tapi aku bingung harus bagaimana mengatakan hal
ini kepada orangtuaku, yang posisinya saat itu masih berada di pulau seberang
sana. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta bantuan om-ku, orang yang begitu
peduli dengan masa depanku itu, pasti mau membantuku. Namun aku takut dia akan
berpikir macam-macam ketika semua ini serba mendadak. Karena aku belum pernah
membawa dan mengenalkan kepada siapapun, termasuk om-ku.
Ketakutanku pun terjadi juga, ketika
aku meminta bantuan om-ku, dia malah menuduhku bahwa aku sudah menjalin
hubungan kelewat batas. Aku dituduh menghamili anak orang. Ditengah
kemarahannya, aku terus berusaha dan menjelaskan semuanya, termasuk menelpon
gadis itu yang sengaja aku loudspeaker dengan
volume terbesar agar turut serta menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Om-ku pun mulai sadar bahwa aku dalam
posisi yang benar, dan justru ia semakin mendukung langkahku, serta membantu
menjelaskan dengan anggota keluargaku yang lain, termasuk kepada orangtuaku,
serta kerabat-kerabat lain.
***
Segeralah pertemuan antara dua
keluarga itu dimulai. Aku yang kala itu hanya diantar oleh om-ku, sebagai
waliku, berniat untuk melamar gadis itu. Nampak wajah bapak dari gadis itu
begitu antusias ketika aku membuktikan keseriusanku. Ia menjadi lebih percaya
lagi untuk menyerahkan putrinya kepadaku.
Lamaranku diterima dengan syarat
segera melaksanakan akad nikah. Om-ku nampak berusaha untuk meminta jeda beberapa
hari agar bisa melakukan pembicaraan lagi dikemudian hari. Bapak itu justru
menceramahi aku dan om-ku dengan segala dalil-dalil yang membuat kami agak keder. “Menikah itu yang penting apa?
Pertama Ijab qobul sesuai dengan aturan agama, disaksikan saksi, kemudian mengumumkan pernikahan itu, selesai!
lagian anakku juga tidak meminta mahar yang tidak begitu sulit dipenuhi”
Dan om-ku hanya meng-iyakan saja. Dan
kemudian semakin menjadi-jadi, om-ku sepertinya tidak bisa berkata apa-apa lagi
ketika si bapak berkata “Baik, satu bulan lagi kita adakan pernikahan ini” Om-ku
kelihatan nampak santai, sedang aku sudah keluar keringat dingin. Kemudian kami
pamit dan bersedia untuk melaksanakan pernikahan satu bulan lagi. Aku masih
seperti antara percaya dan tidak.
Dalam perjalanan justru gantian om-ku
yang mulai menceramahiku dengan segala pengalamannya. “kalau kamu sudah yakin, ya
jalani saja. Bapak calon mertuamu itu
ada benarnya juga, daripada runtang-runtung goncengan trus mending
langsung nikah wae malah nggak dadi pikiran, nanti semua aku yang urus”
Satu bulan persiapan pernikahan? Edan!
Aku sengaja tidak mengundang teman-temanku, baik teman sekolah, kuliah ataupun
teman kerja. Sengaja aku tidak ambil cuti nikah, nanti malah heboh di kantor aku
difitnah digrebek warga untuk segera dinikahkan. Aku hanya mengundang keluarga
dekat saja.
Segala persiapan semua aku serahkan
kepada om-ku dan bulekku. Termasuk untuk keperluan akad nikah, terutama
seserahan, mas kawin dan semuanya. Mereka berdua sudah berpengalaman dalam hal
ini. Rencananya mas kawinnya aku tambahi lagi berupa cincin emas, karena dari
pihak wanita hanya menginginkan mahar seperangkat alat sholat dan uang tunai
satu juta. Sebagai laki-laki harus memberikan mahar lebih, pikirku. Kami berencana untuk mengadakan resepsi tapi
itu masih beberapa bulan lagi, yang penting akad nikah harus terlaksana terlebih
dahulu. Atau mungkin malah tidak mengadakan resepsi sama sekali.
Persiapan demi persiapan semua
berjalan lancar. Namun ada hal lain yang membuat rasa ragu itu muncul.
Pertengkaran-pertengkaran kecil, mulai dari pemilihan baju ketika akad nikah,
kemudian pemilihan masjid sebagai tempat akad nikah, seperti sesuatu yang remeh
dan tidak begitu penting untuk diperdebatkan.
Ada hal lain yang membuatku rasa ragu
kian menjadi-jadi. Ketika aku pergi ke Jogja seorang diri dan tidak berpamitan
dengannya, itu menjadi semacam sebuah kesalahan fatal. Aku benar-benar pusing
dengan sikap wanita. Sebenarnya maunya apa? Pikirku yang terbiasa hidup bebas
tanpa monitoring dari seseorang
seperti saat itu.
