Membaca Riki dalam postingan terakhir lobimesendotkom
mengingatkanku akan suatu cerita. Hmm, pasti pembaca sudah menebak cerita ini
nanti akan serupa. Tepat. Memanglah tema ceritanya sama: memenuhi undangan.
Jangan ketawa, ini cerita sedih. Serius, ini cerita sedih!
Ceritanya, konon ada seseorang bernama Yuri datang ke sebuah
pesta pernikahan.
Kisah ini terjadi tepat setahun lalu lebih beberapa hari. Yuri
berjuang memenuhi sebuah janji pada dirinya sendiri. Sebulan sebelum, ia menerima
sepucuk surat undangan dengan bentuk unik. Lelaki berkulit gelap itu
menerimanya lewat seorang teman yang tahu-tahu nongol di lorong kos Yuri.
Sebenarnya firasat Yuri sudah tidak enak waktu melihat temannya itu.
“Bentar, aku tahu kamu kesini mau apa,” ujar Yuri.
Lelaki itu berhenti. Terdiam. Bibirnya menganga-nganga,
seperti akan mengatakan sesuatu. Namun sebelum kata-katanya keluar, Yuri sudah
menimpali.
“Bawa pulang!” ujar Yuri dalam bahasa Jawa.
Sang Kurir diam. Matanya berkedip-kedip cepat. Yuri akhirnya
kasihan melihat lelaki dengan rambut disisir tengah itu. ia tahu temannya itu
tidak salah. Meskipun dalam hati ia sangat marah dan ingin sekali memukul Sang
Kurir Undangan itu untuk melampiaskan kekesalan. “Mana bendanya?” tukas Yuri.
“Benda apa?”
“Udah gak usah berlagak bodoh,” Yuri tambah kesal.
Sang Kurir lalu mengeluarkan undangan berwarna biru putih
itu. Yuri langsung menyambarnya dan... (adegan berikutnya tidak boleh
ditampilkan, karena mengandung unsur kekerasan terhadap benda mati).
Yuri kembali dari lamunannya ke masa sekarang. Pagi ini ia bersama
tiga orang teman mencegat bis AKAP di halte bus kampus (yang katanya) World
Class University. Bis berwarna abu-abu mereka cegat dan tiga jam kemudian
mereka sampai di Kota A. Destinasi sebenarnya masih di kota B yang berjarak
kurang lebih tiga jam dari Kota A. Bila kecepatan bis 90km/jam, berapa energi
yang dibutuhkan Yuri untuk menahan sesak dalam hatinya?
Di kota A, Yuri dan ketiga kawannya sarapan di warung dekat
terminal. Mereka transit sejenak untuk mengisi perut dan khusus buat Yuri:menata
hati. Ia mengirim pesan kepada sahabatnya untuk mendoakan. Hari ini ia akan
menyelesaikan semua yang telah ia mulai. Yuri akan bertarung habis-habisan
dengan egonya.
Bis ke kota B tidak begitu banyak dan hanya seperti bis
lintas desa. Kecil dan penumpangnya yang bejubel hingga keluar pintu membuat
siapa saja yang melihat menelan ludah. Yuri berpisah dengan ketiga temannya
yang naik bis mini itu. Lelaki yang kemarin memlontosi rambutnya itu sudah
berjanji akan datang bersama sahabat-sahabat satu kampusnya.
Ia dijemput dengan mobil abu-abu oleh Kirin dan Dias.
Dalam mobil mereka bercanda dan tertawa karena yang
terdengar dari speaker adalah lagu galau semua. Sepuluh menit perjalanan
lagunya sudah tentang melepaskan. Lagu berikutnya tentang patah hati. Yuri geli
mendengar playlist Kirin yang seperti
sudah disiapkan khusus untuknya.
“Ini gak ada lagu lain apa?” protes Yuri.
“Lagunya mengerti suasana hatimu Mas,” ujar Kirin sambil
terkekeh.
Dias ketawa.
