“Karena aku sedang bersyukur.”
“Apa yang kamu syukuri?”
“Aku bersyukur masih bisa tersenyum di
saat semua ini datang.”
“Aku tidak paham.”
“Tidak paham adalah salah satu cara
memahami.” Kamu tersenyum. Merapikan baju-baju yang berserakan. “Hidup
ini adalah ujian. Dan ujian itu salah satu tanda bahwa kamu masih hidup.”
“Ujian hidup?”
“Ya. Ujian hidup. Ia datang agar kamu
tetap bisa merasakan hidup. Tanpa ada ujian, hidupmu akan biasa saja. Bosan.
Ujian hidup seperti ritme sebuah lagu. Ada kalanya ia begitu tinggi, ada
kalanya ia sangat rendah.”
“Banyak orang hidup ingin mati karena
ujiannya.”
“Ya. Ujian hidup tidak selalu mudah.”
Kamu mengangkat baju-baju itu. Memasukkannya ke dalam lemari. “Aku tidak tau
tepatnya. Tapi banyak orang menyerah dari hidup karena mereka berhenti
tersenyum.”
“Memangnya ada apa dengan senyum?”
Kamu tertawa. “Entahlah. Mengapa kamu
tidak mencoba tersenyum sekarang? Senyum adalah kunci yang membuka pintu
bahagia bagi mereka yang tersenyum dan yang melihat senyuman. Dan syukur adalah
ketika terbukanya pintu bahagia.”
“Sudah dicek? Apa saja yang hilang?”
“Semuanya. Kecuali pakaian-pakaian
tadi.”
“Kalung pemberian mamamu?”
“Yang akan hilang, suatu saat pasti
hilang. Entah kapan. Yang akan datang, suatu saat pasti akan datang. Entah
kapan. Kehilangan adalah cara terbaik untuk belajar menjaga.” Senyummu
semakin manis.