Stand Up Comedy (Komedi Cerdas, Hiburan dan Psikoterapi)
Oleh: Dyah Mayasari
Mencari
hiburan untuk beberapa orang mampu mengatasi stres yang sedang mereka hadapi.
Hiburan favorit bagi setiap orang pun berbeda. Bagi saya sendiri untuk mencari
hiburan biasanya nonton film, genre
film yang saya suka salah satunya film action,
science fiction, kadang drama dan yang paling sering saya tonton
adalah film comedy.
Mulai dari action comedy, drama comedy, maupun
bentuk film komedi lain yang penting bukan comedy
horror apalagi produksi Indonesia, pemainnya lebih serem dari jalan cerita
horornya. Atau kalau tidak saya lebih suka streaming
di youtube menonton acara lucu,
pokonya asal bisa tertawa. Dan salah satu hiburan ala youtube yang saya suka adalah stand-up
comedy.
Akhir-akhir
ini stand-up comedy di Indonesia bak
jamur di musim hujan. Dulunya masih menjadi konsumsi kalangan tertentu,
sekarang bahkan menjadi acara rutin di beberapa stasiun televisi. Semakin
kesini stand-up comedy jadi hiburan
yang tak asing di berbagai kalangan, baik anak muda hingga orang tua.
Stand-up comedy merupakan
bentuk komedi atau melawak yang dilakukan secara monolog oleh satu orang (one man show). Bentuk komedi ini kata
banyak orang sebagai komedi cerdas, karena memerlukan teknik-teknik tertentu
dalam setiap penampilannya. Menurut saya, komedi sendiri merupakan hiburan yang
memerlukan kecerdasan tingkat tinggi. Apapun bentuk komedinya, menciptakan
lelucon membutuhkan kreativitas. Untuk stand-up
comedy sendiri pasti bukan urusan mudah menjadi single fighter di atas panggung untuk membuat penonton tertawa.
Entah sejak
kapan saya mulai tertarik dengan stand-up
comedy, yang saya ingat beberapa tahun lalu sekitar awal 2011, segerombolan
teman organisasi (yang merasa dirinya lucu) mengikuti acara stand-up comedy di Tony Jack Cafe (sekarang Jack Star) Solo. Nama
acaranya Jumat kumat, acara open mic
yang digawangi oleh komunitas stand-up
comedy Solo. Acara tersebut membuka kesempatan dan menantang siapapun yang
berani menunjukkan kemampuannya dalam ber-stand
up comedy. Bagi siapapun yang mendaftar akan diberikan waktu sekitar 6
menit untuk open mic di depan para
pengunjung cafe dan comic lain. Tidak ada penilaian, tidak
ada yang menang ataupun kalah, hanya rasa puas
karena dapat menciptakan gelak tawa audience
atau rasa menciut karena hanya sebagai boom
belaka (istilah agak kasarnya krik krik
krik).
Mendaftarlah
mereka yang jiwa komediannya tertantang. Apabila daftar di hari Jumat minggu
ini, maka mereka akan tampil hari Jumat malam minggu depan. Nah, di sela waktu 6
hari itu mereka melatih kemampuannya di sekretariat organisasi kami (yang biasa
kami sebut markas). Mereka satu persatu menunjukkan materi-materi yang sudah
dibuat, menjajalnya pada kami yang mungkin tak sengaja berada disana. Karena
hampir setiap hari datang ke markas, di sinilah saya berkenalan dengan yang
namanya stand-up comedy.
Awalnya saya
hanya pendengar yang nggak ngeh ngeh
banget, sampai suatu ketika salah satu dari mereka tampil dan saya
dengarkan dengan sungguh-sungguh. Materi yang dibawakan tidak jauh-jauh dari
kehidupan sehari-hari mereka, dan bukan hal asing bagi kehidupan kita secara
umum. Ada yang mengangkat trend atau
isu yang sedang berkembang bahkan “kesialan-kesialan” yang pernah mereka alami
dan menjadikannya sebagai bahan untuk diolah kedalam penampilan yang menarik,
menertawakan kesialan bersama.
Ya
begitulah, para comic (sebutan untuk standup comedian) butuh kemampuan
menulis materi dan kemampuan delivery
yang apik. Stand up comedy bukan
hanya bercerita lucu namun memberikan pendapat dari hasil pengamatan dan
analisanya terhadap isu yang dibahas ataupun tentang pengalaman pribadinya. Di
sinilah seorang comic harus mempunyai
kreativitas dalam menyajikannya dari sudut pandang jenaka dan menciptakan
logika alternatif.
Seorang comic harus pandai menciptakan konten,
menyusun dan memilah kata, serta membuat skenario yang apik dari set-up hingga punchline. Lalu karena mengandalkan monolog, seorang comic juga harus memiliki kecerdasan
dalam berkomunikasi, mampu memainkan mimik wajah, pandai mengatur intonasi, dan
menjaga artikulasi.
Tidak hanya
para comic teman-teman mantan pejuang
Tony Jack yang saya favoritkan, ada pula para comic terkenal yang menurut saya lucu seperti Ernest Prakasa,
Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, Boris Bokir, Soleh Solihun, Muhadkly Acho,
Ge Pamungkas, dan masih banyak lagi. Meskipun sama-sama ber-stand up comedy, masing-masing dari
mereka mempunyai gaya dan kekhasan sendiri dalam ber-stand up comedy. Misal, Raditya Dika hampir semua materinya tentang
kesialan dalam hubungan percintaan(nya). Kalau Ernest Prakasa dan Boris Bokir
lebih banyak menyinggung tentang etnis mereka yaitu Cina dan Batak. Dah itu aja contohnya.
