![]() |
sumber gambar |
Kami berdua duduk di teras rumah. Di
luar yang awalnya hanya gerimis saja, namun kini hujan turun begitu deras. Aku
yang sebenarnya ingin segera pulang, namun hujan justru menahanku agar tetap di
sana. “Tak apalah, lagian aku juga sudah lama tidak berkunjung ke sini” Pikirku,
yang mencoba untuk memaklumi hujan, yang justru semakin deras.
“Nduk,
. . . .” (genduk dalam masyarakat
jawa sering digunakan untuk memanggil anak perempuannya) Beliau memanggil anak
gadisnya yang kebetulan sudah pulang dari kuliah.
“Tolong bikinin kopi seperti biasa
ya, nduk, sama mas-nya sekalian” Beliau
meminta anak gadis si mata wayangnya untuk membuatkan kopi. Ohiya, bapak ini
adalah seorang duda beranak satu. Aku tidak tahu pasti kenapa istrinya
meninggal. Sang istri meninggal ketika usia anak gadisnya masih bayi. Meski
sempat menikmati asi ekslusif dari Ibunya, namun takdir membuat gadis yang
masih berusia bayi itu harus kehilangan belaian dan kasih sayang dari sosok
seorang Ibu.
Dan beliau memutuskan untuk tidak
menikah lagi dan lebih suka mengasuh anaknya seorang diri, dibantu oleh
neneknya (orangtua beliau), yang sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu. Aku
masih ingat, ketika aku datang untuk melayat, nampak wajah gadis itu sangat
kehilangan ketika harus menerima kenyataan, bahwa nenek yang mengasuhnya sejak
kecil, harus berpulang lebih dulu.
Aku tidak berani bertanya lebih jauh kenapa
istrinya meninggal, serta apa yang membuatnya untuk memilih tidak menikah lagi.
Karena aku tidak ingin membuatnya mengingat kembali masa lalunya, yang tak
kutehaui secara pasti. Aku takut ingin membuatnya sedih, ketika ia mulai mengingat
kembali masa lalu. Namun, ditengah gemricik hujan, ia justru mulai bercerita
tentang masa lalunya.
“Beginilah kalau hidup sendiri, nak”
beliau memang sering memanggilku dengan sebutan “nak” karena ia sudah menganggapku
sebagai anak laki-lakinya. Dan anak gadisnya, yang dulu sewaktu masih kecil
sering aku momong itu, kini sudah menjadi gadis yang cantik
nan cerdas. Anehnya, dulu sewaktu kecil kami berdua sangat akrab, seperti
halnya seorang adik-kakak. Namun, semenjak lama tak bertemu dan sudah beranjak
dewasa, kami justru sungkan untuk saling bertegur sapa.
“Sebuah ujian tentang kesetiaan”
beliau sepertinya hendak menceritakan apa yang ia lalui semasa hidupnya.
Kemudian dengan nada lirih beliau melanjutan ceritanya, bagaimana sebuah
rencana kehidupan yang ia coba bangun untuk membina bahtera rumah tangga yang
utuh, penuh dengan kebahagiaan, namun harus menerima kenyataan, bahwa istrinya
terlalu cepat meninggalkannya dan anak gadisnya yang kala itu masih bayi.
“Namanya juga hidup, ada pertemuan, tentu
ada juga perpisahan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupanku,
namun aku tak boleh takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk
hal-hal buruk yang akan terjadi di kemudian hari” begitu ia mencoba bercerita
mengais kembali kehidupan masa lalu dan mencoba mengambil hikmah dalam setiap
peristiwa.
Kemudian tiba-tiba, anak gadisnya
datang dengan membawa dua cangkir kopi hitam serta nampak ada beberapa pisang
goreng sebagai cemilan untuk menemai obrolan kami. “Tak usah repot-repot, Mba”
aku mulai basa-basi dengannya
“Lho, kok Mba? Genduk ini kan yang dulu kamu momong
pas aku lagi ada acara di luar rumah, kamu ndak ingat gimana genduk ini nangis waktu kamu tinggal
pulang?” aku menatap wajah gadis itu, dan dia nampak malu, sedangkan aku hanya
mangguk-mangguk sambil melempar senyuman.
