![]() |
sumber gambar |
Seperti biasa, alarm handphone-ku berbunyi tepat pukul 04.30. Meski hari itu adalah minggu
sekalipun. Mata ini masih lengket, karena semalam setelah pulang kerja aku
mampir dulu di sebuah warung angkringan bersama salah satu temanku. Dan kami
berdua begadang di sana menemani mas penjual angkringan. Kala itu aku tidak bermimpi menikah lagi seperti tempo hari. Sehabis dari
angkringan aku langsung tidur pulas, hingga aku lupa, mimpi apa aku semalam.
Aku segera sholat shubuh, kemudian
menyalakan air. Sambil menunggu air penuh, aku juga menyalakan pemanas air yang
berada di dispenser, untuk membuat kopi. Aku kemudian membolak-balik buku
bacaanku sambil menunggu air penuh, serta sesekali melihat lampu indikator pada
pemanas dispenser.
Selang beberapa menit, air di
dispenser sudah panas, aku segera menuangkan beberapa sendok teh kopi, serta
gula secukupnya ke dalam cangkir. Kemudian menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Agar
terasa nikmat, setelah aku aduk rata, aku tutup rapat cangkirnya, kemudian aku tinggal
mandi.
Meski hari minggu, aku tetap mandi di
pagi hari. Maklum lah, semalam sepulang kerja, aku pulang pagi dan tidak mungkin
langsung mandi, jadi badan masih terasa lengket. Selesai mandi, aku menikmati
kopiku agar badanku sedikit terasa hangat sehabis diguyur dengan air dingin. Kemudian
aku berganti baju dengan kaos serta celana training
panjang, karena hari itu aku sedang ingin ke car free day atau CFD.
Tidak lupa, aku habiskan terlebih
dahulu kopi hitamku yang masih hangat. Ditemani beberapa potong biscuit. Jadilah
menu sarapan pagiku terasa nikmat, meski sangat sederhana.
Aku kemudian segera berkemas. Aku
tidak membawa apa-apa, kecuali handphone,
kemudian dompet tentunya. Pagi-pagi aku segera memanasi motorku terlebih dahulu,
sebelum aku berangkat menuju CFD Solo,
yang berada di Jalan slamet riyadi.
Jalanan pagi hari masih sangat sepi.
Dan dingin! Terlihat embun tipis masih menyelimuti jalanan. Aku yang sedikit
alergi dingin pun beberapa kali harus bersin-bersin. Karena jalan menuju CFD sudah mulai ditutup, sengaja aku
lewat jalan dekat stadion manahan, dan di area manahan sudah terlihat mulai
ramai dengan orang-orang berbagai aktifitas, ada yang ber-sepedaan, atau jalan-jalan
bersama keluarganya.
Aku menuju CFD lewat jalan depan Solo Paragon, kemudian ambil kanan, jalan
menuju Percetakan Tiga Serangkai (TS). Aku memarkirkan motorku di pertigaan
dekat Sriwedari. Kemudian aku berjalan menghambur bersama orang-orang di CFD jalanan slamet riyadi, yang sudah
mulai ramai. Semakin lama, jalanan semakin ramai, dipadati oleh anak-anak muda,
serta ada juga anak kecil yang didampingi keluarganya. CFD malah lebih mirip dengan tempat wisata, pikirku! Ada juga beberapa
komunitas yang menjadikan CFD sebagai
tempat untuk berkumpul.
Aku melihat kanan-kiri, sambil
berjalan menyusuri jalanan slamet riyadi yang penuh sesak, namun cukup teratur,
karena saling menghormati sesama pengguna jalan. Tidak sedikit pula, di
pinggir-pinggir jalan, atau tepatnya di trotoar jalan, ada pedagang yang
memanfaat tempat keramaian seperti di CFD
untuk berjualan, baik makanan, minuman, mainan, maupun pakaian.
Dari arah timur, setelah lampu merah
sriwedari, ada gedung baru Bank Mandiri, dan tepat di seberang jalannya, ada
beberapa orang yang sedang menggelar tikar. Namun mereka bukanlah pedagang yang
sedang menggelar dagangannya. Ada beberapa anak kecil yang sedang mengerubungi
mereka.
Kemudian aku mendekatinya, dan waktu
aku lihat, ada semacam spanduk berwarna kuning bertuliskan “Anak Bawang,
komunitas permainan tradisional” dan aku juga membaca ada semacam tag line pada spanduk tersebut “aku
bermain, maka aku senang” Iya! Mereka adalah komunitas anak bawang. Komunitas
yang bapaknya aku culik untuk ikut serta berkontribusi di lobimesen.com. Siapa
lagi kalau bukan Mas Burhan. Di tengah kesibukan pekerjaan dan kegiatan
sosialnya, aku sedikit ragu ketika akan menagih tulisan darinya.
