catatan : tulisan ini bukan ngajak
serius karena yang nulis ndak pernah seratus persen serius :D
AADC
(Ada Apa Dengan Cinta) bukan (Ada Apa Dengan Civil War) ya Ded, lagi happening. Bagi yang pernah nonton AADC
1 pasti penasaran gimana kelanjutan ceritanya setelah lari-lari di bandara,
atau penasaran gimana Geng Cinta sekarang,
atau malah penasaran gimana gantengnya Rangga sekarang? Tuh kan jadi baper akhirnya. Film ini memang salah
satu pendobrak kejayaan film indonesia karya Miles selain sebelumnya ada
Petualangan Sherina, maka ndak heran kalau kala itu film ini menjadi Box Office. Akan tetapi, kali ini saya
bukan mau menulis resume atau
pengalaman saya nonton AADC 2 karena saya mau membahas keterkaitan film ini dengan
penjamin kesehatan. Lhahh....kok jauh
amat yaa??? Kan sudah saya bilang, yang nulis ini tidak seratus persen serius,
hee.
Penjamin
kesehatan seperti as**s atau saat ini sudah berganti semua menjadi bp**
tentunya sudah bukan hal yang tak asing lagi. Banyaknya komplain sana sini soal
penjamin ini juga sudah bukan barang baru lagi. Akan tetapi, saya tertarik
menulis topik lama ini karena percakapan gokil saya dengan beberapa orang teman
saya, sebut saja mereka Siti dan Sapti (bukan nama sebenarnya). Kami bertiga
adalah orang-orang yang termasuk sebagai penggemar AADC versi 2002, tapi ketika
bulan ini AADC 2016 sudah rilis, kami tidak segera begitu saja menontonnya,
alesannya? Simpel saja : pengen ngirit, bukan
berarti kami tidak mencintai produk sineas dalam negeri tetapi ada banyak hal
yang melatarbelakanginya, salah satunya penjamin kesehatan ini, lho kok bisa?
Siti :
“ aku ameh nonton sing
versi lepine wae”
Saya
dan Sapti :
“lha kok?”
Siti :
“ak mumet. Ternyata bp**
bikin rugi bandar, pengeluaran bahan dan tenaga gak sesuai. Bahan tambal gigi
regane 390 ribu yang paling murah, bisa untuk kira-kira 10 pasien nak nambal e
cilik-cilik. Kui lagi campuran serbuk mbi liquid e. Durung handpiecenya, durung
polish, dental chair, dan jasa tenaga dokter belum dihitung, tapi pasien hanya
diminta bayar 2000 setiap tambal gigi.” “pie meh nonton AADC di bioskop?”
Sapti :
“waaah....isih mending
aku...aku mung modal steteskop karo ngguyu, meski nak meh ngasih resep obat
yang bp** ora tega mbi pasien.”
Saya
jadi teringat dengan kejadian di tahun lalu saat ibu saya harus menjalani
operasi yang kedua karena operasi pertama membuat pen di tangan ibu saya
patah. Kita berinisiatif untuk pindah rumah sakit dari RS x ke RS y agar
mendapatkan layanan yang lebih baik, karena saya nggak mau ibu saya dapat
penanganan yang sak-sak ‘e. Akan
tetapi, ternyata sistem bp** ini mengekang segalanya. Saya harus mengurus dulu
perijinan dari rumah sakit tipe B dulu yaitu RS z baru bisa ke tipe A,
itupun bukan hal yang diloloskan begitu saja. Saya sempat diberi wejangan dulu
sama petugas bp** sampai satu jam-an tentang tidak benarnya apa yang saya
lakukan. Saya seharusnya tidak boleh langsung meminta ganti rumah sakit jika
rumah sakit sebelumnya tidak memberikan rekomendasi. Akan tetapi, mengingat
saya orangnya ngeyel akhirnya saya
menantang petugas dengan bilang, “mbaknya
mau tanggung jawab kalau ibu saya operasinya gagal lagi?” “sekarang lebih baik
mbaknya menghubungi petugas yang ada di rumah sakit tujuan saya saja dulu, bisa
apa nggak.” Tentu saja petugasnya sewot
sama saya. Setelah proses menunggu lama, akhirnya saya dapat juga tanda
tangan dari bp** persetujuan pindah rumah sakit. Bener-bener ribet.
Pengalaman-pengalaman
di atas mungkin hanya seperti lembaran abu-abu dari sistem penjamin kesehatan
ini. Tujuan utama dari penjamin kesehatan memang sungguh mulia, yaitu memberi
biaya pengobatan murah kepada yang membutuhkan dengan cara subsidi silang. Akan
tetapi, mungkin yang punya gawe penjamin
kesehatan ini lupa bahwa negara ini terdiri dari banyak elemen dan pihak.
Elemen terpenting dari penjamin kesehatan tentunya adalah warga yang tidak
mampu, seperti halnya ketika akan menambal jalan, maka dilihat dulu dimana
lubangnya. Namun, setelah menambal lubang tentu kita butuh pasir dan aspal
sebagai penyangga jalan aspal yang baru. Ketika ingin memberikan jaminan
kesehatan bagi yang membutuhkan janganlah kemudian melupakan elemen stakeholder yang memberi jasa kesehatan, karena dimana-mana yang ada di lapangan itu pegawainya bukan bos yang ada
di kantor.
Stakeholder juga manusia yang punya kebutuhan,
keterbatasan pikiran dan tenaga, mereka tentunya tidak mau jika harus rugi bandar terus menerus. Semua hal ada batasannya, seperti halnya motif moral equality “scratch my back and I will scratch yours”. Jika tidak
mau rugi bandar maka pada akhirnya semua perlengkapan, obat-obatan, dan
penanganan akan disesuaikan dengan yang mampu tercover oleh penjamin kesehatan, dan pada akhirnya seperti yang
dialami ibu saya, pen harus patah duluan sebelum tulang menyambung sempurna.
Kita sebagai pasien hanya bisa legowo
dan jika mau mendapat penanganan maksimal mau tak mau pindah rumah sakit dan
biaya tambahan pasti akan menanti, itupun masih harus melalui proses yang lama
dan ribet. Proses yang ribet tentu akan memberi dampak negatif seperti
kesewotan petugas atau ketidaksabaran keluarga pasien seperti saya.
Maka
dari itu, seyogyanya penjaminan ini perlu dikaji kembali lebih menyeluruh.
Jangan seperti buah simalakama, karena ingin mensejahterahkan rakyat tapi
menutup mata untuk proses yang lain. Kalau mau mengaspal jalan ya habis menutup
lubang jangan lupa bikin penyangga yang kuat juga, jangan sampai jalan yang
diaspal hanya bisa awet paling lama satu tahun. Proyek lagi dan proyek lagi.
Gimana
mau nonton AADC 2 yang Ori?