![]() |
Sumber Gambar |
“Saya baik-baik saja, hanya sedikit kacau”
Kira-kira begitulah jawaban saya beberapa
hari yang lalu, ketika salah satu kawan saya menanyakan tentang kabar saya. Dan
rasanya, kalimat itu memang tepat untuk
menjelaskan sedikit hal tentang kondisi psikologis yang sedang saya alami.
Tentu hal ini masih berkaitan dengan rutinitas saya. Apalagi kalau bukan
masalah pekerjaan. Saya yang awalnya mampu menikmati pekerjaan, dan tanggung
jawab yang diberikan kepada saya. Namun, kali ini saya kalah juga dengan “penyakit
lama” dalam diriku, yaitu rasa bosan. Saya sudah kehilangan cara untuk mengusir
rasa bosan itu, hingga membuat diri saya sudah merasa sampai pada titik jenuh.
Beberapa hari ini, saya kesulitan
dalam memulai sebuah tulisan. Bisa Anda bayangkan, memulai sebuah tulisan saja
sudah kesulitan, apalagi menulis dan menyelesaikan untuk mengisi postingan di lobimesen.com ini? Itulah alasan kenapa
beberapa hari ini lobimesen sepi tulisan baru. Tahu sendirilah siapa yang
paling produktif menulis di lobimesen.com.
Bukan! Tentu bukan saya yang paling produktif, karena masih ada Mas Wildan yang
maqom-nya jauh lebih tinggi daripada
saya yang masih belajar menulis ini. Ini saya tidak sedang merendah lho ya,
namun memang begini adanya.
****
Meski sedang kacau, tentu saya
berusaha untuk bekerja seperti biasa. Seperti hari sabtu kemarin, saya tetap
masuk overtime. Namun, saya lebih
banyak menghabiskan waktu di meja daripada berkeliling untuk memantau situasi dan
kondisi di tempat produksi. Saya hanya sesekali menengok dari jendela atas yang
berada tepat di depan meja saya. Karena ruangan HRD berada di lantai dua, hanya dengan berdiri saja, saya sudah mampu
melihat secara kesuluruhan di ruang produksi melalui jendela depan meja tersebut.
Sepulang kerja, saya pun terlibat
dalam obrolan yang sedikit serius. Obrolan yang lebih mengarah tentang
bagaimana karir saya untuk ke depannya. Terlalu asyik mengobrol mulai dari
obrolan santai hingga obrolan serius, tidak terasa waktu hampir menunjukan
pukul 02:00 pagi. Kami pun menyudahi obrolan. Saya sebenarnya belum mengatuk,
namun teman mengobrol saya malam itu, nampak sudah mengatuk berat dan terlihat
sudah kecapekan, karena baru saja perjalanan dari Semarang. Ada hal yang coba
kami simpulkan dalam obrolan kami malam itu, “Karir itu seperti sebuah kutukan,
ia melekat pada diri seseorang. Pada awalnya kitalah yang memilih pekerjaan,
namun akan ada saatnya pekerjaan lah yang memilih kita”
Malam itu saya tidak pulang, saya
memutuskan untuk numpang tidur di sofa tempat kami mengobrol berdua
hingga pagi itu. Baru setelah sholat shubuh saya pamitan pulang, karena saya
teringat dengan sebuah undangan dari salah satu "sahabat" saya. Dalam keadaan masih mengantuk saya mandi dan bergegas
untuk pulang menuju ke Sukoharjo.
Ketika perjalanan pulang, saya
sengaja lewat di jembatan dekat rumahnya. Saya menurunkan laju kendaraan
sebelum mendekati jembatan dan menoleh ke kiri untuk melihat rumahnya. Sepi,
bahkan tak ada tenda, atau tanda-tanda bahwa ada acara resepsi di sana.
Sesampai di rumah saya mencari lagi
undangan itu. Seingat saya, undangan itu saya taruh di meja tempat biasa saya
menaruh tas dan helm. Dan ketemu! Dan waktu aku melihat undangannya ternyata
acara resepsi bukan di rumah yang dekat jembatan itu. Tapi, di tempat lain.