Suara Avril Lavigne dan (mantan) suaminya Chad Kroeger
terdengar merdu. Meskipun tidak menenangkan, lagu itu merasuk ke dalam hati
Yuri. Hatinya yang kala itu entah sedang memroduksi perasaan apa. Lewat
senandung kecil mengikuti lirik lagu Let Me Go ia coba alirkan perasaannya.
Love there was hung on
the wall
Used to means
something but now it means nothing
The echo’s are gone in
the hall
But i still remember
the pain of December
Oh there isn’t one
thing left here to say
I’m sorry it’s too
late
Mobil pun berhenti di sebuah rumah bergaya serba putih. Mereka
mampir ke tempat pacarnya Kirin dulu untuk bersiap. Yuri, mengenakan kemeja
kotak-kotak kesayangannya. Kirin dan Dias berdandan rapi dengan kebaya dan
stelan gaun khusus njagong. Sementara
Edo, pacar Kirin mengenakan batik lengan panjang. Mereka lalu berangkat sekitar
jam 9. Perjalanan panjang menanti mereka.
Perjalanan kali ini
adalah perjalanan hati, batin Yuri.
Memanglah Yuri sudah sebulan ini menyiapkan hati dan mental
untuk menghadiri undangan sahabatnya yang sempat memberi arti sebuah ikatan. Sebuah
ikatan yang belum pernah Yuri rasakan sebelumnya. Entah mengapa ikatan yang
sekuat itu Yuri pertahankan malah lepas. Memanglah benar sesuatu akan lepas
bila terlalu erat menggenggamnya.
Dalam perjalanan ia terus memandangi Kirin dan Edo yang
bercanda mesra. Menatap bahwa ia tidak bisa seperti itu lagi bersama sahabatnya
yang hari ini menikah. Yuri duduk di kursi belakang bersama Dias. Perempuan
yang membalut dirinya dengan baju pink itu tiba-tiba memperlihatkan ponselnya.
“Titip Mas Yuri ya, kata Miki,” ujarnya.
“Oh lagi chat sama kamu?”
“Iya. BBM,”
Udah mau meledak ini,
ujar Yuri dalam hati. Yuri kala itu tidak sadar bahwa dirinya diperhatikan
benar-benar oleh teman-teman seperjalanannya. Kirin dan Dias berusaha agar Yuri
tidak ‘menggila’ dalam momen bahagia itu. Sekuat tenaga Yuri mencoba menahan
seluruh desing, debur, deru, dan de de de lainnya yang berproduksi dengan cepat
dalam hatinya. Terus berzikir dan memohon benar-benar kepada Tuhan agar
mendapatkan kekuatan.
Miki, yang tidak bisa hadir kala itu juga nitip salam untuk
mempelai. Sebenarnya Miki, Kirin, dan Dias adalah sahabat karib mempelai
perempuan. Yuri merasa beruntung bisa bareng mereka melewati batu demi batu,
lubang demi lubang dalam perjalanan ke Kota B yang ternyata jalannya lumayan
bersifat off road. Ketiganya paham
Yuri sangat ingin datang ke pernikahan sahabat mereka. Dan mereka juga tahu
Yuri butuh teman untuk itu.
Sampailah di tempat acara.
Yuri dan Kirin cs menanti pengantin keluar dari ruang rias.
Akad nikah sudah berlangsung pagi tadi jam 8. Mereka datang sekitar jam 12
siang saat resepsi. Yuri mengambil segelas sirup yang entah rasanya apa karena di
lidahnya terasa hambar. Hidangan tersuguh di mana-mana dengan warung-warung
kecil di setiap menunya. Yuri dan lainnya mencari tempat duduk setelah
mengambil beberapa minuman.
Tidak lama mempelai pun keluar.
