![]() |
ilustrasi |
Memaafkan itu tidak mudah kawan.
Dan kita mendapati zaman serba gengsi. Banyak orang
memilih putus silaturahmi daripada memperjuangkannya. Buat yang dilukai
sungguh suatu keagungan hati bila mau menyambungnya. Dan buat yang melukai,
sungguh kerendahan hati yang besar bila mau mengikat kembali.
Namun keduanya sekarang tidak lebih berarti dari gengsi.
Buat apa merendahkan diri dan memohon maaf? Toh hanya luka
sedikit. Nanti juga hilang. Dan buat apa pula membesarkan hati untuk memaafkan?
Si bersalah juga takkan kapok. Dikasih perbuatan baik juga masih saja melukai.
Kesombongan macam ini yang kerapkali kita hadapi. Bukan dalam hidup orang lain,
mungkin hidup kita sendiri.
Memanglah kita takkan mendapatkan imbalan yang terlihat bila
melakukan keduanya.
Itu hanya bisa kita maknai dengan akal sehat. Bila akal
sakit akan sulit memaknai segala hal. Termasuk kehidupan. Dan obat akal yang
sakit adalah ilmu. Barang pasti mental yang sehat juga dapat kita artikan akal
yang sehat. Dari sini kita dapat berkaca, menunda penyelesaian masalah hanya
karena gengsi, itu tidak menyelesaikan apa-apa.
Dalih bahwa waktu dapat menyelesaikan, itu angan-angan kosong.
Omongan pengecut yang tidak mampu mengendalikan nafsunya
sendiri. Memilih enaknya sendiri dan lupa orang lain telah ia ganggu
ketenangannya. Tidak peduli apakah dia mau sakit, menangis, terpuruk,
terjerumus ke dalam sisi gelap dunia yang penting Si Pengecut itu egonya tidak
goyah. Wow sekali bukan.
Kita diberi mulut untuk bicara, bibir untuk mengucap.
Kita tidak gagu, dan bila gagu pun, kita masih tetap bisa
bicara dengan orang lain dengan isyarat atau tulisan. Itu karena komunikasi
bukan tentang kata-kata apa yang keluar, tapi hati ke hati yang terhubung
lantaran saling memahami. Banyak orang diberi mulut namun tidak bersyukur dan
memilih diam ketika dia harus bicara. Dan malah banyak bicara tatkala
sebenarnya itu tidak diperlukan.
Budaya ngrasani
pun bersemi.
Kepengecutan orang yang tidak mau menghadapi egonya sendiri,
lalu melakukan apa yang perlu, bukan apa yang ‘aman untukku’. Anak kecil saja
kadang lebih berani daripada orang dewasa. Mereka marah, menangis, tertawa,
jejingkrakan tanpa harus mengenakan topeng. Betapa kita mampu melihat banyak
keajaiban dalam diri seorang anak kecil.
Topeng (dalam tanda kutip) adalah sesuatu-yang sebenarnya, manusiawi.
Namun bila berlebihan, itu berarti ada yang tidak seimbang.
Pikiran dan hati tidak sejalan. Ada yang disembunyikan. Memilih jadi orang
lain. Ada yang tidak ia akui sampai harus disembunyikan. Ada yang ia ingkari
sampai dirinya sendiri tidak ia biarkan tahu.
Jadi diri sendiri berarti mengeluarkan sejatinya diri.
Spontan. Natural. Tanpa topeng. Dan itu merupakan kepasrahan tingkat tinggi.
Lantaran kita percaya, maka tidak ada yang perlu disembunyikan. Bila tidak
percaya, jelaslah ada yang tidak diungkapkan. Bahkan dipura-pura. Walaupun itu
kepada Tuhan.
Kita tidak pernah tahu seberapa besar kesalahan kita
‘mengganggu’ orang lain.
Sampai-sampai ada ungkapan baper, lebay, dramatisir, dan segala ungkapan anti-perasaan serupa.
Dia sudah terluka, masih saja disalah-salahkan. Sikap manusia macam apa yang tidak
peduli pada perasaan manusia lain? Bohong bila kita diam agar tidak menorehkan
luka lebih dalam lagi. Itu hanya dalih tidak mau melukai dirinya sendiri. Si
Pengecut yang bersembunyi di balik ‘topeng’.
Tolonglah, hati manusia itu bukan spon cucian. Yang ketika
kau remas, banting, dia tidak merasakan sakit. Kau gunakan ia untuk
membersihkan kotoran dari badanmu dan kau tinggal begitu saja dia takkan
menangis. Hati manusia bisa merasakan sakit, bisa tersayat, tidak akan kembali seperti
semula. Itulah mengapa cukuplah kita disebut orang yang selamat, ketika orang
lain selamat dari lisan kita.
Mengapa Tuhan melarang kita mengatakan, bahkan hanya ‘ah’,
kepada orang tua? Itu karena pengorbanan mereka besar buat kita. Dan sekarang,
apa kita benar-benar tahu seberapa orang lain mengorbankan hidupnya untuk kita?
Itulah mengapa ada rasa syukur, rasa berterimakasih. Orang lain telah
mendapatkan pahalanya sendiri, bukan berarti kita tidak berterimakasih.
Satu kesalahan takkan menghapus kebaikan yang telah ia
lakukan untuk kita.
Begitu pula kebaikan takkan menghapus kesalahan kita. Mau kita
berbuat baik seperti apa kepada yang terluka, bila kita tidak merasa bersalah,
itu hanya pertahanan diri semata. Kesalahan harus dibayar dan kebaikan harus dibalas.
Bukan karena hutang, namun rasa syukur kita lantaran mendapatkan manfaat
darinya. Dan semua itu tidak harus dilakukan dengan perantaraan uang.
Kadang ucapan terima kasih yang tulus pun bisa menghapus
pamrih yang muncul tatkala kita memberi. Kadang ucapan maaf tulus dari hati saja
mampu mendinginkan api dendam dalam dada. Kita ini manusia yang tidak mungkin
lepas dari bantuan orang lain. Kita ini manusia yang takkan lepas dari salah. Buat
apa kesombongan kita pertahankan?
Tidakkah kita sadar, bahagia kita sekarang ini bisa jadi
lantaran pengorbanan orang lain? Kita bisa kuliah sampai sarjana, lantaran
biaya orang tua. Kita bisa punya pekerjaan, juga tidak lepas dari peran
penyeleksi yang menerima kita. Kita bisa makan berbagai macam sayur, adalah
karena petani yang menanam. Kita bisa menikmati daging, itu karena ada peternak
menyediakannya untuk kita.
Mau sombong sampai kapan?
Minta maaflah, itu takkan merugikanmu. Berterimakasihlah,
itu takkan merendahkanmu.