![]() |
Ilustrasi Gambar |
Sesampai di rumah, aku menaruh tasku
di atas sebuah meja yang terletak di sudut ruang, sebuah meja biasa aku menaruh
helm. Kemudian aku menyalakan televisi, meski sebenarnya aku sedang tidak ingin
menontonnya. Aku hanya ingin membuat suasana rumah menjadi sedikit ramai. Menyalakan
televisi adalah salah satu yang sering aku lakukan. Tidak jarang, ketika aku
keluar malam, aku akan mengunci rumah dan televisi masih dalam keadaan menyala.
Aku tidak mau membuat rumahku yang sepi itu, semakin sepi. Aku ingin
menghidupkan rumahku dengan menyalakan telivisi agar terlihat bahwa rumah itu
berpenghuni.
Dulu, ketika masih ada seseorang yang
sangat peduli denganku. Ada seseorang yang memastikan aku sudah tertidur,
kemudian mematikan televisi, serta memastikan bahwa semua pintu sudah terkunci.
Tidak ada yang melarang tentang kebiasaanku menyalakan televisi meski tak ada
yang menontonnya. Kini, aku baru mematikan televisi ketika aku terbangun dari
tidurku. Dan tidak jarang, televisi baru aku matikan ketika bangun di pagi
hari.
Aku tidak ingin kebiasaanku di rumah
menjadi sebuah keharusan. Maka, ketika memilih hidup di sebuah kos-kosan, aku
justru menjauh dari televisi. Sengaja aku tidak membeli televisi, karena aku
ingin membuat sebuah ruangan yang sepi, sunyi dan penuh ketenangan. Di dunia
luar sudah terlalu ramai oleh manusia-manusia dengan segala kepentingannya.
Maka, bukan keramaian lagi yang kucari, tapi sebuah ruang yang penuh dengan
ketenangan. Aku merasa, di ruang-ruang sunyi aku bisa jauh lebih menikmati
hidup. Karena aku hanya butuh ruang untuk menikmati kesunyian, itu saja.
Di wilayah-wilayah senyap lah, aku
seperti bisa memahami diriku sendiri. Aku seperti sedang berhadapan dengan
diriku sendiri dan mencoba berkomunikasi tentang segala hal yang menjadi
kerisauanku. Aku gila? Oh tentu tidak! Aku hanya ingin mengenal diriku sendiri,
itu saja.
***
Aku menuju ke dapur untuk memanaskan
air. Sambil menunggu air mendidih aku menyalakan laptop kemudian mengambil
rokokku, dan menyulutnya. Aku menikmati setiap hisapan rokokku, menghisap
dalam-dalam, kemudian menghempuskan asapnya, seakan segala permasalahan hidup
ini turut keluar bersama dengan asap rokok.
Air sudah mendidih, aku menaruh kopi
ke dalam sebuah coffe press, kemudian
menyeduhnya dengan air yang baru saja mendidih, mengaduknya, dan menunggu
beberapa saat. Kemudian aku menekan coffe
press agar ampas kopi mengendap ke bawah. Aku sedang ingin menikmati kopi
pahit saat itu, aku hanya menaruh sedikit gula ke dalam cangkirku, kemudian
menuangkan kopi dari coffe press ke
dalam cangkir yang sudah aku beri sedikit gula itu. Dan mengaduknya secara
perlahan.
Sebelum menikmati kopi hitamku, tentu
ada ritual khusus sebelum menyruputnya, yaitu dalam keadaan mata tertutup aku menghirup
kepulan asap dari cangkir kopi, menikmati aroma kopi itu. Aroma kopi khas Sumatera!
Kopi itu adalah kopi kiriman dari saudaraku yang tinggal di Sumatera, beberapa
hari yang lalu, ia mengirimiku beberapa bungkus kopi.
Aku menyalakan kembali rokok,
menyruput kopi sambil sesekali menghisap rokokku dalam-dalam. Percampuran
sisa-sisa kopi yang masih di lidah bercampur dengan aroma tembakau benar-benar
perpaduan yang menghasilkan sebuah rasa yang sulit aku jelaskan.
***
Di rumah, koneksi internet bisa
dibilang masih lancar, bahkan kalau malam internet justru semakin kencang, tak
butuh menunggu lama untuk menonton video di youtube.
Aku membuka e-mail karena sengaja aku
tidak men-sinkron-kan akun e-mail ke
dalam android-ku. Waktu aku buka, ternyata hanya e-mail dari situsweb langganan, dari Lina joobstreet, dan beberapa
hanya promo dari lazada. Kemudian menutupnya dan mencoba melihat-lihat di sent item. Ada e-mail yang sengaja aku kirimkan kepada seseorang yang tak pernah
aku harapkan balasan darinya.
Kemudian, aku mulai melakukan aktifitas
berselancar di dunia maya. Membuka facebook,
twitter dan membaca beberapa blog
yang menarik ketika sedang walking blog
untuk membaca tulisan-tulisan dari para blogger.
