Tanpa pernah kita ragukan dan herankan, waktu terus
berlalu.
Lembut mengawal hari demi hari, bulan ke bulan, tahun ke
tahun. Dan semua berawal berakhir silih berganti. Seperti silih bergantinya
malam dan siang. Musim kemarau berganti hujan lalu kemarau lagi kemudian hujan
lagi. Bila kita perhatikan semua itu, sungguh tidak ada yang lebih sia-sia dari
berpura-pura tidak peduli terhadap kejadian di semesta kita ini.
Memanglah tidak bisa kita mengawal waktu dan segala kejadian
dalam kurunnya.
Aku sendiri masih berusaha memaknai waktu. Dalam jatah
umurku di bumi, yang entah masih berapa lama tersisa, banyak hal yang belum
kupelajari. Tentang arti memiliki, arti ketiadaan, kesunyian dalam diri, ilmu
kehidupan dan sifat-sifat mahkluk hidup. Ah semua itu, aku sungguh ingin
menguasainya.
Jiwaku selalu haus akan ketidaktahuan.
Lantaran dengan ketidaktahuan aku akan mencari tahu. Lalu aku
akan berusaha dan melakukan sesuatu demi mendapatkan apa yang aku cari itu. Mau
ada kesulitan apa bila rasa penasaran masih menggelayut di pikiranku, akan selalu ada niat untuk
mencari tahu. Membaca dan menelaah tulisan-tulisan pengarang bijak membawa
sedikit angin segar untuk rasa ingin tahuku.
Dan beberapa hal kutemui tidak ada jawabannya.
Ilmu tentang menjalani hidup sebagai diri sendiri. Itulah yang
tidak kutemukan dalam buku-buku mana pun. Ada ilmu yang mengantarku untuk
mendekati jiwaku sendiri. Alhamdulillah itu mampu mengangkatku dari rasa putus
asa yang mendera beberapa waktu ini. Lantaran aku kehilangan diriku sendiri dan
lupa akan harapan-harapan yang kubangun selama ini.
Namun,masih saja ada yang belum terjawab.
Rasa kehilangan masih menggatalkan hatiku untuk terus
mengingat memori waktu lalu. Ia tidak mau membiarkanku berjalan tanpa membawa
beban masa lalu yang telah berakhir. Rasanya masa lalu itu membuat lubang besar
seperti ceruk terbakar. Melahirkan bara yang tak pernah padam meski waktu terus
menggilas diriku yang akan hidup entah sampai kapan.
Lalu, saat kembali melihat kenyataan, waktu-waktu ini yang
terberat dalam hidupku.
Dalam sekali tepuk aku berusaha memenuhi tiga hal.
Kebutuhan, tanggung jawab, dan harapan. Tidak elak, kadang aku ingin satu orang
saja mampu melihat usahaku dalam memenuhi tanggung jawab ini. Lantaran aku membuat
diriku sendiri terjun terlalu jauh dalam hidup orang lain. Sementara orang itu
tidak tahu. Rasanya ada yang kurang saat memenuhi sesuatu untuk orang lain,
namun ia bahkan tidak mau melihatnya.
Ah, tapi aku pikir waktu terberat itu akan selalu ada. Lantaran
kita tidak mungkin dicoba dengan masalah yang sama ‘kan? Masalah selalu
meningkat dan dan kedewasaan kita mengiringinya. Masalah tidak datang
tergantung level kesabaran dan akal kita dalam menerima. Justru ia datang
kadang di saat-saat terlemah. Dan saat itulah imanku benar-benar diuji.
Iman kepada Tuhan. Apa yang telah Ia lakukan kepadaku
sungguh luar biasa. Apa yang telah kulewati bukanlah hal remeh. Hidup yang
sedang kujalani bukan sesuatu yang dalam sekali kayuh lantas sampai. Ada proses
dan ketika aku jatuh, kadang aku bertanya siapa yang akan mengangkat. Siapa yang
akan membantuku berdiri.
Saat itulah aku benar-benar butuh teman.
Teman yang mau mendengarkan jerit tangis yang keluar dari
dalam samudera hati yang tidak kuasa lagi menahan badai. Teman yang mengangkat
sedihku dengan tatapan tulusnya memberikan perhatian kepadaku. Teman yang
bersedia memberikan sela dari rutinnya demi menyerap energi emosi dari dalam
diriku.
Teman seperti itulah yang belum aku temui lagi sekarang.