Sebelum anak gadisnya meninggalkan
kami, beliau berpesan kepada anak gadinya “Nduk,
bapak sepertinya sudah lapar, minta tolong bikinin indomie rebus ya, jangan
lupa ditambah dengan irisan cabai, namun jangan terlalu banyak, bisa mencret
nanti bapak”
Beliau juga menawariku lagi, namun
kali ini aku menolaknya. Bukannya kenapa, tapi karena aku seminggu ini sudah
terlalu sering makan mie instan, jadi tidak baik untuk pencernaanku. Aku
menolaknya dengan halus, khas orang jawa, namun kali ini aku benar-benar tidak
mau, bukan hanya sekedar basa-basi “Aku sudah kenyang, aku minum kopi sama
gorengan saja” jawabku
“Kalau begitu, ayo diminum kopinya,
mumpung masih panas. Sama cemilannya juga dimakan, masih anget ini, genduk sendiri ini lho yang bikin”
beliau mempersilahkanku untuk segera menicipi suguhan yang baru saja di taruh di atas meja kami.
Kami berdua mengambil cangkir kopi
dan mulai menyruput kopi kami. Kopi yang menurutku sangat pas rasanya. Tidak
terlalu manis, juga tidak terlalu pahit. Aku mengambil pisang goreng yang masih
anget untuk menemani minum kopi. Sebuah perpaduan yang nikmat; hujan, kopi dan
pisang goreng.
Kami berdua melanjutkan obrolan kami,
beliau ternyata juga pernah memiliki keinginan untuk menikah lagi, namun
nampaknya dia tidak mau membuat anak gadisnya kenapa-napa. Padahal tidak ada
penolakan dari sang anak, ketika beliau memulai membicarakan rencana
pernikahannya. “meski aku belum punya calon, aku pernah membicarakannya kepada genduk, sebenarnya dia juga tidak
mempermasalahkan hal itu, namun perasaan takut justru datang dari diriku
sendiri, aku merasa masalah akan datang ketika aku memutuskan untuk menikah
lagi. Dan di saat seperti itu aku tentu tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya
ingin genduk tidak kenapa-apa” sepertinya beliau lebih mengkhawatirkan anak
gadisnya.
“Wanita itu memang terkadang rumit,
sekarang mungkin bilang “ya”, tapi besok bisa saja bilang “tidak”. Beliau mengucapkan dengan nada sedikit becanda
dan sambil tertawa kecil.
***
Tidak lama kemudian, nampak anak
gadisya datang dengan membawa indomie rebus dengan irisan cabai sepert
permintaan beliau. Setelah menaruh
semangkok indomie rebus, dia langsung masuk ke dalam lagi. Bahkan aku merasa
ragu ketika hendak menyapanya.
“Aku sambil makan ndak apa-apa ya, nak” beliau langsung
menikmati indomie rebusnya. Karena jika terlalu lama, nanti mie malah jadi
mengembang dan rasanya menjadi tidak senikmat ketika masih dalam keadaan panas.
Apalagi di saat suasana hujan grimis seperti saat itu, indomie rebus dengan
irisan cabai sangat cocok dalam cuaca seperti saat itu.
“monggo,
ndak apa-apa” jawabku. Kemudian aku mengambil cangkir kopi dan menyruput
kopi yang sudah mulai menghangat. Aku mengambil pisang goreng lagi. Dan
beberapa menit suasana menjadi hening. Beliau nampak menikmati indomie rebus
buatan anak gadisnya, sedangkan aku masih menikmati pisang goreng suguhan
darinya. Dan hanya suara gemricik air hujan yang terdengar di tengah keheningan
kami.
Beliau sudah menghabiskan indomie
rebusnya, bahkan ia menikmati hingga menyruput kuahnya yang masih nampak irisan
cabainya. Dan keheningan mulai pecah, ketika ia mulai bercerita lagi.