Tentu tidak semua tulisan aku baca. Aku hanya membaca sesuai dengan kebutuhan
saja, dan tentu sesuai dengan tema-tema yang sedang aku sukai.
Ketika masih khusyuk di depan laptop,
ada suara dari luar yang memanggil-manggil namaku. Waktu, aku keluar, ternyata
tetanggaku. “Ada titipan, Mas” tetanggaku memberiku sebuah undangan. Aku
menerima undangan tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Waktu aku baca
sekilas, ternyata dari salah satu teman lamaku. Melihat undangan itu, aku jadi
teringat dengan kekonyolan tempo hari. Jujur, aku sudah lama memblokir semua
akses salah satu temanku, atau lebih tepatnya seseorang yang pernah menjadi
seseorang yang singgah di hatiku. Mungkin, kata “mantan” bisa menyederhanakan
apa yang aku maksud.
Dari nomor handphone, akun jejaring sosial, hingga kontak BBM sudah aku hapus semua. Sengaja aku menutup segala akses tentang
dia. Aku hanya ingin melupakannya, itu saja! Namun, malam itu benar-benar konyol, di tengah
kesibukan bekerja, tanpa sengaja aku malah menerima permintaan pertemanan dari
seseorang. Dan sialnya, itu adalah dia. Tidak mungkin langsung aku menghapusnya
dari kontak. Aku membiarkan saja. Kemudian selang beberapa saat, ada beberapa
pesan BBM yang masuk, ternyata dari
dia. Aku membuka agak lama pesan BBM
itu.
“Hai”
“Masih ingat aku?”
“Sekarang sibuk apa”
“Sekarang domisili kamu dimana?”
Selesai membaca pesan BBM sengaja aku tidak langsung
membalasnya. Ada jeda yang lumayan lama. Kenapa? Sekali lagi, dia bukan
prioritas lagi. Kemudian aku membalas
pesan darinya dengan singkat.
“Iya”
“Sekarang di Boyolali”
Tak lama kemudian ada balasan darinya
“Ohh, kapan pulang ke rumah?”
“Aku mau ke tempatmu, minggu ini aku
pulang”
Kali ini aku segera membalas pesan
darinya
“Seminggu sekali aku pasti pulang”
Dia membalas pesanku lagi.
“Okey, sabtu aku ke tempatmu ya?”
“Semoga bisa ketemu kamu”
Aku menjawab pesannya, dengan
nada-nada seperti orang yang sok sibuk
“Okey, tapi aku tidak janji”
Belum selesai mengetik lagi, dia
sudah membalas pesanku
“iya, sih”
“okey, kalau gitu besok kabari aku
lagi kalau sudah di rumah, ya?”
“Soalnya, minggu aku harus balik lagi
ke Jakarta”
Aku hanya mengiyakan saja, meski
dalam hati aku tidak mengharapkan pertemuan dengannya. Dia pun juga mengiyakan
dan menyuruhku untuk memberinya kabar lagi.
Hingga minggu aku tidak memberinya
kabar. Aku benar-benar sibuk. Sabtu aku ada overtime,
kemudian baru minggu agak siang aku pulang. Itu pun minggu sore aku harus balik
lagi, karena senin aku harus dinas pagi.
Waktu aku menerima undangan itu, aku
melihat undangan berwarna merah jambu itu. Aku melihat sampul undangan itu. Ada
nama lengkap yang begitu panjang. Dan itu, adalah namanya! Waktu aku membaca
dalam hati nama lengkapnya yang panjang itu. Biasa saja! Tidak ada perasaan
apa-apa lagi. Dan aku lega!
Ternyata dia ingin bertemu denganku
hanya ingin memberikan undangan pernikahannya secara langsung kepadaku. Aku
tidak tahu mengapa dia seperti harus memberikan undangan itu langsung kepadaku.
Aku sudah melupakannya, meski ada
sisa-sisa ingatanku tentang dirinya. Namun, harus aku akui aku belajar banyak
darinya, belajar dari kisah-kisah yang telah aku jalani. Tidak semua orang bisa
menerima kita, dia adalah orang yang pernah menerimaku, meski itu cuma sesaat.
Dan bersamanya aku belajar setia, bersamanya pula aku terluka. Kemudian, apa aku
harus terluka lagi dengan undangan pernikahannya? Tentu tidak! Karena aku cukup
lega dengan diriku sendiri, ketika aku bisa bersikap biasa saja ketika melihat
undangan itu.
Aku hanya menaruhnya di atas meja di
dekat laptopku. Kemudian ada pesan BBM
masuk. Ternyata berasal dari dia. Sepertinya dia ingin memastikan bahwa aku
sudah menerima undangannya. Kemudian ia mengakhiri pesan BBM,
“Sudah terima undangannya?”
“Aku berharap kamu bisa datang”
Aku menjawabnya dengan singkat pesan BBM darinya “iya” meski dalam hati aku
menggerutu, “tapi, aku tidak janji” Aku kemudian menaruh undangan itu di atas
meja yang terletak di sudut ruang tempat aku menaruh tas dan helm. Semoga aku
tidak lupa dengan undangan itu.