Belum menikah saja sudah dibuat
pusing apalagi sudah jadi suami istri? Sebuah pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di pikiran, yang
membuatku terjatuh dalam lubang keraguan. Aku benar-benar ragu, dan aku tidak
tahu harus bagaimana untuk mengembalikan keyakinanku ketika aku memutuskan
untuk melamarnya.
Perlahan tapi pasti, aku yang terus
belajar memahami makhluk bernama wanita itu, kini sudah terbiasa dengan
sikapnya. Sikap wanita yang awalnya aku anggap aneh itu, seakan menjadi
kelucuan tersendiri bagiku. Meski tekadang hal itu bisa menjadi sesuatu yang
sangat menyebalkan.
***
“Sah!” akhirnya kami sah menjadi
suami istri. Kini aku sudah berstatus baru, bukan single ataupun jomblo lagi. Malam mingguku kini tak merana lagi
dalam kesendirian. Dan dari kami sepakat untuk mengadakan perayaan kecil dengan
mengundang makan-makan warga sekitar tempat tinggalnya. Ditempat tinggalku, aku
hanya sekedar membagikan bancaan atau
di tempatku dikenal dengan istilah berkat.
Aku memesan nasi kotak dengan lauk ayam bakar utuh beserta lalapan untuk
dibagikan kepada para tetangga, sebagai langkah dalam mengumumkan pernikahanku.
Acara resepsi pun seperti batal dilaksanakan, jadilah sebuah perayaan yang
begitu sederhana.
Hari-hariku sebagai seorang suami
kini menjadi hal yang terkadang membuatku tertawa sendiri. Dan bahagia
tentunya. Aku yang ketika pulang kerja malam biasanya tak ada yang menyambut,
kini ada seorang yang menyambutku dan menyuguhkan teh panas, serta ada yang bersedia
memanaskan air untukku mandi.
Ketika bangun pagi pun ada yang
membangunkanku untuk sholat shubuh serta membuatkan secangkir kopi. Tentu juga
ada yang membuatkan sarapan pagi untukku. Jadilah aku tidak lagi sebagai anak
kos yang selalu merapel sarapan pagi dan makan siang.
Ada seseorang yang selalu
mengingatkanku untuk sholat ketika jam-jam sholat. Mengingatkanku untuk makan
siang ketika aku masih sibuk bekerja. Dan ketika hendak pulang kerja ada sms
masuk untuk menanyakan makan malam apa yang sedang kuinginkan. Dalam hati
kenapa aku tidak menikah dari dulu aja kalau hidup jadi seindah ini.
Aku seperti masih ingin hidup dalam
kebebasan. Namun perasaan ingin menjadi bapak itu pun muncul. Aku jadi ingat
ketika malam pertama, kami berdua malah asyik mengobrol berdua di dalam kamar.
Dia yang sudah mulai ngantuk pun malah sudah tertidur duluan. Mungkin dia baru
kecapekan, pikirku kala itu. Aku yang belum bisa tidur pun, malah menuju sebuah
meja kecil di sudut kamar itu. Aku membuka laptop dan menulis perjalanan
cintaku hingga menuju pelaminan yang begitu singkat itu. Perjalanan singkat
yang merupakan akhir dalam sebuah penantian pencarian.
Dan ketika aku sudah lelah. Mataku
sudah terasa perih. Aku mematikan laptopku dan menuju ke ranjang tempat istriku
tertidur. Dia nampak tertidur pulas. Dan cantik! Wanita dihadapanku begitu
cantik meski dalam keadaan tertidur pulas sekalipun. Aku yang mulai merasakan
hasrat itu, begitu bergairah dan ingin sekali bercumbu dengannya. Aku ingin
membangunkankannya untuk bercumbu, dan tentunya bercinta.
Tiba-tiba suara alarm handphoneku berbunyi. Waktu kulihat ternyata pukul 04.30 aku
harus segera bangun dari tempat tidurku karena hari ini aku harus masuk pagi. Segera
aku menuju kamar mandi dengan langkah sempoyongan.
Kemudian mulai menyalakan air dengan suara yang begitu gembrujuk, melepas celanaku dan melakukan aktifitas rutinku,
apalagi kalau bukan buang hajat. Dan ketika aku khusyuk melaksanakan hajatku, disela-sela
bunyi air yang begitu gembrujuk itu
aku mengumpat “Kampret! Hanya di sms ibu menanyakan mantu aja sampai kebawa
mimpi”
Sumber gambar: moslem-eagle.blogspot.com