Dan waktu saya melihat, pukul berapa
acara resepsi dimulai, ternyata masih pukul 11:00 siang, saya masih memiliki
sedikit waktu untuk tidur sebentar. Karena kepala saya pusing, karena kurang
tidur.
***
Awalnya saya akan menghadiri undangan
resepsi itu sendirian. Sendirian? Iya, sendirian! Saya tidak merasa harus
membawa gandengan untuk sekedar
pengakuan siapa yang lebih bahagia. Namun
demikian, untungnya ada kawan lama yang beberapa hari yang lalu sempat bertemu
setelah sekian lama tak jumpa. Kami ngobrol ngalur-ngidul
untuk sekedar berbagi pengalaman.
Kawan lama saya itu, adalah kawan
dari SD hingga SMP, kemudian setelah lulus SMP hingga saya lulus kuliah, saya
sudah tidak pernah bertemu lagi. Jadi, tidak heran jika pertemuan kala itu
membuat saya lupa waktu. Dan dari obrolan panjang itu, ternyata ia juga
mendapat undangan pernikahan dari orang yang mengundang saya juga. Sepertinya,
tidak semua kawan-kawan lamanya di undang, karena hanya beberapa saja yang
diundang. Dan dari obrolan kami, akhirnya kami pun sepakat untuk njagong bareng. Jadilah dua pemuda
tanggung berencana jagong bareng, namun diantara kami belum berpikiran untuk
di-jagongin
Awalnya saya berpikir bahwa hanya
saya dan kawan saya saja yang akan jagong bareng, ternyata bertambah satu orang
lagi, yang ternyata masih kerabat jauh. Jadilah kami njagong bertiga. Kami bertiga masuk ke tempat resepsi dan mengisi
buku tamu. Setelah bersalaman dengan para among
tamu, kami pun memilih tempat duduk pojok paling belakang.
Sepertinya acara molor hampir satu
jam, di undangan tertulis acara dimulai pukul 11:00, namun hampir pukul 12.00
acara belum juga dimulai. Untung saya masih sabar, kalau tidak sabar, mungkin
saya sudah mengambil alih singgasana dan duduk di sana *upsss
Menunggu lama, kawan saya sudah tidak
jenak. Tempat duduk yang awalnya sepi
dan lega, berangsur-angsur menjadi penuh dan udara menjadi sedikit panas. Saya mengusir
kebosanan dengan bermain handphone,
kemudian kawan di sebelah saya sebal-sebul
mengeluarkan asap rokoknya yang membuat udara tambah pengap.
Saya sempat berguman kepada kawan, saya
“Kalau sampai pukul 12.00 acara tidak
dimulai, mending pulang” Namun, justru selang sebentar setelah
saya bergumam, justru acara benar-benar sudah
dimulai. Saya tetap di tempat duduk, sambil melihat sekeliling dan beberapa
tamu undangan yang baru datang. Siapa tahu kawan lama masa sekolah, atau ada seseorang
yang saya kenal. Sedangkan kawan di sebelah saya, sudah nggegeri ngajak balik,
dan masih tetap sebal-sebul
mengeluarkan asap rokok.
“Nanti, nggak enak kalau langsung pulang duluan” jawab saya untuk menenangkan kawan
saya yang sudah mulai bosan. Kemudian, saya mengikuti acara dengan kurang
khidmat, maklum terlalu banyak sambutan, ditambah udara yang sedikit panas,
membuat saya pengen cepat pulang dan mampir ke warung es kelapa muda.
Kemudian mempelai perempuan mulai
masuk dan menuju “singgasana”-nya, dengan diiringi dengan bunyi gamelan, neng nong neng gung. . . Saat itu, saya
hanya terdiam, kemudian mengamati dan merasakan apa yang saya rasakan. Biasa
saja! Dan saya lega.