Aku kala itu, lebih sering hanya
sebagai pendengar saja, ketika beliau mulai bercerita. Nampaknya ia sudah mulai
kangen dengan suasana seperti saat itu. Aku bisa memakluminya karena sudah lama
aku tidak mampir ke rumahnya. Aku selalu beralasan, bahwa aku sedang sibuk
dengan pekerjaanku, atau aku sedang ingin beristirahat ketika sedang libur
kerja.
“Kamu itu, sudah aku anggap sebagai
anakku sendiri. Karena aku tidak punya anak laki-laki, suatu saat aku juga
butuh kamu, aku hanya punya satu anak perempuan, yaitu genduk” Beliau kemudian bercerita bahwa ia sudah menganggapku
sebagai anaknya sendiri. Selain itu dia juga bercerita, bahwa gadis anak si
mata wayangnya, pernah protes dengan sikap beliau terhadapku. “Genduk saja sampai protes ke aku,
katanya aku justru perhatian ke kamu daripada ke anaknya sendiri”
“Bagaimana pekerjaanmu, nak?
Beliau mulai bertanya hal-hal yang
terkait denganku. Aku mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan pekerjaanku.
Aku hanya mengatakan bahwa rasa bosan itu pasti ada, namun aku harus bisa
mengatasi rasa bosanku.
Dan beliau mulai memberikan
nasehat-nasehat kecilnya. “Dalam kehidupan ini, yang terpenting harus
bersyukur, kamu harus belajar bersyukur, nak” Beliau menasehatiku tentang
pentingnya bersyukur.
“Seperti kata orang, sering-sering
lah melihat ke bawah, agar dirimu senantiasa bersyukur, jangan pernah melihat
orang lain yang berada di atasmu, karena itu hanya membuatmu semakin tak kenal
dengan apa itu bersyukur” beliau menasehatiku lagi tentang bersyukur.
Kemudian beliau menanyakan berapa
gajiku sekarang, kemudian aku menyebutkan nominal sesuai gajiku. Kemudian beliau
menyuruhku untuk mensyukuri apa yang aku dapatkan. Serta senantiasa agar aku
tidak berusaha mengetahui berapa gaji orang lain. “Berapapun gaji seseorang,
semua juga bakal habis, tergantung bagaimana menyikapinya” begitu kira-kira
beliau berpesan kepadaku.
“Ibarat sebuah mie instan” Beliau
sedikit menyodorkan mangkuk tempat indomie rebus yang baru saja selesai ia
makan. Kemudian melanjutkan nasehatnya “Kamu akan menikmati betapa enaknya
semangkok indomie rebus ini, meski hanya ditambahi beberapa irisan cabai dan
tanpa telor, apalagi suasana gerimis di sore hari seperti ini, membuat semakin
nikmat lah indomie rebus yang dinikmati selagi masih panas”
Aku hanya mangguk-mangguk ketika
beliau masih menasehatiku
“Kenapa bisa senikmat itu indomie
rebus ini? Karena aku hanya fokus dengan apa yang sedang dihidangkan kepadaku. Aku
menikmati semangkok indomie rebus ini, tanpa melihat kanan-kiriku atau
membayangkan orang lain sedang menikmati mie ayam, atau mieso (mie ayam bakso) jadilah indomie rebus ini
terasa nikmat, meski hanya ditambah beberapa irisan cabai dan tanpa ditambahi
telor seperti halnya di sebuah warung burjo”
Nasehat di balik semangkok indomie,
kataku dalam hati ketika mendengarkan nasehat dari beliau. Benar juga apa yang
di sampaikan oleh beliau barusan. Kita tidak fokus dengan apa yang diberikan
kepada kita, dalam hal ini kita menyebutkan dengan rizki atau rejeki yang diberikan
Allah kepada kita. Dan ketika kita sibuk dengan apa yang diperoleh orang lain,
maka kita tak bisa mensyukuri apa yang sedang dihadapan kita.
