Malam itu, aku datang terlambat untuk
nongkrong di angkringan milik Mas hik. Ada sesuatu yang harus segera aku
selesaikan (baca nyeterika), mengingat keesokan harinya aku harus dinas pagi.
Dinas pagiku itu jam 05.00 pagi ya, sehabis shubuh aku langsung mandi dan
segera bergegas. Betapa pekerjaan telah membuat pola tidurku menjadi sedikit
teratur, ketika masuk pagi, dan menjadi amburadul lagi ketika masuk siang.
Namun demikian, ketika masuk pagi, aku bisa mandi sebelum matahari terbit, yang
menurut kaca mata kesehatan itu bagus. Apalagi mandi sebelum matahari terbit
dan terbenam adalah salah satu cara hidup sehat ala Rosululloh Saw.
Kira-kira pukul 9 malam aku baru
mengeluarkan motorku dan segera menuju angkringan milik Mas hik. Sesampai di
sana, nampak tempat duduk angkringan sudah penuh. Setidaknya sudah ada sekitar
8 orang termasuk Mas hik si pemilik warung angkringan. Seperti angkringan pada
umumnya, tempat duduk dibuat mengelilingi gerobak angkringan, sehingga semua
pengunjung bukan hanya bisa saling menghadap pada menu-menu yang dijajakan di
sana. Namun juga bisa saling mengobrol satu sama lain.
Ketika aku sedang memesan es jeruk
kecut, Mas hik sudah hafal betul dengan es jeruk kecut yang aku maksud, yaitu
es jeruk dengan sedikit gula. Bukannya mau diet, namun hanya sedang mengurangi
konsumsi gula saja, mengingat selama bekerja telah membuat kemajuan besar dalam
hidupku (baca; perut buncit). Ada dua orang yang nampaknya sudah saling kenal
merasa terusir dengan kedatanganku, mereka langsung berkata kepada mas hik “itung, Mas hik” artinya mereka ingin
menghitung semua yang telah ia nikmati. Nah! Dalam hal ini kejujuran sangat
diutamakan. Jarang aku menemukan orang-orang seperti Darmaji (Dhahar limo ngaku siji, atau dalam
bahasa Indonesia berarti; makan lima tapi cuma ngaku makan satu)
Aku duduk di tempat dua orang yang
baru saja berpamitan untuk pulang. Di angkringan, seperti ada tata krama. Seperti halnya sedang meninggalkan rumahnya sendiri, setiap ada pelanggan Mas
hik yang akan meninggalkan angkringan, setelah selesai membayar, mereka akan
berpamitan kepada semua orang yang ada di angkringan tersebut. Mereka biasa
berpamitan dengan tutur bahasa yang halus, khas orang jawa, seperti “Monggo Mas, Mba, Pak Dhe dipenake sedaya
mawon”
Setelah pesananku datang, segera aku
menikmati es jeruk kecut pesananku. Nampaknya keterlambatanku kali ini,
membuatku terlewat untuk beberapa sesi “diskusi” angkringan. Namun demikian, tidak membuatku kecewa, karena dalam diskusi angkringan, tidak hanya membahas satu
topik saja. Perpindahan dari topik pembicaran satu, ke topik pembicaraan lain,
biasa tanpa ritme yang jelas, dan tanpa jeda yang pasti. Meski obrolan satu
dengan obrolan yang lain tidak ada kaitannya sama sekali, kami semua sama
sekali tidak kesulitan dalam menyimak setiap obrolan. Ingat, dalam diskusi
angkringan, semua orang berhak untuk menjadi narasumber dan tidak mengenal
namanya moderator. Segalanya berjalan natural, tanpa ritme yang terstruktur.
Awalnya aku hanya sebagai pendengar
saja, karena aku lebih suka menyimak ketika diantara mereka mengeluarkan
pandangannya dalam menyikapi suatu masalah atau obrolan yang sedang kami
diskusikan. Dan semakin menarik, ketika datang seorang lagi. Aku lupa namanya,
tapi lebih tepatnya tidak tahu namanya. Maklum ini diskusi angkringan, bukan
sebuah seminar yang harus memperkenalkan diri terlebih dahulu, meski hanya
sekedar untuk bertanya. Orang tersebut, sekilas nampak sangar, dengan perawakan kurus, namun ia terlihat seorang pekerja
keras. Dia sambat kepada kami semua, bahwa ia baru saja kalah judi. Ternyata ia
adalah seorang pemilik bengkel las, modal yang ia peroleh untuk mendirikan
bengkel ia peroleh dari pinjaman bank. Ia bercerita betapa ia sering telat
ketika membayar angsuran bulanan.