Mempelai pria mengenakan baju ungu semi abu-abu dan rangkaian melati
terkalung di lehernya. Musik pun disetel dan para tamu undangan berdiri untuk
memotret upacara itu. Sang mempelai pria disambut mempelai wanita lalu berdua
naik menuju pelaminan. Yuri melihat tiga teman sebisnya tadi pagi yang sudah berdandan
rapi, muncul dari ruang ganti.
Sesi foto-foto pun tiba.
Yuri, Kirin, Dias, dan Edo mengantri untuk bersalaman dengan
mempelai. Degup jantung Yuri berpacu. Lebih kencang daripada jet tempur Amerika
yang akan menggempur Irak atas nama misi perdamaian. Semakin kencang dan semakin
kencang. Saat ia naik tangga pelaminan rasa sesaknya tertahan karena harus
menyalami orang tua mempelai wanita.
Mereka bersalaman. Semakin dekat dengan mempelai degup
jantung Yuri semakin jauh dari degup jantung manusia biasa. Yuri disambut tawa
mempelai pria yang tanpa diduga memeluk dan mengucapkan terima kasih. Yuri balas
memeluk dan menyalami lalu tersenyum mengucap selamat. Saat akan menyalami
mempelai perempuan Yuri menelangkupkan tangannya di depan dada.
Sang mempelai wanita tidak memandang Yuri dan sibuk berkelakar dengan ketiga temannya
bergantian. Yuri merasa tidak dianggap. Seluruh perasaan yang membuncah tertahan. Yuri menatap mempelai wanita dengan... ah sudahlah tidak usah
diteruskan. Sang mempelai wanita mengajak Kirin dan Dias berfoto namun mempelai
pria bilang nanti saja. Yuri menurut dan segera menyalami orang tua mempelai
pria lalu turun.
Tanpa ia sadari ternyata ketiga temannya jadi berfoto.
Yuri kesal dan menunjuk-nunjuk tiga temannya sambil berkacak
pinggang di depan pelaminan. Mereka duduk kembali setelah satu sesi foto tanpa
Yuri. Kirin cs mengambil makanan dan hidangan lainnya. Yuri bergabung dengan
teman-teman satu bisnya tadi, yang ternyata belum berfoto.
“Mas Yuri ayuk foto,” ajak salah satunya.
Yuri tanpa diminta berdiri mengiyakan. Ia tadi belum foto,
ya sekarang harus foto dong!
Kembali adegan tadi berulang dengan tiga pemain yang
berbeda. Yuri menyalami, memberi selamat dan sebagainya. Di naik pelaminan yang
kedua ini Yuri disuruh mempelai pria untuk mencabut melati. Yuri dan ketiga
temannya kebingungan karena mereka merasa itu tidak sopan. Tapi kedua mempelai
sepertinya sangat bersemangat agar melati mereka diambil.
Mantennya aja yang diambil boleh gak?
Mantennya aja yang diambil boleh gak?
Belum selesai kebingungan mereka, fotografer sudah menyuruh
untuk berfoto.
Mereka berfoto dan sesi bersalaman pun terulang.
Mempelai wanita masih tidak menatap Yuri ketika lewat di depannya. Entah apa
yang dirasakannya kala itu. Yuri dan ketiga temannya turun. Mereka kembali ke
tempat duduk. Yuri mengambil napas panjang. Hari itu sangat panas dan tempat
yang disediakan pun sudah penuh dengan tamu.
Tidak lama seseorang yang terkenal kelucuannya di antara
kami pun datang.
“Hei Mas!” sapa Ray dari kejauhan.
Yuri mendengar suara yang akrab di telinganya. “Hei,” Yuri menyalaminya.
“Piye Mas sudah salaman dengan mempelai wanita belum?”
Asem, umpat Yuri
dalam hati. “Udah. Dua kali malah,” ujarnya.
“Lho, udah foto?”
“Udah.”
“Wah kalau gitu ayo foto lagi temenin aku,” ujar Ray.
Yuri tidak punya pilihan lain. Ia naik pelaminan lagi, salaman
lagi, ditawari melati lagi dan turun lagi. