Artikel ini katakanlah pemaknaan
dari dua tulisan sebelumnya. Postingan tentang memenuhi undangan yang pertama
oleh Kang Mas Riki dan kedua dari Wildan Muhammad. Sebenarnya pembahasannya
bukan tentang kegagalan mendapatkan pendamping saja, dalam tulisan ini. Ibarat
jalan penghubung untuk pemaknaan yang lebih dari sekadar galau gagal nikah.
Itu peristiwa yang kita maknai
seperti apa? Episode kegagalan merupakan satu momen pembelajaran, bukan hanya
kesengsaraan. Meskipun harus diakui gagal itu sangat tidak menyenangkan. Aku coba
memaknai percintaan yang gagal dari sudut pandangku sendiri. Tujuannya agar
orang tidak meremehkan masalah perasaan.
Harus diakui gagal dalam hubungan
asmara memang menggelikan, sekaligus menyebalkan.
Inginnya kita gak mikirin tapi
kalau masih belum ada pasangan mau gak mau juga kepikiran. Kalau nyari pasangan
baru kadang takut kalau-kalau hanya pelarian dan gagal lagi. Serba salah. Diam
salah mau gerak ya salah, katakanlah begitu. Kita tidak tahu apa yang harus
kita lakukan karena merasa kegagalan kemarin begitu besar dan menyita seluruh
energi kita.
Memang sih kita sering mengatakan
galau masalah percintaan adalah hal cengeng.
Hooo? Begitukah? Hmm kawan,
jangan remehkan masalah hanya karena tidak institutif, normatif atau kolektif.
Masalah selain pekerjaan, organisasi, birokrasi acapkali dikesampingkan.
Alasannya karena mengganggu jalannya kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan bersama. Tidak boleh sedih karena masalah perasaan karena itu bisa
mengganggu profesionalitas.
Kenyataannya, banyak orang
depresi karena masalah perasaan. Banyak orang menyakiti tubuhnya sendiri demi
mengurangi rasa sakit yang diderita hatinya. Banyak orang bunuh diri karena
tidak mampu mengatasi tekanan perasaan dalam dirinya. Ketidakmampuan mengelola gejolak
emosi dan kehausan jawaban akan sebuah masalah itu butuh usaha untuk . Sepele?
Lebai mungkin yang pembaca
pikirkan. Bila seseorang berlama-lama menangisi dirinya sendiri, itu berlebihan.
Seseorang merasakan sedih berlama-lama dan tidak mau memikirkan hal selain
perasaannya, itu egois. Seperti tidak mau keluar dari masalah itu dan maju
untuk menggapai masa depan. Pun bila masalah baru jadi pelarian buat masalah
yang lain.
Terlalu berekspektasi itu juga
tidak baik. Seperti ingin menutup masalah dengan harapan yang melayang tinggi
dan membuai diri dengan angan-angan. Sesaat, perasaan terhadap kehilangan jadi
ringan. Setelahnya? Harus membuat harapan lagi, berangan-angan lagi. Bila
terlalu sering si pelaku jadi tukang lamun dan bukan tidak mungkin jadi gila.
Jadi sebenarnya apa yang salah
dengan masalah perasaan?
Tidak ada. Yang melakoni alias
orangnya yang salah. Persepsi orang yang, ‘apaan sih gitu doang’ menambah
seseorang kurang ‘tertarik’ menghadapi masalah perasaannya. Tidak ada yang
menggaji tidak akan ada yang menghargai keberhasilan kita bangkit dari keterpurukan.
Padahal mungkin kita berusaha sekuat tenaga menguras tenaga hati dan pikiran
lebih dari biasanya.
Selalu ada masalah yang lebih berat dari masalah yang kita dapatkan.
Melihat berbagai persoalan
manusia mungkin menarik bagi kita yang memelajari tingkah laku manusia. Keterampilan
berkomunikasi, mengatur emosi, bertukar pikiran, dan mengetahui sejarah hidup
orang lain. Semua itu melatih softskill
terutama dalam bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Saat melihat masalah
orang lain dan membandingkannya dengan masalah kita.
Apa yang kita lihat? Ya, masalah
orang lain tidak ada yang lebih ringan dari masalah kita. Masalah orang lain
akan terlihat lebih berat dan kita tidak mampu menyelesaikannya. Mau sok-sokan
pakai teori apa juga kita tidak mampu menyelesaikannya. Beruntunglah bila kita
bisa melihat dengan cara seperti ini. Sebuah kesialan bila kita menilai ringan
masalah orang lain.
Itu berarti kita sombong.
Masalah bukan untuk diremehkan.
