![]() |
Ilustrasi Gambar |
Sabtu kemarin, saya harus sedikit
merelakan waktu libur, untuk “mengotori tangan” dengan pekerjaan kantor. Iya,
hari Sabtu yang sejatinya adalah hari libur, namun sabtu kemarin saya harus ke
kantor untuk lembur. Sama sepertinya dengan kamis ini, disaat ada beberapa karyawan yang mulai "serakah" dengan menambah jatah libur dengan mengambil cuti tahunan, saya harus rela mengurangi jatah long weekend karena ada overtime.
Suasana kantor kala itu sangat sepi, karena
tidak semua karyawan lembur. Saya pun memilih pulang lebih awal, karena saya
harus pulang ke Sukoharjo. Saya yang kini hidup di Boyolali, tidak akan
membiarkan rumah di Sukoharjo yang sepi itu, semakin sepi. Jadi, setiap
seminggu sekali saya akan menyempatkan untuk menengok rumah, meski hanya
sekedar mampir.
Pulang dari kantor, saya tidak
mampir-mampir dulu untuk sekedar ngopi bersama rekan kerja di sebuah warung
yang terletak di dekat tempat kerja. Saya hanya mengirim pesan singkat kepada
kerabat saya yang kebetulan selama bekerja di Boyolali, saya menumpang di rumah
kerabat saya tersebut. Bahwa saya akan langsung puang ke Sukoharjo, sepulang
kerja.
Dari kantor, saya langsung mampir di
SPBU untuk mengisi bensin, sekaligus mengambil sejumlah uang di ATM yang juga
terletak di area SPBU. Kemudian memacu motor menuju Sukoharjo.
Tidak biasanya, kali ini saya pulang
ke Sukoharjo lewat pertigaan tugu Kartasura, kemudian melewati kawasan
industri; Tyfountex, kemudian melewati lorong underpass Makan Haji, yang dulu sempat berubah menjadi (seperti)
area pemancingan, karena masih ada genangan air saat hujan lebat.
Saya berencana mampir di sebuah
warung mie ayam yang sudah lama tidak saya kunjungi. Kalian yang pernah tinggal
di Solo, pasti mengenal, atau setidaknya pernah mendengar warung mie ayam dengan
sebutan “mie ayam pocong”. Warung mie ayam ini terletak di pinggir kota Solo,
yaitu di daerah Pajang, Laweyan, Solo, lebih tepatnya di dekat tugu lilin.
Warung mie ayam yang sebenarnya bernama
Warung Mie Ayam dan Bakso Tugu Lilin ini, sekilas nampak seperti warung pada
umumnya. Warung ini selain menjual mie ayam, juga menjual bakso. Namun, yang
terkenal di warung ini adalah mie ayam-nya. Warung ini selalu ramai oleh pembeli. Selain terkenal
akan rasanya, mie ayam ini juga terkenal dengan “bumbu-bumbu” mistisnya.
Konon, warung itu selalu ramai, dikarenakan
sang pemilik warung mempunyai pesugihan.
Warung itu dihuni oleh makhluk yang tak kasat mata, yaitu pocong. Iya, pocong
yang merupakan hantu yang seperti kita ketahui dari film-film horror Indoensia.
Pocong merupakan hantu yang seperti mayat yang dikafani. Pocong bergentayangan
karena ketika dikubur lupa dilepas talinya.
Terlepas dari benar dan tidaknya
cerita itu. Konon, orang yang duduk dan makan di sana, akan merasakan enak,
karena ketika sedang duduk dan makan di sana, mereka sedang di pangku oleh
pocong. Dan mie ayam akan menjadi tidak enak, jika dibawa pulang. Kesan mistis
juga nampak, ketika ada taburan bunga dan di salah satu sudut warung ada sebuah
wadah air, yang konon sebagai tempat air liur pocong.
“Monggo. . . monggo. . . monggo!” Begitulah teriakan sang penjaga warung, sambil meracik
bumbu-bumbu mie ayam dalam mangkuk-mangkuk yang sudah tertata. Ada cerita,
bahwa teriakan “monggo” yang dalam
bahasa Indonesia adalah untuk mempersilakan tamu yang baru datang, itu
ditujukan kepada pocong-pocong yang tak kasat mata. Secara sengaja saya juga
pernah mengamati perilaku itu ketika sedang jajan di warung mie ayam itu. Dan
benar! Penjaga warung ada berteriak “Monggo
. . .monggo. . monggo” padahal kala itu warung masih sepi dan tak ada
pengunjung yang ingin masuk ke warung itu.
Saya sendiri mengetahui keberadaan
mie ayam pocong ini atas cerita dari dosen saya, ketika sedang mengikuti mata
kuliah psikologi periklanan. Dan karena rasa penasaran, saya bersama
teman-teman kuliah pun langsung menuju ke TKP. Sekilas, tidak ada yang istimewa
dari warung mie ayam itu, karena warung itu seperti warung mie ayam pada
umumnya. Warung dibawah tenda terpal, dengan dua meja panjang tempat menaruh
makanan untuk teman menikmati mie ayam ataupun bakso, seperti; gorengan,
kerupuk, serta rambak. Namun, warung itu selalu ramai oleh pembeli. Soal rasa? Ya setelah pertama
kali datang hanya karena rasa penasaran. Setelah itu, setidaknya sudah empat
kali saya jajan di warung mie ayam itu.