Komunitas anak bawang adalah sebuah
komunitas yang memiliki misi untuk terus melestarikan permainan tradisional di
tengah tuntutan zaman, serta gerusan teknologi yang semakin tidak ramah
terhadap anak-anak.
Komunitas anak bawang, setahuku
berawal dari sebuah seminar nasional. Kala itu menghadirkan Zaini Alif, seorang
peneliti permainan tradisional, serta penggagas berdirinya komunitas hong. Selain
itu, ada juga pembicara seorang psikolog dari UNAIR Surabaya, yang kebetulan
aku sudah lupa namanya.
Berawal dari seminar itu, kemudian
berinisitaif membuat komunitas permainan tradisional yang bernama, anak bawang.
Kemudian mereka sering membuka lapak di CFD.
Dan semakin lama, anak bawang semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Pemberitaan-pemberitaan mulai dari media cetak lokal dan media cetak nasional
membuat komunitas anak bawang semakin dikenal. Bahkan pernah juga pemberitaan
tentang komunitas anak bawang menghiasi layar kaca telivisi. Sebut saja media
lokal, seperti Solops tv, TA tv, kemudian media nasional seperti Net tv pun
pernah meliput mereka.
Sebuah tujuan yang sangat mulia.
Mereka hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali (mengenang) masa kecil
kita yang jauh dari teknologi. Hanya sebentar di sana saja, aku seperti diajak
untuk menziarahi masa laluku, yaitu masa kecilku, ketika aku hidup di sebuah
desa di pinggiran kota Sukoharjo.
Ada beberapa macam permainan
tradisional yang mereka coba kenalkan kembali kepada generasi masa kini, yaitu
generasi yang hidup di era teknologi seperti saat ini. Ada permainan yang
menggunakan alat, seperti; egrang, gasing, lompat tali, aku menyebutnya dengan
“ding”, dakon, bekel, malingan, surakarta, dam, bakiak, serta egrang bathok
kelapa. Kemudian ada juga yang tidak menggunakan alat, seperti betengan,
engklek, gobag sodor, serta permainan tradisional lainnya.
Melihat egrang yang sedang tergeletak
di tepi jalan, aku kemudian tak segan untuk memainkannya. Aku ternyata masih
bisa bermain egrang meski sudah lama tak pernah memegang egrang.
Aku ingat ketika dulu sedang belajar
bermain egrang. Teman-teman masa kecilku yang sudah pintar bermain egrang,
kemana-mana dengan kemlinthi berjalan
dengan menggunakan egrang. Aku dulu awalnya sangat takut, bisa berdiri sebentar
saja sudah sebuah kemajuan. Kemudian setelah beberapa saat, aku kemudian bisa
mengatasi rasa takutku dan lebih tenang ketika sudah berdiri dengan egrang.
Kemudian pelan-pelan aku berjalan, dan aku pun bisa bermain egrang. Tentu
dengan gaya kemlinthi seperti yang
dilakukan teman-teman masa kecilku, ketika kemana-mana berjalan dengan egrang.
Untuk anak-anak yang belum bisa
mengatur keseimbangan tubuhnya ketika bermain dengan egrang kayu, ada juga
anak-anak yang lebih memilih memainkan egrang dengan bathok kelapa, karena
lebih mudah cara memainkannya. Ada juga anak-anak yang bermain engklek di aspal
yang sudah bergambar pola untuk bermain engklek. Selain itu, ada juga gambar
kotak-kotak di atas aspal dengan menggunakan kapur, sepertinya pola kotak-kotak
tersebut digunakan untuk bermain gobag sodor, hanya saja tak ada seorang pun
yang memainkannya.
Aku melihat gasing, dan tentu aku
juga ingin mencobanya. Gasing yang bisa berputar ketika ditarik dengan seutas
tali, kemudian mengeluarkan suara mendengung dari celah bambu gasing tersebut.
Namun berulang kali aku mencobanya, aku tak bisa membuatnya berbunyi mendengung
ketika gasing tersebut berputar. Aku lupa dengan tekniknya, lilitan tali harus
sesuai agar putaran gasing bisa mengeluarkan suara dengungan ketika gasing
tersebut berputar.
