Cerita atau artikel dari Wildan Muhammad kali ini mungkin
akan sedikit berbeda. Ini salah satu kegeramanku saja sih. Kejadian yang
berulang pada beberapa teman dan kekacauan kecil terjadi. Dibilang kecil juga
karena skalanya sebatas persahabatan, geng atau struktur kurang dari sepuluh
orang. Namun bila dalam instansi ini sudah jadi perkara besar.
Hal yang membuatku geram itu adalah ketidakacuhan seseorang terhadap
kesulitan orang di sekitarnya. Hmm, mungkin aku yang lebai sih. Buat apa ngurusin orang yang tidak peduli? Tulisanku ini
mungkin juga takkan dipedulikannya. Sebenarnya aku tidak mau juga ngurusin
orang macam ini. Biarkan saja keegoisan membunuhnya perlahan dan tahu sendiri
akibatnya.
Aku hanya ingin menyampaikan kegundahan dalam hatiku.
Aku tidak bilang diriku ini layak memberi kritikan kepada
mereka yang kusindir dalam tulisan ini. Tapi aku rasa perlu menyuarakan
pendapat kepada teman-temanku yang sudah menjalani ‘puncak karirnya’. Agar ia
tidak melupakan teman-teman dan orang-orang di belakangnya. Entah teman, anak
buah, sahabat, saudara, mantan (eh). Siapa saja yang pernah ada dalam hidup
orang-orang yang pernah ‘kecil’ itu.
Sebab sangat kusayangkan, beberapa teman yang sudah ‘di
atas’ kejaimannya meningkat 100x.
Hmm, iya sih kalau sudah menjabat satu posisi, pekerjaan
banyak, tanggung jawab bertambah, teman-teman pun pasti juga ‘naik tingkat’. Dulu
teman-temannya biasa-biasa saja, bercanda layaknya anak TK, makan di warung
kaki lima, hidup dengan apa adanya. Saat sudah berkedudukan ia banyak bergaul
dengan pejabat, direktur, artis, dan orang-orang sekaliber itu. Hidupnya pun
tidak apa adanya, tapi apa-apa ada.
Teman-teman yang sebelumnya membersamai –dan masih
biasa-biasa saja, tergeser kedudukannya. Saat ketemu, hawa Si A sudah berubah,
tidak secair dulu. Teman-teman main masa SMA atau kuliah saat bersama seperti
‘tidak ada levelnya’ dibandingkan Si A. Dia –entah sengaja atau tidak –membuat
jarak dengan membatasi bicara, menjauh, dan bahkan membuat blok sendiri. Orang pun
jadi sungkan bicara dengannya.
Ini yang sebenarnya ingin aku soroti dalam tulisan ini.
Aku tergelitik, dan merasakan perang itu dalam diriku juga.
Saat bicara dengan yang lebih muda, lugu, belum mengalami banyak hal, ada
sekelumit ‘rasa tinggi’ dalam hati. Itu selalu terjadi bahkan saat bicara
dengan siapa pun. Aku merasa memiliki pengalaman lebih. Akhirnya, saat bicara
aku menggurui dan memaksa.
Aku tidak memakai hati, tapi ego.
Kalau pakai hati, cara bicara dan bahasaku akan kusesuaikan
dengan orang yang kuajak bicara. Taraf pemahamannya berbeda denganku, maka aku
akan lebih banyak mendengarkan. Di saat masalahnya ketemu barulah umpan kuberikan.
Biarkan dia menyimpulkan sendiri solusinya. Aku hanya sebagai perantara dan pelayan
agar dia merasa nyaman.
Nah, kalau pakai ego banyakan aku memaksa ‘kamu beginilah
biar begitu!’. Pengalaman-pengalamanku di masa lalu kuceritakan. Aku menganggap
sama apa yang dialaminya saat itu. Kupaksa dia mengikuti yang kuarahkan, lalu
kusalah-salahkan saat dia gagal –padahal dia sudah melakukan apa yang
kukatakan. Aku tidak melihat apa yang diusahakannya. Hanya mengritik hasil
usahanya –karena tidak sesuai harapan.
Pola ini sebenarnya terjadi kapan saja.
Bisa dalam rumah tangga, organisasi, orang tua-anak,
anak-orang tua, bahkan hubungan persahabatan atau asmara. Setiap interaksi kita
di dunia ini adalah tindakan kepemimpinan. Setiap tindakan kita akan diminta pertanggungan
jawab, termasuk sikap kita terhadap orang lain. Bila kita semena-mena tentu
balasan terhadap kita juga akan semena-mena. Bila kita berbuat baik balasan
yang kita dapatkan juga baik.
Tanggungjawab besar
datang seiring kekuatan yang besar.