Meskipun nyomot dari blog orang dan tanya sana
sini, saya akan sedikit menyinggung dasar teori tentang ber-stand up comedy. Materi atau joke dalam stand up comedy disebut bit. Secara struktur, bit terdiri dari 2 bagian, yaitu set-up dan punchline. Set-up adalah
bagian pengantar sebuah joke, bagian
ini diperlukan untuk mengarahkan perhatian audience
ke bagian lucu. Punchline sendiri
adalah bagian yang lucu dari sebuah bit,
biasanya dengan membalikkan premis atau memberikan sesuatu yang mengejutkan
sebagai penutup dari set-up atau
premis tadi.
Saya akan
memberikan contoh materi stand up comedy
yang pernah dibawakan oleh Ernest Prakasa.
Set up :
Sebentar lagi pemilu. Sekarang
popularitas dan elektabilitas Bapak Jokowi terus meroket, bukan hal yang tidak
mungkin dia akan jadi presiden atau wapres. Dan apabila posisi gubernur Jakarta
kosong maka secara otomatis Wakil Gubernur akan diangkat jadi gubernur.
Puncline 1 :
Rasain loe semua, Gubernur loe Cina.
Puncline 2 :
Kalian tahu Iluminati? Kalau ini Ilucinati.
Sebagai
lulusan psikologi sebenarnya materi atau buku kuliah yang seabreg itu mungkin hanya satu dua teori yang masih nyantel dalam memori (hihi). Yang samar-samar saya ingat stres
merupakan bentuk ketegangan fisik, psikis, maupun emosi karena adanya tekanan
dari dalam maupun luar diri seseorang (jangan ditanya itu teori siapa, pasti
saya lupa). Stres itu bersifat individual, kondisi tertentu bisa saja
menimbulkan stres pada satu orang namun tidak bagi orang lain. Cara
mengatasinya (coping stress) bagi
setiap orang pun berbeda-beda, juga bersifat individual.
Alasan saya
tertarik dengan stand-up comedy, selain
karena bentuk lawak satu ini unik juga karena mendengar lelucon yang
menciptakan rasa menggelitik di dada itu sangat menyenangkan. Saat hati sedang
tidak enak, mencari atau melakukan sesuatu untuk membuat mood kembali membaik adalah solusinya, dan salah satunya adalah
tertawa. Setidaknya itu yang saya lakukan untuk mengatasi stres atau mood yang sedang tidak baik.
“Tak ada
banyak lelucon dalam obat, tapi dalam lelucon ada banyak obat” (Josh Billing).
Psikiater
asal India, Dr. Madan Kataria, memanfaatkan humor untuk terapi (lihat
www.psikologipsikoterapi.com). Pendiri Laughter
Club International tersebut mengungkapkan bahwa humor dapat menstabilkan
kondisi psikis seseorang, yakni bisa mengurangi kecemasan dan menghilangkan
stress, sehingga berpengaruh dalam meningkatkan kesehatan mental.
Pada saat
tertawa, seluruh syaraf dan otot akan mengendur sehingga membuat suasana hati
menjadi tenang dan nyaman. Kondisi ini akan memberi respon positif ke otak,
sehingga otak akan bekerja lebih optimal yang akan menstimulasi pikiran dan
perasaan positif. Karena humor membuat hati riang sehingga lebih mudah
mendapatkan ide ide baru. Tertawa pun membuat sistem kekebalan tubuh dan
pembuluh darah jantung bekerja lebih aktif. Begitulah kurang lebih yang dia
tulis dalam teori terapi humornya. Bagaimana pun baiknya manfaat tertawa, namun
jangan berlebihan. Banyak tertawa apalagi ketawa-ketawa sendiri malah bikin
orang lain curiga loh.
Tetap
tertawalah secukupnya, obat sebagai penyembuh pun jika terlalu banyak bisa
menjadi racun bagi tubuh. Tertawa juga tidak harus keras dan terbahak-bahak,
cukup tertawa kecil namun dengan kenikmatan dalam hati, akan lebih menghayati
kesenangan itu sendiri dan lebih bermanfaat.
Dalam hadist
riwayat Bukhari disampaikan pula bahwa, "Janganlah engkau banyak tertawa,
karena banyak tawa itu dapat mematikan hati". Sebenarnya jika masih dalam
kadar seperlunya bercanda dan tertawa sangat diperbolehkan.
Namun tak
selamanya humor itu komedi, seringkali humor itu justru menemukan makna lain di
balik sebuah tragedi. Kadang humor itu tertawa, kadang humor itu bermuhasabah
hingga dapat menertawakan masalah sendiri, bahkan menangis sambil tertawa. Bagi
mereka yang bisa menertawakan diri sendiri, entah soal kemalangan yang pernah
terjadi, cedera serius yang pernah menyayat hati, atau masalah hidup lainnya,
pasti sudah selesai dengan dirinya.
Entah apapun
yang saya tulis ini bermanfaat atau tidak, kalian mengerti maksud yang ingin
saya sampaikan atau tidak, satu pesan saya. Jangan lupa bahagia, ya. Udah sih, intinya itu. :)
Satu lagi,
saya bersyukur mempunyai bayak teman yang sedikit banyak bisa nge-lucu (salah
satunya seperti mereka yang sok-sok ikut stand-up
comedy), kan lumayan penghibur gratis.
Sekian, saya
Dyah Mayasari, dan saya bukan stand up
comedian.
Sumber :
Sumber
gambar; standupsukabumi.blogspot.com
http://www.psikologipsikoterapi.com
http://www.lacasacomics.com