Di jalanan yang agak menengah,
remaja-remaja putri, bahkan bisa dikatakan sudah mbak-mbak yang nampaknya ia
adalah mahasiswi-mahasiswi perantauan yang sedang kuliah di Solo, sedang
bermain lompat tali dengan penuh suka cita. Mereka seperti kembali ke zaman
mereka masih kecil, nampak wajah-wajah sumringah tanpa beban tugas kuliah
ketika sedang bermain lompat tali.
Ada juga keluarga kecil, ayah, ibu
dan dua anaknya yang sudah beranjak dewasa, saling berkerja sama dalam bermain
bakiak. Mereka nampak menikmati permainan tersebut. Mereka seperti dalam sebuah
perlombaan tujuh belasan, ketika mereka secara bersama-sama meneriakan, “Kanan
– kiri – kanan – kiri” dengan diikuti langkah kaki sesuai instruksi mereka.
Namun ada satu permainan yang tidak
kutemui, yaitu delikan. Delikan atau
lebih dikenal dengan petak umpet. Aku paham betul kenapa delikan tidak dimainkan. Mungkin ruang yang terlalu terbuka, serta
ramainya jalannya kala CFD membuat
susah untuk menemukan orang yang sedang ndelik
atau bersembunyi. Jika ada permainan delikan
bisa saja, bilangnya bersembunyi kemudian malah berlari jauh dan pada akhirnya
malah pulang duluan. Malah jadi kasihan yang jaga kalau begitu.
Tapi, waktu masih kecil, aku pernah
melakukan hal itu, yaitu ketika itu aku bermain delikan dengan teman-teman masa kecilku. Aku yang kebetulan sedang khusyuk ndelik di belakang rumah,
tiba-tiba ada yang memanggilku dan menyuruhku pulang untuk segera mandi, karena
hari sudah sore. Setelah mandi, aku yang mulai lapar pun malah menyempatkan
diri untuk makan sekalian, padahal temanku yang sedang jaga masih mencariku.
Aku yang sudah rapi dan kenyang pun, tanpa rasa bersalah keluar dari rumah,
menuju tempat temanku berjaga. Dan dengan senyum nyengir aku berkata, bahwa aku tadi pulang dulu, mandi dan makan sekalian. Temanku pun juga
tidak marah dengan perilakuku, dia pun hanya senyum kecut dengan tingkahku.
Bermain delikan akan bertambah seru ketika dilakukan di malam hari. Ketika
ada tetangga kami ada yang punya gawe, kami
yang masih kecil pun, turut meramaikan hajatan dengan bermain delikan pada malam hari. Biasanya yang
jaga dua orang, sedang yang lain bersembunyi. Kami punya aturan dalam bermain delikan, misalnya tidak boleh
bersembunyi di dalam rumah, dan tidak boleh bersembunyi di luar wilayah yang
sudah kami sepakati sebelumnya. Jika melanggar aturan, jelas sanksinya adalah
berjaga selama lima kali berturut-turut. Dan baru aku sadari setelah dewasa,
bahwa dalam hal ini kami belajar untuk sportif,
dan komitmen dengan kesepakatn yang telah kami buat. Dan entah apa yang membuat
kami semua berani bersembunyi di tempat yang sulit ditemukan, padahal itu di
malam hari. Dan baru aku sadar ketika aku beranjak dewasa, bahwa aku pernah
bersembuyi di sebuah tempat yang menurut orang-orang sekitar, adalah tempat wingit atau angker.
***
Setelah puas bermain, serta
bernostalgia dengan permainan-permainan masa kecilku bersama komunitas anak
bawang. Aku kemudian pulang, karena CFD yang semakin siang, semakin sepi. Aku
juga masih harus pergi ke Sukoharjo. Aku yang sudah mulai lapar, juga ingin
menziarahi tempat kuliner masa kecilku.
Aku ingat ketika tanggal muda, Om-ku
yang dulu masih bekerja di Undip Semarang akan pulang ketika akhir pekan. Kemudian
mengajakku potong rambut. Setelah itu, mampir di sebuah warung bakso yang
sangat sederhana. Meski terlihat sederhana, soal rasa tiada duanya. Lidahku
hampir hafal betul dengan rasa bakso itu. Bahkan sejak kecil rasanya masih saja
konsisten, meski dulu pernah digempur dengan pemberitaan bakso tikus, dan
boraks, namun warung bakso yang sederhana itu, tetap saja masih ramai.
Apalagi kalau bukan warung bakso Pak
Dhe Jumbadi, yang menurutku belum ada yang bisa mengalahkan cita rasa baksonya,
apalagi tetelan, gajih, serta babat dalam kuah baksonya itu, membuatku lupa apa
yang namanya kolestrol.