![]() |
sumber gambar |
Di bawah terik sinar matahari yang
begitu menyengat, dua orang wanita yang usianya sudah tak lagi muda, kira-kira
seusia dengan nenekku, sedang duduk di pinggir jalan raya Solo-Semarang. Kedua nenek
itu nampak sedang menunggu bus, di samping kedua nenek tersebut ada barang
bawaan yang lumayan banyak. Mereka nampak baru saja dari pasar menjajakan
barang dagangan.
Sepertinya kedua nenek tersebut
menyewa andong untuk membawa barang dagangan mereka dari jalan raya menuju
pasar, begitu juga ketika pulang, mereka juga menyewa andong untuk membawa
dagangannya dari pasar ke jalan raya. Sehingga baru ketika berada di pinggir jalan
raya mereka dapat mencari tumpangan bus untuk pulang. Karena barang dagangan
mereka berdua lumayan banyak, tidak mungkin jika diangkut dengan digendong, mengingat
jarak dari jalan raya Solo-Semarang ke pasar lumayan jauh. Lagian tidak jauh
dari mereka menunggu bus, terdapat terminal andong juga, jadilah andong, alat
transportasi yang jauh dari kata modern itu, masih digunakan oleh
pedagang-pedagang pasar untuk mengangkut barang dagangan.
Dan di saat kami sedang melewati
jalan raya itu, tiba-tiba teman yang sedang membonceng dibelakangku
mengeluarkan rasa iba kepada dua nenek yang sedang menunggu bus di bawah terik
sinar matahari itu. “kasihan mereka ya, Kik” mendengar rasa iba itu, aku hampir
saja meresponnya dengan jawaban singkat “Ndasmu”
untungnya aku dapat menguasai diriku. Jadi aku tidak merespon apapun kepada orang
yang sedang merasa iba, ketika melihat sebuah peristiwa yang mampu membuat
seorang wanita dibelakangku mengeluarkan sisi emosionalnya.
Siang itu udara begitu panas, meski
sudah beberapa hari kemarin lebih sering mendung dan hujan. “Kita minggir
sebentar di es kelapa muda, di depan kayake
ada penjual es kelapa muda” Aku mengajaknya untuk berhenti sebentar di pedagang
pinggir jalan yang menjual es kelapa muda, kemudian ia hanya mengiyakan saja.
Dan ketika kami menikmati es kelapa
muda, di bawah udara sinar matahari siang yang begitu terik, ia mencoba menunjukkan
kembali rasa ibanya terhadap dua nenek yang sedang menunggu bus tadi. “Kamu tadi
lihat dua nenek-nenek di pinggir jalan tadi? Kasihan ya? Sudah tua masak masih
disuruh kerja?” Aku masih menikmati es kelapa mudaku, kemudian aku bertanya
balik kepadanya “Emang yang nyuruh dia kerja siapa?”
“Lha, . . . Ya mana aku tahu? Emang aku
anaknya?” Jawabnya yang sepertinya tidak menyangka dengan jawabanku yang
terkesan biasa saja. Nampaknya ia juga mengharapkan respon iba ketika ia
bercerita tentang apa yang ia lihat di pinggir jalan tadi.
“Bisa jadi, mereka itu (dua nenek di
pinggir jalan tadi) lebih bahagia dari yang kita pikirkan”
“Maksdunya? Emang kamu nggak kasihan? Mereka sudah tua,
harusnya mereka itu ya, di rumah, menikmati masa tua dengan cucu-cucunya”
“Tunggu dulu, itu kan dari pandanganmu,
emang kamu pernah merasakan tua seperti mereka? Pernah kamu bertanya kepada
mereka? Apakah mereka sebegitu kasihannya seperti yang kamu lihat?”
“Hih,
kamu itu, bener-bener ya”
Aku hanya tersenyum ketika ia mulai
jengkel denganku. Aku tetap saja menikmati es kelapa mudaku, sedangkan dia? Dia
masih saja tenggelam dalam rasa iba, dan sedikit jutek oleh sikapku yang tidak se-iba dengannya.
Aku mulai menjelaskan dengannya
kenapa aku bersikap begitu. Mungkin secara kasat mata, kedua orang tua yang
sedang duduk di pinggir jalan tadi, mereka nampak kasihan. Namun aku tidak
melihat bahwa dari mereka merasa perlu dikasihani. Mereka nampak menikmati
panasnya sinar matahari, lelah dan letihnya adalah usaha yang bukan hanya
bernilai materi. Tapi lebih dari itu, ada perasaan bahagia ketika mereka bisa
tetap bekerja, dan tidak menyusahkan anak-anaknya. Mereka bahagia dengan apa
yang mereka lakukan, meski terkadang diantara kita melihatnya dengan penuh iba.
Aku yakin, tidak ada seorang anak
yang membiarkan kedua orangtuanya merasakan susah. Namun terkadang apa yang
menjadi keinginan anak, tidak seperti apa yang diinginkan orangtuanya. Anak menginginkan
orangtuanya agar istirahat saja di rumah, menikmati masa-masa tua dengan
berkumpul dengan anak cucu, namun apa yang menurut si anak itu baik, apakah
bisa diterima oleh orangtuanya?