Ada beberapa hal yang tidak bisa aku ungkapkan kepada orang
tua. Ibuku sudah terlalu banyak menanggung beban hidup. Aku tidak bisa menambah
lagi ketakutan dan kekhawatiran yang pasti akan meroket begitu tahu ada apa-apa
denganku. Pun Simbahku pasti langsung panik begitu tahu apa yang aku hadapi.
Aku tidak lagi mengurusi hal-hal kecil seperti pertengkaran
karena cemburu, rasa iri karena orang lain lebih dihargai daripada aku, masalah
kebimbangan melangkah karena tidak ada yang mendukung, dan lain serupa. Tapi kadang
ada trenyuh muncul tatkala melihat
diriku berjalan sendirian menapaki jalan kosong tanpa lampu penerang.
Teman kadang muncul mengawal namun sekejap kemudian pergi.
Tidak ada lagi teman yang berjalan bersama. Kadang aku
merasa ada teman yang menggandeng tanganku namun ia tidak terlihat. Apa itu
hanya imajinasiku atau karena kepekaan hati, entahlah. Pastinya aku tahu tidak
ada yang pasti di dunia ini. Semua selalu bergerak dalam ritme nada simfoni harmonis
Sang Pencipta.
Aku memiliki cara sendiri dalam menangani ini.
Menuliskannya dalam buku harian. Seperti sedang bercerita
kepada seorang teman. Menangkap apa yang tertuliskan dan menggunakannya untuk
memahami apa yang terlewati. Mengungkap semua kejadian yang telah membuat
lubang besar dan bara yang takkan pernah padam. Ya, tapi semua itu tiada
berarti tatkala muncul rasa sepi.
Kadang aku berpikir untuk mengakhiri semua ini saja.
Haha, tapi aku selalu mendapatkan pertolongan saat aku
merasa benar-benar sendiri dan sepi. Beruntunglah aku masih memiliki segelintir
teman setia. Mereka yang tidak pernah menyingkirkanku dari daftar prioritasnya.
Mereka yang mau membagi sedikit kasih sayangnya walau mereka sendiri butuh
kasih sayang itu. Mereka yang mau membantu dan mengerti bagaimana sesungguhnya
kesusahanku.
Dalam teman yang sedikit itu kini aku hidup.
Mereka yang masih mau berbagi waktu untuk bercanda dan
bercerita. Kadang berbagi duka lalu saling menghibur. Kadang kesulitan pun
mereka alami dan aku berusaha membantu semampuku. Aku merasa hidup, tatkala
tahu masih ada teman seperti mereka. Tidak memandangku atas apa yang aku
lakukan, namun apa yang aku rasakan.
Jarang ada teman seperti itu.
Meskipun mereka tidak terjun sepenuhnya dalam hidupku, aku
tahu mereka peduli kepadaku. Mereka pun menghargai peduliku kepada mereka. Walau
hanya sedikit senyum dariku mereka berterimakasih. Walau ada yang hanya
bertegur sapa lewat surel namun itu mereka lakukan terus. Kadang cerita
tertumpah di situ dan tidak sedikit yang kita maknai bersama.
Tulisan ini aku persembahkan untuk mereka yang masih setia
membersamaiku walaupun mereka telah memiliki kehidupan sendiri. Mereka yang selalu
mau aku ajak berbagi. Mereka yang berusaha mengerti tanpa menghakimi. Mereka yang
terus peduli walaupun aku sering melukai. Mereka tahu bagaimana sesungguhnya
orang kesepian itu.
Salut untuk mereka, para penolongku.
Aku bersyukur memiliki kalian. Jelas masing-masing dari
kalian takkan tergantikan. Meskipun masa telah mengganti musim, mengganti
tahun, mengganti abad, kalian akan tetap jadi teman setiaku. Semoga kalian pun
menganggapku begitu. Tidak ada keindahan di dunia ini selain menjadi seseorang
yang mencintai dan dicintai dengan apa yang dimiliki.
Terima kasih telah memberi warna dalam hidupku yang abu-abu
ini. Jelas aku masih belum mampu menunjukkan keberhasilan kepada kalian. Aku masih
belum mencapai apa yang kuinginkan. Aku sedang berusaha sekarang. Kuharap kalian
tidak meninggalkanku dulu. Andaikata sudah tiba waktu, biar aku yang pergi
lebih dulu.
Agar kalian melihat senyumku, di akhir hidupku.