Sengaja aku membuat judul di atas biar layaknya Gie yang sedang
mengkritik almameternya dan kehidupan mahasiswa pada masa itu. Tujuannya tak lain
agar bisa seperti media daring yang mengejar klik, meski trik ini sudah
dianggap usang, biarlah, tak ada salahnya untuk mencoba. Karena judul yang
sedikit sangar setidaknya akan mengundang klik dari peselancar dunia maya,
khususnya pengguna jejaring sosial facebook :P
Foto di atas mengingatkanku bagaimana
tim futsal psikologi UNS mencoba menunjukkan eksistensinya dengan mengikuti
turnamen yang diadakan oleh Psikologi UII Yogyakarta. Sebenarnya aku tidak tega
mengkritik tentang bagaimana kabar tim futsal psikologi saat ini. Aku juga
tidak akan mengunggulkan masa-masa dimana aku dan teman-temanku membangun tim
futsal psikologi. Namun perlu diketahui juga bagaimana kami berusaha
membangun tim futsal psikologi kala itu.
Awal kuliah di psikologi UNS, aku
sudah sangat tertarik dengan kegiatan futsal, selain untuk mengakrabkan dengan
kakak tingkat hal itu juga bisa menjadi sarana olahraga sekaligus refreshing di tengah tugas-tugas kuliah.
Pertama melihat permainan angkatan sesepuh
(angkatan tua), permainannya sudah lumayan bagus, cuma nafasnya saja yang
sudah kecampuran nicotine. Dan ketika
angkatan-angkatan tua sudah mulai lulus, sontak sudah berkurang juga
pemain-pemain futsal psikologi, dan kala itu hanya Mas Redi mungkin yang masih
sering bermain futsal bareng, dan setidaknya bisa dijadikan panutan oleh adik-adik
tingkatnya.
Permainan yang mulanya hanya sekedar bermain
tanpa mengenal pola permainan, berangsur-angsur sudah bisa bermain secara rapi.
Dan menjadi lebih terkonsep lagi ketika kami berinisiatif untuk memiliki
pelatih. Dan ditunjuk lah pelatih futsal dari mahasiswa jurusan POK yang
kebetulan adalah teman kuliah Anjar, putra dari Alm Pak No. Dan untuk menjalin
komunikasi antara pelatih dan pemain, ditunjuklah Anjar sebagai asisten
pelatih, karena bisa dibilang Anjar sudah akrab dengan mahasiswa psikologi.
Kami mulai latihan rutin, setidaknya
seminggu dua kali, satu kali untuk latihan teknis, kemudian satu kali untuk
latihan tanding atau sparing. Ibaratnya belajar bukan hanya sekedar teori namun
juga ada prakteknya, dan itu akan lebih membekas.
Namun hanya satu yang belum bisa kami
bangun, yaitu mental pemain. Mental pemain yang bisa dikatakan kurang bakoh, masih ada pemain yang mutungan, kemudian minder jika ketemu
tim berat. Apalagi ketika Porseni, yaitu kompetisi olahraga se-fakultas
kedokteran, bertemu dengan D4 Kesehatan Kerja atau D3 Hyperkes sudah seperti
tim promosi bertemu juara bertahan. Dan di saat seperti itulah, kami merasa
gagal menjadi mahasiswa psikologi, karena kami tidak bisa memotivasi diri kami
sendiri.
Puncaknya adalah ketika kami membangun
tim futsal untuk mengikuti turnamen futsal di UII Yogyakarta. Dan tidak
bermaksud untuk sombong, bahwa aku adalah kapten timnya. Kala itu tim kami satu grup dengan tim dari
tuan rumah UII, dan tetangga kami psikologi UMS. Dengan persiapan yang sangat
minim, kami harus menerima. Bahwa kami gagal memberi kabar baik untuk
teman-teman di kampus mesen, padahal Himapsi melalui KMB sudah men-support kami. Dan aku bisa menerima
kegagalan itu, karena bisa dibilang tim kami masih baru, betapa sombongnya kami
jika kami langsung menang, bahkan menjuarai turnamen perdana yang kami ikuti.
Pikirku saat itu, ikutnya kami di turnamen tersebut, setidaknya bisa menunjukan
eksistensi tim futsal psikologi UNS. Serta untuk membuka jalan bagi adik-adik
tingkat agar lebih percaya diri lagi dalam menghadapi setiap turnamen. Namun
apa yang menjadi harapanku dan mungkin juga teman-teman yang masuk dalam tim
futsal kala itu, untuk kemajuan tim futsal psikologi, sepertinya saat ini tidak
ada tanda-tanda kemajuan.