Masalah ada untuk diselesaikan dan bila ada teman bercerita tentang masalahnya
lebih baik kita dengarkan. Itu cermin buat kita yang masih suka mengeluh
tentang masalah kita sendiri. Mengguruinya dan tidak memberikan ruang
penghargaan untuk masalahnya adalah wujud keangkuhan kita yang tidak mau menghargai
hidup orang lain.
Manusia punya potensi untuk mengubah keadaan.
Bisa dibilang manusia punya
potensi salah dan punya potensi benar yang sama. Manusia mau bertindak benar
atau salah itu terserah dia sendiri. Mau terbawa arus masalah ya itu pilihannya
sendiri. Mau bertahan dan coba mencari jalan keluar ya itu atas kemauan sendiri.
Setiap hal ada konsekuensi dan karena itu ada tanggung jawab.
Sayangnya banyak orang lebih suka
mencari-cari alasan –termasuk yang nulis ini juga.
Bertindak salah tapi alasannya
macam-macam. Gak bisa gini lah, gak bisa gitu lah, sulit, sakit. Bahkan sampai
bikin logika berpikir sendiri yangaduh rumitnya sampai ke tulang. Kalau sudah
begini susah buat mendapat pikiran dan pemahaman baru. Keras hati keras
pendirian, tidak melihat sesuatu yang lain dan terpaku pada masalah. Mengabaikan
kesempatan dan berkeras dengan satu pendirian –yang mungkin sudah tidak
relevan.
Bodoh? Iya bodoh.
Masalah selalu bisa dikompromikan.
Manusia tentu memiliki titik lemah.
Sisi tempat ia tidak mampu mengendalikan diri. Bohong besar kalau manusia kuat
dalam segalanya. Tidak ada manusia tanpa cela. Seseorang pasti memiliki sesuatu
yang tidak disadari dan jadi pintu masuk iblis untuk menjerumuskannya. Apakah
ada manusia yang tidak pernah salah? Bahkan Muhammad pun pernah salah dan
ditegur langsung oleh Tuhan.
Itulah kemanusiaan,
ketidaksempurnaan, ketidakabadian.
Akal yang kita miliki membuat
diferensiasi terhadap mahkluk hidup lain. Kita mampu berpikir, merasa,
mempertimbangkan dan mengatur diri sendiri. Apabila akal tidak kita gunakan,
padahal tahu dan memilih sikap menjauh dari bajik, ya jadinya penilaian
terhadap kita: salah. Sebab bagaimana pun di dunia ini mau gak mau kita harus menuruti
aturan.
Entah aturan yang kita buat sendiri,
aturan yang kita buat bersama orang lain, aturan adat masyarakat, aturan kode
etik profesi, aturan pemerintah dan undang-undang, dan yang paling mendasar
aturan agama. Semakin kita dewasa aturan itu semakin mengikat. Kita dituntut
memenuhi aturan kapan pun, di mana pun, bersama siapa pun.
Melihat kemampuan manusia dalam
mengatur hidup, sebenarnya masalah selalu bisa dikompromikan. Kemarahan sesaat,
keteledoran, ketidaktahuan, apa saja kekurangan manusia itu bisa selalu
dimaklumi. Tentunya ini tidak mudah karena membutuhkan keluasan hati untuk mau
menerima. Menerima semuanya tanpa protes dan merelakannya bersama waktu yang
telah lalu.
Itu pekerjaan berat dalam hidup
dan ‘upah’-nya jangka panjang.
Susah move on.
Nah, mari kembali ke topik
pernikahan. Pernikahan batal dengan orang yang diinginkan, hanyalah sebuah
proses kegagalan yang tidak berbeda dari kegagalan yang lain. Permasalahannya
adalah yang membelakanginya, yang membuat hal itu begitu sulit dan membuat beberapa
orang –kalau bahasa kekinian-- susah move
on.
Ini tentang pengaruh harapan pernikahan
terhadap hidup seseorang.
Mau tidak mau kawan,
ketidakhadiran pasangan adalah hal menggelisahkan dalam hidup kita. Mau kita
punya pekerjaan setumpuk, teman di segala penjuru, kesibukan penuh waktu,
pasangan adalah kebutuhan yang tidak bisa kita elakkan. Kesibukan bisa
melalaikannya namun hanya sementara. Saat pemicu kebutuhan ini muncul, hmm, aku
yakin para jombles sudah pada tahu rasanya.
Ini tentang pemaknaan menikah
buat kita, ekspektasi kita terhadap pernikahan.