Dan kedatangan yang kali ini, berarti
sudah yang kelima kalinya, saya ke warung ini. Setelah keluar dari macetnya
lalulintas di lampu merah sebelum tugu lilin, saya pun ambil kanan sedikit dan
memarkirkan sepeda motor tepat di sebelah warung mie ayam yang terlihat sudah
ramai itu. Beruntung, ada Mas-mas juru parkir yang membantu saya untuk
memarkirkan motor. Dalam hati saya sempet mbatin
“Ini warung kaki lima, tapi saking
ramainya sampai ada juru parkirnya”
Saya memesan satu porsi mie ayam dan
segelas es jeruk. Kemudian menempati tempat duduk kosong, setelah ada pelanggan
yang sudah selesai makan. Tak menunggu lama, pesanan saya pun datang, satu
porsi mie ayan dengan bumbu “mistis” itu, kemudian disusul dengan segelas es
jeruk. Saya kemudian menambahkan sedikit sambal serta saus untuk membuat mie
ayam tersebut semakin mak nyus.
Semangkuk mie ayam yang berbeda
dengan mie ayam lainnya. Tentu lebih enak, terutama tekstur mie yang pas
menurut saya, tidak terlalu lembek, dan sudah matang. Selain itu, mie ayam itu
juga memiliki kuah yang sedikit pekat dan kaya akan bumbu.
Saya mengambil sebungkus rambak,
untuk menciptakan irama kemriuk untuk
menambah nikmat mie ayam tersebut. Dan menghabiskan mie ayam tanpa malu ketika
menyruput kuahnya sesendok demi sesendok.
Persaingan Bisnis
Label mie ayam pocong yang ditujukan
kepada warung mie ayam dan bakso tugu lilin ini, menurut informasi yang saya
dapatkan dikarenakan, adanya persaingan bisnis. Warung mie ayam yang selalu
ramai membuat pesaingnya melakukan langkah-langkah picik, seperti menyebarkan
isu tentang pocong dan memberikan label mie ayam pocong. Namun, hal itu tidak
membuat warung semakin sepi, justru orang semakin banyak yang penasaran
keberadaan mie ayam pocong itu sendiri. Seperti halnya dengan saya, karena
cerita dari dosen, saya pun justru mulai penasaran dan langsung ingin
mengunjungi warung mie ayam itu. Pertama saya hanya ingin mengobati rasa
penasaran saya. dan kedua saya ingin menikmati apakah mie ayam yang sudah
terkenal itu benar-benar enak. Dan hasilnya, sudah lima kali saya mengunjungi
warung mie ayam itu.
Dan kalau boleh jujur, bukan label
halal yang membuat saya ingin menikmati mie ayam itu, tapi justru label pocong.
Kuliner dan Mistis
Kuliner dan mistis. Adalah dua hal yang
sebenarnya sulit untuk bisa dipadukan, mengingat mie ayam bukanlah sesajen dalam sebuah ritual. Namun,
sebagai seorang pengusaha kuliner sang pemilik warung tahu betul, bahwa yang
terpenting dalam bisnis kuliner adalah masalah rasa. Isu pocong membuat
orang-orang mulai penasaran dan mencoba untuk menikmati mie ayam di warung itu.
Kemudian, bagaimana caranya agar orang-orang yang awalnya datang ke warung itu hanya
karena penarasan, kemudian bisa datang lagi? Tentu dengan “mengikatnya” dengan
suguhan rasa mie ayam, dengan potongan ayam yang sedikit besar untuk ukuran
satu porsi mie ayam, kemudian rasa khas dari kuah mie ayam itu sendiri. Ingat
yang berbicara dalam bisnis kuliner bukanlah klenik, tapi rasa. Karena tidak mungkin orang akan bilang “makan mie ayam di sana saja, di sana ada
pocongnya lho” saya yakin tidak mungkin!
Kemudian tentang isu makanan yang
dibawa pulang akan tidak enak? Saya kira makanan apapun akan menjadi tidak
senikmat dan seenak jika di makan di warung. Karena kalau dibawa pulang tentu
akan membuat makanan menjadi tidak senikmat jika segera dinikmati selagi masih
mengepulkan asap panas. Apalagi mie ayam, yang jika terlalu lama bisa
mengembang. Dan saya kira hal ini bisa dijelaskan dengan logika waras kita lah.
Rejeki tidak bakal kemana
Mie ayam pocong tugu lilin ini adalah
sebuah contoh, bahwa rejeki tidak mungkin tertukar. Dan urusan rejeki, bukanlah
urusan manusia. Manusia hanya berusaha, sedangkan hasil, Tuhan yang menentukan.
Warung mie ayam yang ramai, kemudian diisukan memiliki pesugihan dengan adanya
pocong di warung mie ayam itu, bertujuan agar warung menjadi sepi, tapi
ternyata? Alam berbicara lain, isu-isu itu justru membuat orang-orang yang
mulai penasaran, malah bekunjung ke warung mie ayam itu. Dan karena rasa,
kemudian mereka justru menjadi pelanggan warung mie ayam dengan “bumbu” mistis
tersebut.
Dan inilah sebuah contoh, bahwa
ternyata apa yang sebenarnya menjadi kelemahan, namun justru hal itu malah bisa
menjadi sebuah kekuatan. Penyebarluasan isu mie ayam dengan label pocong yang
dilakukan secara massif dan struktur oleh lawan bisnis, ternyata justru memberikan manfaat bagi pemilik warung
mie ayam tugu lilin. Bisa dibilang hal itu adalah bentuk iklan secara gratis
untuk memperkenalkan warung mie ayamnya, meski itu dengan cara yang negatif.
***
Setelah selesai makan, kemudian ada
pelanggan yang datang, saya pun kemudian sedikit merasa terusir mengingat
warung yang masih ramai, namun, pelanggan masih terus berdatangan. Setelah
membayar, kemudian saya melanjutkan perjalanan pulang saya ke Sukoharjo.