Kemudian selang beberapa saat,
masuklah mempelai pria. Dan disaat mempelai pria mulai masuk, kawan saya yang
duduk tepat disebelah saya, malah berguman “Lho,
kok lebih pendek, cocoke mbi kowe jane, Rik” mendengar itu, saya melirik ke
arahnya, sambil mengernyit dan bergumam, “Ndasmu”
kami tertawa kecil dan sedikit cekikikan, kawan saya juga cuma tertawa nyengir sambil
sesekali menghembuskan asap rokoknya.
Kemudian, jamuan yang awalnya hanya
ada teh hangat yang sudah mulai dingin itu, kemudian nampak sinoman sudah mulai sibuk membagikan jamuan
lainnya. Aku merasakan snack itu, dan rasanya tidak enak. Rasa tidak enak itu muncul bukan karena rasa pahit tentang sebuah harapan yang pernah putus, lho ya. Memang dari cateringnya, karena bukan saya saja yang merasakan tidak enak, tapi kawan saya juga merasakan hal yang sama. Dan baru sehabis keluar sop, saya bertanya
kepada kawan saya, “Balek, sekarang atau nanti?”
“Manut”
“Atau kita foto dulu sama kedua
mempelai baru setelah foto langsung pamit pulang?” saya mengajak kawan saya itu
untuk berfoto bersama dengan kedua pengantin terlebih dahulu.
“Nggak usah, ribet malahan, langsung
balik aja”
“Okey”
Kami berdua langsung pulang tanpa bertemu langsung dengan pengantin, meski hanya sekedar berfoto
bersama, dan mengucapkan selamat kepada pengantin baru. Dan kami pun memutuskan untuk makan siang di warung mie ayam, kemudian pulang dan tidur.
***
Tak ada maksud apapun, ketika kami,
terutama untuk saya sendiri, mengapa kami memutuskan untuk pulang lebih awal,
tanpa berfoto dan bertemu langsung untuk sekedar mengucapkan kata “selamat ya”
dan melafalkan doa-doa untuk kebahagiaan mereka berdua yang baru saja
diikat oleh ikatan pernikahan.
Kami menganggap bahwa kami sudah
terlalu lama di acara resepsi itu. Saya pun juga turut mendoakan untuk
kebahagian mereka berdua. Dan untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan
menuliskan kembali puisi yang sebenarnya akan saya sisipkan dalam kado
untuknya. Namun, karena beberapa alasan, hal itu saya urungkan. Dan dalam
tulisan ini saya coba tulis ulang, meski puisi itu sudah saya posting dalam blog pribadi saya.
Pengantar Kado
Tak ada kata-kata puitis, atau
syair-syair indah
Dan tak ada kata-kata manis untuk
mengiringi kado ini
Hanya ada jiwa dan raga yang senantiasa
terus hidup dalam pengharapan
Harapan yang pernah putus, dan berubah
menjadi keputus-asaan
Ah sudahlah,
Kini semua itu hanya menjadi sebuah
kenangan
Iya, kenangan yang bisa saja muncul
tiba-tiba
Ia datang seperti pemberontak yang
dalam diamnya ternyata sedang menghimpun kekuatan
Kekuatan untuk menyerang secara
tiba-tiba
Dan aku sempat dihantui oleh kenangan,
Kenangan manis yang ternyata berujung
pahit
Tapi sudahlah, aku hanya ingin berdamai
dengan masalalu
Karena bagaimana pun juga, masalalu
telah mengajariku apa itu setia,
Meski dengan cara menderita
Kini engkau sudah bahagia
Dan aku juga bahagia dengan diriku
sendiri
Dan hanyaada sebuah kado yang diantar
langsung oleh seorang “Sahabat”
Yang datang untuk turut mendoakan, agar
kalian menjadi keluarga yang bahagia.
Sekali lagi, Selamat Berbahagia
Dari Sahabatmu
Boyolali, 14 Mei 2016