Bahkan tim futsal psikologi UNS
sempat mengikuti turnamen futsal yang di adakan oleh psikologi UII untuk kali
kedua. Dan aku yang awalnya sudah memberikan kepercayaan penuh kepada adik-adik
tingkatku. Aku kemudian diminta untuk masuk tim (lagi), meski aku sudah tinggal
menunggu wisuda. Namun selang beberapa saat, aku dapat kabar bahwa aku dicoret
dari daftar anggota tim, karena adanya persyaratan dari panitia yang mendiskriminasikan
angkatan tua sepertiku. Kala itu maksimal angkatan 2010 kalau tidak salah, aku
pun harus sedikit legowo dengan
keputusan itu.
***
Satu tahun semenjak aku “dicoret”
dari daftar mahasiswa aktif psikologi
UNS. Aku tidak pernah mendapat kabar bagaimana kegiatan futsal saat ini.
Beberapa hari kemaren aku mengirim pesang singkat melalui BBM kepada Anjar
untuk bertanya kabar futsal psikologi saat ini. Dan “ra mbejaji” begitu kira-kira responku ketika Anjar mengabariku
bahwa tim futsal psikologi sudah tidak seramai dulu. Futsal masih didominasi
oleh angkatan-angkatan tua, yaitu angkatan yang dulu pernah menjadi bagian dari
tim futsal ketika aku masih aktif bermain futsal. Aku tidak tahu dimana
adik-adik tingkat saat ini, apakah ia hanya terdiri dari orang-orang yang
menghamba pada nilai? Atau sudah tenggelam dalam tugas-tugas kuliah dan kisah
asmaranya di kampus? Ataukah ada kegiatan lain yang jauh lebih positif dari
sekedar berlari-lari mengejar bola? Dan aku tidak tahu juga bagaimana jika
kelak angkatan-angkatan tua saat ini sudah pada lulus.
Dimana wajah anak-anak futsal
psikologi UNS saat ini? Kalian akan mbrebes
mili ketika kami dulu membangun tim futsal dengan ala kadarnya, sudah berani mengikuti turnamen sekelas turnamen
yang diadakan di UII, dengan beban dan ketakutan akan dipermalukan di hadapan
pendukung lawan. Bahkan untuk kostum futsal saja kami hanya bisa meminjam dari
klub sepakbola dari kampungnya Aziz. Karena dari panitia mewajibkan untuk
memiliki dua kostum dengan warna yang berbeda.
Aku jadi teringat ketika, aku, Inug,
Johan, Punto, Sandy, Nanda dan terakhir adalah Si Python yang sering aku marahi
ketika berada di tengah lapangan, bermain futsal untuk mewakili tim futsal
sextavirtus dalam kompetisi olahraga internal psikologi UNS, Mesen. Bukan
kemenangan yang kami cari ketika bermain futsal, tapi lebih kepada kebahagiaan.
Dan aku selalu ingat dengan kata-kata Inug ketika kami kalah dari tim staff dan
karyawan, padahal setelah kami hitung ulang lagi, kamilah seharusnya yang
menjadi pemenang, dan tidak perlu ada drama adu penalty untuk menentukan siapa
pemenangnya, karena pihak panitia lupa mencatat goal dari Johan. “Kalah rapopo, sik penting sombong”
begitu kata Inug, orang Jakarta yang berusaha mengatakan hal itu dengan logat seperti
orang Jawa. Dan kami tak pernah mempermasalahkan kekalahan yang tak wajar itu.
Karena kami bahagia, meski kami kalah.
Bagi kami (angkatan 2009) olahraga
futsal adalah simbol kelanangan, meski
ada juga cewek-cewek yang jago main futsal, seperti Ayu, Rosma, Faradina, Dica,
serta Mba Dikum, mungkin mereka adalah cewek yang kelanang-lanangan. Dan
aku benar-benar merindukan bermain futsal bersama kalian, dan melihat cewek-cewek
bakoh itu bermain futsal.
Kapan kita bisa bermain futsal lagi gaes? Dengan postur tubuh yang jauh
berbeda kala kita bertandang ke Gor UII, karena kalau dulu futsal adalah simbol
kelanangan, maka saat ini, perut
buncit adalah simbol kemapanan.