Kemudian aku bertanya dengan beliau “Terus,
bagaimana caranya agar aku bisa menikmati hidup ini?” ketika itu beliau baru
mengambil kopi dan meminum kopi hitam yang sudah mulai dingin. Kemudian menjawab
apa yang kutanyakan “Begini, di meja ini, misalnya di atas meja ini ada
semangkok indomie rebus, di sampingnya ada secangkir kopi” beliau masih
menggunakan perumpamaan dengan indomie rebus. Dan aku menyimak nasehat beliau
dengan serius.
“Kamu tentu tahu bahwa aku amat suka
dengan kopi bukan? jadilah kopi sebagai pelengkap yang membuatku lebih
bersyukur menikmati apa yang ada di depanku” Aku hanya tersenyum saja ketika
sadar betul apa yang beliau maksud. “Nah, pada intinya, agar kamu bisa menikmati
indomie rebus yang dihadapanmu, kamu harus mencari kopi-kopi dalam kehidupanmu,
tentu agar kamu bisa bersyukur dan menikmati hidup” beliau mengakhiri
nasehatnya dengan menghabiskan kopinya yang kini tinggal ampas.
“Kalau bisa, kamu harus bisa menikmati
pekerjaanmu. Tapi, kalau tidak bisa, kamu boleh melakukan apa saja di luar
pekerjaanmu, tentu melakukan hal-hal yang bermanfaat, setidaknya bermanfaat
bagi dirimu sendiri, agar kamu bisa menikmati hidup ini, karena hidup bukan
melulu soal mencari rizki, namun juga tentang bagaimana menikmati rizki yang
diberikan kepada kita. Dan jangan lupa untuk bersyukur” beliau menambahkan
nasehatnya kepadaku.
***
Kami berdua sudah lama mengobrol,
kopi yang di cangkir pun kini tinggal ampas, dan hujan juga sudah mulai reda. Aku
kemudian pamit pulang, tidak lupa aku berpamit terlebih dahulu. Kemudian beliau
memanggil anak gadisnya karena aku hendak berpamitan.
Selesai aku berpamitan dan bersalaman
dengan beliau, kemudian aku berpamitan juga dengan anak gadisnya. Gadis yang
dulu adalah seorang gadis manja, sering merengek nangis ketika akan kutinggal
pergi itu, kini berubah menjadi gadis dewasa yang terlihat cantik dan cerdas. Namun
dia lebih suka menyembunyikan kecantikannya di balik kerudung merahnya. Kemudian aku
terlihat bodoh ketika akan berpamitan dan hendak bersalaman dengannya, dia menolak
bersalaman denganku dan sepertinya gadis yang dulu manja itu tahu bahwa kami
bukan muhrim.
Aku kemudian tersenyum kepadanya dan
menarik tanganku ke dadaku, dan tidak lupa meminta maaf. Kemudian aku pulang. Tak
lupa berterima kasih atas jamuan, bukan hanya jamuan kopi dan cemilannya. Tapi juga
atas nasehat dibalik semangkok indomie rebusnya.
Dalam perjalanan aku mulai merenungkan
apa yang di sampaikan beliau kepadaku. Benar apa kata beliau, aku harus bisa
menikmati pekerjaanku sendiri. Dan jika aku belum bisa menikmati pekerjaanku,
aku akan mencari tahu apa yang menjadi hobiku, tentu dalam hal ini aku amat
suka nge-blog. Jadilah aku sekarang
mempunyai dua kesibukan. Kesibukan pekerjaanku dan kesibukan menghidupi blog pribadiku dan blog bersama yang coba kami rintis.
Kenapa aku melakukan itu? Kesibukan di
luar pekerjaan yang hanya membuang waktu karena tidak bisa menghasilkan uang. Mungkin
orang akan menganggap aneh, bahkan sebagian ada yang mengganggap hal itu adalah
“gila”. Namun ketahuilah aku sedang berusaha agar aku tidak "gila" dengan
rutinitas yang bernama pekerjaan. Itu mungkin adalah kopi dalam kehidupanku
agar aku bisa semakin bersyukur dengan indomie rebus di hadapanku.