Satu kutipan kalimat dari film Spiderman yang dibintangi
Tobey Mc Guirre. Semakin besar kekuatan yang kita miliki maka tanggung jawab
kita juga semakin besar. Kita akan lebih bersusahpayah, lebih banyak menangis,
lebih sering mengeluh kepada Tuhan, dan sebagainya. Kita akan semakin banyak
membutuhkan pertolongan. Lho, kalau punya kekuatan mengapa malah lebih banyak
membutuhkan pertolongan?
Mas, mbak, pemimpin itu bukan Tuhan. Ia hanya dipercaya
memimpin karena dianggap memiliki ‘koneksi lebih’ dengan Tuhan. Seperti raja-raja
zaman dulu yang beri wewenang sebagai wakil Tuhan di dunia ini. Nabi-nabi dan
para rasul semua memimpin karena memiliki kelebihan berupa kedekatan dengan
Yang Maha Kuasa. Orang-orang jadi tidak segan memercayakan diri mereka kepada
pemimpin-pemimpin itu.
Pemimpin yang merasakan sakit berjuta kali lebih banyak dari
yang dipimpin. Pemimpin yang pertama kali mengambil risiko demi penyelesaian
masalah. Pemimpin yang berani mengambil beban terberat tanpa memaksa
keinginannya. Pemimpin yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Pemimpin yang
mau menyadari kelemahan dan ketidaksanggupannya. Pemimpin yang tidak segan
meminta maaf dan berterimakasih kepada para siapa saja.
Memimpin adalah
tentang peduli.
Pemimpin yang memimpin itu memikirkan kelangsungan hidup
seluruh yang dipimpinnya. Bukan berarti ia menjamin semuanya, tidak. Ia
berpikir dan melebarkan hatinya untuk segala yang baik bagi yang dipimpinnya.
Seperti saat Muhammad berkata lirih, “Ummatku, ummatku, ummatku,” pada
penghujung hidup. Beliau lebih memikirkan ummatnya dibandingkan dirinya yang
kesakitan didera sakaratul maut.
Atau kisah Isa, Ibrahim, Nuh, dan lainnya yang tidak lain
berjuang demi manusia.
Miris kala melihat ada pemimpin menyalah-nyalahkan para
penggerak organisasi atau wadah yang dibuatnya. Hanya karena mereka tidak bisa
memenuhi apa yang pemimpin itu arahkan. Jerit tangis dan keluhan mereka pun
tidak ia dengarkan. Saat ditanya tentang suatu masalah ia diam. Para ‘anak
buah’ kehilangan arah karena pemimpin mereka tidak available menerima masalah.
Pemimpin seperti ini harus mau belajar mendengarkan. Sebab tidak
mau mendengarkan orang lain bukanlah sikap seorang pemimpin. Pemimpin yang baik
itu peduli kepada apa saja yang dihadapi ‘anak buah’-nya. Memimpin bukan
berarti memerintah dan keinginannya harus dituruti. Pemimpin tidak menggunakan
posisinya demi memaksa orang lain.
Pemimpin siap menjadi apa saja yang dibutuhkan ‘anak
buah’-nya. Bukan berarti ia harus jadi sempurna, namun ia bisa karena berusaha.
Pemimpin yang baik itu mampu membuat koneksi hati dengan bawahannya. Bukan
hanya membuat hubungan diplomatis formal dengan jenjang antara pemimpin dan
bawahan yang kentara. Ia lebarkan hati untuk peduli bukan malah meninggikan
diri.
Memimpin itu bukan pekerjaan main-main, tidak heran banyak
orang menghindarinya. Tapi bila sudah dipilih lalu menghindar, saat melakukan
kesalahan tidak minta maaf, itu bukan sikap ksatria. Ketika bawahan melakukan
kesalahan bukankah sebagian juga karena menyontoh pemimpinnya? Pemimpin yang
pertama kali disalahkan atas kekacauan yang dibuat anak buahnya.
Lantaran mendidik juga salah satu tugas pemimpin.
Ia harus sadar dirinya menjadi contoh. Apabila anak buahnya
bersikap A besar kemungkinan karena pemimpinnya juga bersikap A. Jadi bukan
tempatnya bila pemimpin malah mencari pembenaran demi mempertahankan
pendapatnya. Sikap anak buah seperti apa itu juga terkandung ‘karakter’
mencontoh diri pemimpinnya, “Ing Ngarsa
Sung Tuladha”.
Pemimpin yang baik
mau belajar, bukan menuntut orang lain belajar.
Setiap jiwa adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Aku ingin
menghormati semua orang secara merata. Namun pada kenyataannya, orang-orang
model jaim seperti yang kusebutkan di atas semakin banyak saja. Hanya sedikit
temanku yang peduli pada ‘orang-orang tertinggal’. Mau menanyai kesulitan,
bukan nyuruh-nyuruh tanpa mendengarkan lebih dulu.
