![]() |
sumber gambar |
Postingan ini sebenarnya ingin kubuat minggu malam. Sebagai ritual #sundaynight yang telah disepakati di lobimesendotkom. Sayang badanku benar-benar memberi warning buat istirahat. Akhirnya aku tidur dari lepas isya sampai nyaris subuh. Membalas tidurku dua malam sebelum. Jadi maafkan saya bila momennya sudah hilang.
So, postingan ini tetap tentang perayaan walimah Johan
Hariyanto.
Teman samping kamar kosku kurang lebih satu setengah tahun
itu. Lelaki pertama di angkatannya yang berani mengangkat kelajangannya untuk
memenuhi sempurna paruh agama. Seorang yang kurus, tidak tinggi, sederhana,
lembut namun tegar, keras dan berprinsip. Meskipun begitu dia orangnya tidak
enakan alias pakewuhan.
Aku awalnya bingung mau ikut ijab temanku seangkatan atau si
John ini. Jam dua upacara itu serentak. Namun karena lebih banyak teman yang
bertandang ke John, aku ikut ijabnya dulu. Dan ternyata ijabnya molor sampai
satu jam. Bukan, bukan kenapa-kenapa. Itu hal biasa lantaran naib sibuk
menikahkan di sana-sini. Di hari yang banyak dipilih orang-orang lantaran pas
libur panjang.
Pengantin pria sudah keluar sekira setengah 9 dari ruang
rias. Wajahnya mengeluarkan isyarat agar upacara segera dilaksanakan. Tentu. Menunggu
itu perkara paling membutuhkan energi besar. Sebab tidak ada yang bisa
dilakukan selain itu namun dalam hati ingin segera. Bayangkan saja ia harus
menanti upacara yang sudah disiapkannya berbulan-bulan dalam ketidakpastian.
Keringat bercucuran dan jantung sudah tentu berdebar lebih kencang
dari biasa. Metabolisme meningkat, pikiran terus bekerja dan hati terus
menetralisir itu semua demi sebuah kualitas batin: sabar. Sabar menerima
pikiran bahwa bisa saja upacara itu tidak berhasil. Sabar menerima kemungkinan
semua yang sudah diupayakan akan runtuh. Itu tidak mudah.
Bahkan aku merasakan ketegangan itu.
Banyak yang tidak percaya kalau aku selalu merasakan
ketegangan ketika upacara ijab temanku akan dilaksanakan. Mereka berpikir aneh
kenapa aku yang tegang padahal orang lain yang melakukan. Apa aku menyimpan
suatu kekecewaan pikir mereka. Tidak sama sekali. Justru aku tahu betapa
beratnya proses itu dan bila tidak lancar berlalu, maka kekecewaan atasnya akan
berlangsung lama.
Sebuah proses menyatukan dua jiwa itu bukan hanya tentang
penyatuan fisik.
Ini erat kaitannya dengan pendalaman keimanan dalam diri. Orang
tidak bisa menikah karena orang lain juga menikah. Menikah itu adalah proses
aturan yang diciptakan untuk memenuhi fitrah manusia yakni memiliki pasangan. Ini
bukan hal mudah. Niat harus penuh untuk menampar semua ketakutan diri. Dan itu
yang baru dialami Johan kemarin.
Akhirnya, selepas penantian yang menguras tenaga itu naib
pun datang.
Pengantin pria berjalan pertama menuju singgasana upacara. Johan
salah duduk. Ia harusnya memilih kursi di sebelah kiri namun ia duduk di
sebelah kanan yang untuk mempelai wanita. “Saking groginya pengantin itu bisa sampai
lupa duduknya di sebelah kiri Dan,” ujar teman sebelahku yang setahun kemarin
melangsungkan pernikahan dan kini dikaruniai satu putra.
Pengantin wanita pun berjalan dengan anggun ke tempat
mempelai pria salah duduk tadi.
Lalu, setelah saksi dan wali duduk maka akad nikah pun
dilangsungkan. “Saya terima nikah dan jodohnya....” sekali kalimat qabul
diucapkan dan keduanya telah sah menjadi suami istri. Doa pun dipanjatkan satu
persatu. Para hadir mengaminkan sambil mengangkat kedua tangan. Aku sendiri
hanya menutup mata sambil bersedekap.
Sembari dalam hati melantunkan doa serupa.
Agar keduanya menjadi pemimpin yang baik bagi rumah tangga
mereka. Aku tidak tahu doa lain yang lebih sederhana. Pun tidak semua doa dalam
bahasa Arab itu aku mengerti. Aku hanya berharap keduanya mampu menjalani
mahligai kehidupan yang mulai sekarang, akan mereka lalui bersama “teman”.
Teman yang barang tentu akan menjadi pakaian bagi satu sama
lain. Akan tahu bagaimana isi hati pasangannya tanpa harus diberitahu. Teman yang
akan merawat kala salah satu dalam keadaan lemah. Teman yang ikut bersedih bila
salah satu darinya bersedih. Teman yang menutupi keburukan sekaligus penjaga
nafsu satu sama lain. Bahwa semua tidak akan lagi seperti hari-hari sebelumya.
Persiapan berbulan-bulan itu lepas kurang dari semenit.
Begitulah hidup. Ilham datang kepadaku. Seumur waktu kita
mempersiapkan segalanya dan akan berhenti dalam sekejap. Untuk menyiapkan
proses setelah metu dan manten, yakni mati. Kita perbaiki, poles
dan cari maknanya, kita bangun dan rawat lalu dalam sekejap kita mati. Segala
yang berarti selalu memerlukan upaya yang tidak sedikit.
Itulah yang hanya bisa kuberikan kawan Johan.
Sebuah doa. Bagaimana pun 7 Februari 2016 akan tetap menjadi
hari istimewa bagimu dan Zulfa-yang ternyata putrinya guru BK SMA-ku dulu. Aku harap
kebahagiaan kalian sampai akhir hayat. Buat semuanya yang terbaik, bukan agar
mendapat yang terbaik, namun karena itu yang terbaik bisa kalian lakukan. Semoga
Allah memberkati hingga tutup usia kalian. Apapun yang terjadi tetaplah
percaya.
Dan tetaplah percaya dan tetaplah percaya.