Singkat cerita, orang yang memiliki
kesenangan bermain judi. Dan sering menghabiskan malam di pos kamling untuk
duduk bersila dan khusyuk memandangi
kartu-kartunya, sambil sesekali bergumam seperti sedang melafalkan
mantra-mantra keberuntungan itu, bercerita bahwa beberapa hari yang lalu
menangkap basah pencuri sepeda motor milik anaknya yang sedang bermain di
warnet.
Ia bercerita kronologisnya dengan
runtut, ketika anaknya pulang dan mengatakan bahwa sepeda motornya yang
dipinjam oleh teman yang dikenalnya di sebuah warnet game online, tidak dikembalikan juga. Merasa ditipu, segera sang
bapak mencari informasi keberadaan si anak yang meminjam motor anaknya tersebut.
Sempat juga sang bapak melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian. Namun,
sepertinya ia tidak puas dengan kinerja polisi yang menurutnya terkesan
berbelit-belit dan tidak segera melakukan tindakan.
Sebagai orangtua tentu juga tidak
bisa menyalahkan anaknya yang meminjamkan motornya ke sembarang orang. Menurut
keterangan anaknya, orang yang pinjam motornya sudah seperti teman sendiri,
sama-sama suka main di warnet.
Atas informasi dari salah satu teman
judinya, ia menemukan identitas pencuri sepeda motor milik anaknya. Dan
ternyata anak yang mencuri sepeda motor itu adalah anak jalanan yang suka
mengamen di salah satu lampu merah jalanan Kartasura. Kemudian ia juga
menemukan alamat lengkap si anak itu. Pencuri yang ternyata masih anak-anak itu, ternyata berasal dari keluarga yang tidak mampu. Si anak itu putus sekolah karena
kondisi ekonomi keluarga yang mengakibatkan anak tersebut hidup di jalan.
Ketika bertemu dengan orangtua si anak, orang tua anak itu hanya bisa pasrah “Terserah, anakku ameh diapakke, ameh di laporke
polisi trus di penjoro yo monggo, aku wes pasrah” artinya orang tua si
pencuri sudah pasrah, terserah anaknya mau diapakan, mau dilaporkan ke polisi
kemudian dipenjara juga tidak apa-apa.
Dan seperti karakter seorang penjudi
pada umumnya, ia akan dengan mudah merelakannya apa yang sudah lepas dari
gengamannya. Yaiyalah, berjudi bersila hampir setiap malam, sering kalah saja
masih bisa senyum bahagia, dan pas menang judi hasilnya juga untuk hal-hal yang
sifatnya foya-foya.
Dibalik sikapnya seorang penjudi, ada sesuatu yang membuatku
sedikit respect dengan beliau. Beliau
akan tetap memprioritaskan nafkah untuk keluarganya. Dan tentu dia bukan tipe
orang yang mudah sambat tidak punya uang kepada keluarganya, karena meskipun
punya hutang ia akan membayarnya sendiri tanpa istri dan anaknya tahu. Intinya, ada yang diprioritaskan. Namun ia juga seperti ada budget khusus untuk bermain judi. Karena judi sudah menjadi kesenangannya. Aku curiga ia bermain judi bukan untuk menang, namun hanya untuk
mencari kesenangan, karena ia juga punya usaha bengkel las untuk mencari
penghasilan, bukan hanya bisa berjudi dan menyuruh istrinya bekerja.
Sebulan setelah anaknya kehilangan
motornya, si anak juga telah dibelikan motor baru yang sama dengan sebelumya,
yaitu Yamaha Jupiter. Namun, si anak lebih dibatasi lagi dalam penggunaannya.
Dan ternyata ada kabar dari salah
satu temannya, bahwa anak yang mencuri motor anaknya, kalau pas hujan sering
menjadi penyemprot sampo di kaca-kaca mobil di lampu merah Kartasura. Dia pun ternyata penasaran juga dengan sosok si pencuri motor milik
anaknya.