Seseorang berekspektasi tinggi
terhadap sesuatu. Bila ekspektasi itu tidak menemui kenyataan, ia akan jatuh
sangat keras. Berawal dari itu proses pemaknaan kegagalan pun dilakukan. Itu
pun butuh waktu, butuh energi, dan butuh pengorbanan. Siapa yang bisa
mengalihkan perasaan membuncah dalam waktu sepersekian detik? Itu butuh latihan
dan kesabaran.
Cengeng? Tidak.
Seseorang bisa jadi sangat
meratapi sesuatu karena yang dia ratapi itu begitu berharga. Puncak
keputusasaan dan pengharapan yang paling digantungkan. Harapan yang paling
murni dari dasar hatinya. Penghiburan atas semua lara yang dideritanya selama
hidup dan gerbang untuk hidup baru. Meninggalkan hidup sebelumnya yang tidak
membawa bahagia.
Manusia dalam hidup ini membawa
beban ujiannya masing-masing. Kita tidak bisa meniai orang miskin itu cobaannya
banyak, orang kaya cobaannya sedikit. Atau dia yang dicoba perkara asmara lalu
jatuh terpuruk tidak lebih kuat daripada yang dicoba masalah dengan keluarga.
Ayolah, setiap manusia dicoba tidak melebihi kadar kesanggupannya.
Kita tidak tahu apa yang
membuatnya jadi seperti itu. Bila kita ingin memaklumi orang lain, kita harus
mau melihat masa lalu orang itu dan membuatnya jadi bahan renungan. Memang
orangnya salah karena tidak melakukan hal yang benar. Tetapi bukankah kita juga
bisa jadi melakukan hal serupa – dengan masalah berbeda tentunya.
Pernikahan adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar.
Pintu keluar dari segala
kegelisahan akan kehidupan yang kita sadari, ternyata membuat kita semakin
lemah. Bohong kalau kehidupan membuat kita semakin kuat. Darimana kita lebih
kuat bila setiap detik tubuh kita beroksidasi. Darimana kita lebih kuat bila semakin
berumur kita lebih mudah terserang penyakit. Darimana kita lebih kuat bila
setiap detik, jam, hari membuat umur kita semakin berkurang.
Kita ini semakin lemah kawan.
Pintu masuk kebaikan yang lebih
besar juga jadi makna pernikahan. Bagaimana pun segala yang akan terjadi dalam
hidup kita, bukan hanya kita yang menanggung. Ada istri, ada suami yang
menyertai. Potensi kita dalam berbuat dan memenuhi tanggungjawab juga semakin
besar, karena kepentingan kita dengan pasangan tidak mungkin berseberangan jauh.
Bila berseberangan jauh, itu
pasangan atau jembatan antar pulau?
Semoga saja gak terjadi kayak
gitu sih. Gak tahu realitanya kayak apa, dunia semakin luas dan kesempatan
berkarya juga semakin banyak. Kita pilih salah satu jalan dan menekuninya. Bila
pasangan berada di jalan yang berbeda, pastikan saja ada satu jalan sama yang
dilalui berdua. Itu bisa jadi semacam lem UHU buat hubungan komitmen kita.
Yah aku tidak mau bicara banyak
soal ini, toh akan banyak yang protes karena aku belum menikah.
Masalah asmara dan susah move on, intinya bukan sesuatu yang
pantas diremehkan. Meremehkan suatu masalah akan membuat kita terjatuh dalam
lubang kesombongan. Di psikologi kita diajari buat menghargai setiap pemikiran
dan perasaan orang lain. Itu membuat kita mudah melebarkan hati menerima dan
membantu seseorang mengurai masalahnya.
Lebih baik cari tahu latar
belakangnya, menguraikannya, lalu menyederhanakannya. Seseorang sulit menerima
sesuatu bisa jadi karena memang ia tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang
itu sejak kecil. Ia menyimpan sesuatu begitu lama dan memilih menjauhi dunia
juga pasti ada rangkaian persoalan yang melatarbelakanginya. Ia bersikap
kekanakan, emosional, temperamental, itu pasti ada sebabnya.
Jadi, masalah gagal nikah itu
bukan sesuatu yang –secara esensial- pantas ditertawakan. Lantaran kita tidak
tahu seberapa besar keinginan seseorag. Bisa jadi sesuatu yang kita tertawakan
itu, kini orang lain sedang menangisinya. Lebih baik kita membantunya bila
memang peduli. Kesampingkan gengsi dan ego pribadi, bukan membuatnya jadi
semakin sedih dan merasa masalahnya tidak berarti.
Didengarkan dan dihargai adalah
kebutuhan manusia yang tidak terelakkan.