Orangtua yang terbiasa bekerja keras
sepanjang usia mudanya, begitu ia sudah tua, ia tetap saja merasa muda, tetap
ingin bekerja berapapun hasilnya. “Tidak ingin merepotkan anak-anak” alasan
yang biasanya mereka ucapkan ketika kita bertanya kepada mereka, “mengapa masih
bekerja, padahal usia sudah tak lagi muda?”
Aku bercerita kepadanya tentang
sesuatu yang mirip dengan apa yang ia lihat. Aku mulai bercerita tentang sebuah
cita-cita dari seorang anak yang masih belajar tentang hidup. Anak itu menyarankan
orangtuanya untuk istirahat saja di rumah, menikmati masa tuanya, karena si
anak sekarang sudah lulus dan bekerja di sebuah perusahaan. Meski gaji si anak
masih tidak seberapa, namun gaji itu sudah cukup untuk hidup bersama dengan
ibunya. Si anak memberikan segala kenyamanan bagi si ibu, namun apa yang
terjadi? Bahagiakah si ibu meski bisa hidup dengan segala kenyamanan yang
diberikan oleh sang anak? Ternyata tidak seperti yang dipikirkan oleh sang
anak.
Ibunya yang terbiasa bekerja,
tiba-tiba hanya duduk dan berdiam di rumah dengan segala kenyamanannya. Terbiasa
berdagang, berkumpul, dan berkomunikasi dengan pembeli-pembeli, kini hanya televisi
yang menemaninya. Sontak hal itu membuat kondisi kejiwaan si ibu menjadi goyah.
Ada niatan untuk kembali lagi hidup merantau dan bekerja seperti yang dulu
pernah si ibu itu lakukan, namun justru orang-orang di sekitar malah tak ada
yang mendukung, kebanyakan orang-orang di sekitar malah justru menakut-nakuti
jika terjadi sesuatu di tanah rantau.
Kondisi si ibu justru menjadi-jadi, si
ibu justru semakin merasa tertekan. Ia tidak bisa menyembunyikan tekanan dalam
dirinya. Ibu itu benar-benar terpenjara dalam kenyamanan-kenyamanan semu. Dan disaat
seperti itulah sang anak membuat keputusan yang membuat orang-orang di sekitar
adalah keputusan yang “gila”. Ada omongan dari orang sekitar bahwa anak
tersebut tega membiarkan orangtuanya hidup sendirian di tanah rantau. Namun anak
tersebut lebih tahu apa yang terjadi pada ibunya. Dan dengan penuh keyakinan si
anak membiarkan, bahkan mendukung keputusan ibunya untuk mulai hidup merantau
lagi. “Persetan dengan omongan orang-orang yang begitu sok tahu, bahkan ada
yang menganggapku sebagai anak yang gila” begitu ungkap anaknya seraya
menyakinkan dirinya bahwa keputusannya adalah keputusan yang paling tetap,
karena si anak lebih mementingkan kondisi kejiwaan si ibu.
Si anak sangat mendukung ibunya,
ketika ibunya memutuskan untuk merantau lagi. Mengapa si anak bisa begitu? Karena
si anak tahu, ketika bekerja membuat si ibu bahagia, kenapa si anak harus
menghalanginya. Bukan hanya anak yang perlu didengar, orangtua pun juga perlu
di dengar. Setiap orangtua pasti tidak ingin merepotkan anak-anaknya, namun
justru si anaklah yang sering merepotkan orang tuanya. Lihat saja dari kecil
hingga dewasa anak sudah terlalu sering merepotkan, ketika tua, justru anak
merepotkan orangtua dengan bersikeras untuk memenjarakan orangtuanya dalam
kenyamanan-kenyamanan semu.
Sama halnya dengan kedua nenek
tersebut, apa yang kita lihat dengan mata kita, itu hanya apa yang nampak
secara kasat mata, mereka bagi kita adalah orang-orang yang perlu dikasihani,
namun sebenarnya mereka bahagia dengan apa yang mereka lakukan. Mereka bahagia
dengan apa yang mereka kerjakan, karena mereka yakin mereka bisa tetap hidup
dengan keringat mereka sendiri, mereka tidak mengeluh dengan apa yang mereka
dapatkan setiap harinya, karena tentu untuk seusia mereka hidup bukan soal
materi, mereka bukan seperti kita yang masih muda ini, dimana segala pencapaian
diukur dari materi.
Dan taukah kamu, bahwa si ibu yang
pernah tertekan karena kenyamana-kenyamanan semu yang diberikan anaknya, kini
sudah hampir satu tahun hidup di perantauan. Ia memberi kabar kepada anaknya
lewat sambungan telepon, bahwa ibu itu merasa senang dan bahagia, meski hidup
sendiri di tanah rantau. Ia kini hidup seorang diri, meski dulu awalnya ada keraguan
ketika memutuskan untuk hidup merantau seorang diri. Namun anak-anaknya terus
mendukung dan membuatnya yakin bahwa ia bisa hidup seorang diri di perantauan.
Dan taukah kamu, bahwa si ibu tadi,
adalah ibuku. Dan aku? Aku adalah si anak yang telah berdosa memenjarakan
ibunya dengan segala kenyamanannya. Dan ketika ibu memberi kabar melalui
sambungan telepon, dadaku terasa sesak, ada rasa haru dan perasaan bersalah. Dan
kini aku akan selalu mendoakan keselamatan dan kesehatan untuk Ibu.