Bagiku yang sudah lulus sarjana ini pun sebisa mungkin tidak
sok nyuruh mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir agar menyelesaikan skripsinya.
Kenyataannya, cara seperti itu tiada berguna dan membuat mahasiswa makin insecure. Itu hanya contoh kecil
hubungan kakak-adik tingkat. Kalau sesama sahabat, pacar, suami-istri,
ketua-staf pasti double insecure.
Lalu baiknya gimana?
Pertama, jangan merasa tinggi.
Merasa tinggi membuat proses belajar jadi tidak mungkin. Bagaimana
mungkin orang akan belajar kalau sudah merasa mampu, merasa bisa. Pemimpin
memang di atas dalam tulisan struktur, namun posisi sebenarnya di bawah. Ia
menopang, bukan menarik-narik orang di bawah agar bisa berpikir sepertinya. Merasa
tinggi karena memimpin hanyalah sikap seorang arogan yang bangga dengan dirinya
sendiri.
Kedua, berusaha rendah hati.
Sebisa mungkin jangan memamerkan apa saja yang telah dicapai
dengan mengatasnamakan diri sendiri. Ambil contoh saja artis yang mendapatkan
penghargaan di salah satu award. Apa
mereka menyebutkan diri mereka saja? Tidak. Mereka mengucapkan syukur kepada
Tuhan lalu terima kasih kepada semua orang yang selama ini mendukungnya, satu
per satu.
Pun bila pemimpin diakui prestasinya dalam suatu bidang
kepemimpinan. Pemimpin yang rendah hati akan merasa capaian itu bukan miliknya.
Itu milik teman-teman yang membuatnya sampai kepada apa yang diinginkannya.
Dalam hati si pemimpin itu sendiri mungkin malah merasa tidak pantas mendapat
pengakuan itu. Dia merasa capaian itu hasil kerja keras semua orang yang selama
ini membantunya.
Ketiga, berusaha sejajar dengan semua manusia.
Menundukkan diri di hadapan yang dianggap lebih tinggi, di
sisi lain semena-mena kepada yang dianggap lebih rendah, itu namanya sombong
dan pamer. Kepada para guru cukup menghormati mereka selayaknya, berbuat baik
dan mendengarkan nasihatnya. Kepada yang dianggap lebih rendah jadilah pengayom,
bukan penindas. Carilah guru yang mengayomi bukan menggurui. Sikap guru akan
menular kepada muridnya. Cari guru yang mau menyejajarkan diri dengan muridnya
agar kita juga mampu menyejajarkan diri dengan mereka yang kita pimpin.
Keempat, banyak-banyak merenung dan bertobat.
Pemimpin yang baik banyak-banyak bertobat. Muhammad yang
sudah diampuni dosanya saja shalat sampai menangis-nangis. Beliau memerlakukan
istri dan keluarganya dengan lemah lembut. Beliau menjawab pertanyaan dengan
analogi yang mudah dimengerti. Tanpa menggurui dan merasa harus dihormati
sebagai rasul. Itu Muhammad, kita-kita yang dosanya jelas-jelas ada bukankah
lebih perlu merendah dan bertobat? Jangan merasa sudah baik. Tidak penting jadi
orang baik, cukup jadilah orang yang berada di jalur yang baik.
Hmm, mungkin ini sudah terlampau panjang. Kegelisahanku
sudah tertumpahkan di rangkaian kata tidak beraturan ini. Aku tidak tahu akan
bermanfaat buat pembaca lobimesendotkom atau tidak. Aku sendiri tidak menyangka
bisa menulis sepanjang ini. Semoga saja tulisannya enak dibaca. Bila tidak ya
langsung ditelan saja.
Aku hanya berharap makin banyak orang rendah hati di dunia
ini. Paling tidak orang-orang di sekitarku lah. Buat apa jaga citra diri tapi
tidak mampu menghargai orang lain? Mau seperti apa juga yang menilai baik buruk
paling sempurna itu Tuhan. Manusia melihat sejajar dengan manusia lain soalnya.
Penilaian sekarang bisa saja di lain waktu berubah.
Bukan berarti melepaskan kehormatan juga. Bagaimana pun kita
ini layak menghormati dan menghargai diri kita sendiri. Cukup mempertahankan
diri ketika memang dihina dan dilecehkan. Bila hanya diremehkan, biarkan saja.
Melayani pandangan sebelah mata orang lain tidak akan ada habisnya. Kita jadi sombong
juga ketika marah-marah dan merasa lebih tinggi dari orang yang meremehkan
kita.
Terima kasih sudah membaca, maaf bila ada kata yang tidak pantas.