Dengan segera ketika Kartasura sedang
dirundung gerimis, ia bersama seorang kawannya mencari pencuri motor milik
anaknya. Dan ketemu! Si pencuri segera dibawa ke rumahnya. Dan sesampai di
rumah, adiknya yang masih muda dan memiliki emosi yang menggebu-nggebu langsung
menghunjam dengan beberapa pukulan ke wajah si pencuri, hingga wajah si pencuri
itu besem-besem.
Dia malah tidak tega melihat kondisi si
pencuri itu. Dan ia memisah adiknya yang masih dalam keadaan emosi itu. Justru
tanpa dendam ia malah melontarkan beberapa pertanyaan untuk memastikan apakah
benar ia mencuri motor milik anaknya. Dan ternyata benar! Ia yang awalnya hanya
ingin meminjak motor milik anaknya, kemudian karena tuntutan ekonomi ia justru
menjualnya via online. Sebagai anak
jalanan, ternyata pencuri tersebut cukup melek teknologi juga. Jadi wajar juga
ia sering bermain di warnet untuk bermain game
online.
Meski menurut penuturan atau
pengakuan anak tersebut, bahwa mencuri bukan hanya satu kali itu saja. Meski dia adalah orang yang suka bermain judi, namun ia masih memiliki
hati nurani. Ia justru menawarkan pekerjaan kepada si anak itu untuk
membantunya di bengkel las miliknya. “Wes,
kowe melu aku neng bengkel las wae piye, perkoro mangan aku iso ngopeni kowe,
tapi nek kowe pengen lungo ko kene, yo monggo, tapi pamit mbi aku” begitu
ia menerangkan kembali kepada orang-orang yang sedang nongkrong di angkringan.
Di balik kesenangannya bermain judi, ia
masih memiliki hati nurani. Rasa iba, yang membuatnya justru ingin merawatnya
dan menampungnya untuk membantu pekerjaannya di bengkel las miliknya. Aku
sempat heran dengannya, ia yang memiliki perawakan sangar, begitu mudah merasa kasihan. Ia lupa bahwa ia sudah
kehilangan materi, yaitu motor milik anaknya yang dicuri dan dijual oleh anak
itu.
Dan aku masih ingat betul dengan
perkataannya “Aku melihat dia (anak yang telah mencuri motor anaknya) aku malah
kasihan, pas tak ajak makan, ia seperti belum pernah makan makanan enak, padahal cuma
lele goreng, dan waktu aku lihat, aku merasa kasihan ketika ia menikmati lele
gorengnya dengan sedikit-sedikit agar tidak cepat habis” tentu ia mengatakan
hal itu dengan bahasa jawa khas seorang penjudi.
Dia, meski seorang penjudi, namun
tahu bagaimana ia harus memperlakukan orang lain, termasuk orang yang telah
men-dzolimi-nya. Tentu kalian pernah
mendengar kajian ketika masih sering TPA di masjid atau langgar dulu, bagaimana
Rosulullah Saw memperlakukan orang-orang yang membencinya. Saya kira ini ilmu
fikih dalam kehidupan sehari-hari yang luput kita terapkan pada kita yang
mengaku sebagai muslim. Sedangkan dia? Dia adalah penjudi. Seorang penjudi yang
justru telah mengajariku bagaimana memperlakukan orang yang telah men-dzolimi kita.
Dan sebelum aku dan yang lainya mulai
mengantuk meninggalkan angkringan dan mulai “itung”
dengan Mas hik, setelah ia menghabiskan minuman dalam gelasnya, ia
mengakhiri obrolannya dengan sebuah kesimpulan. Apa yang dia lakukan ibarat
sebuah perjudian. Kehilangan motor milik anaknya, seperti halnya kalah dalam
perjudian. Dan sekarang, ia sedang berjudi lagi. Jika anak yang mencuri motor
anaknya bisa berbenah diri, dan syukur-syukur bisa berubah menjadi lebih baik
dan bisa bermanfaat bagi keluarga dan orang lain. Itu berarti, dia sedang menang
dalam perjudian ini. Tapi, kalau anak itu kabur, dan membawa barang-barang
kepunyaannya, tentu akan menimbulkan kerugian lagi. Itu artinya, dia sedang
kalah judi!
Kemudian ia mulai “itung” dengan Mas
hik, dan meningalkan angkringan menuju tempatnya sering duduk bersila
menghabiskan malam dengan berjudi.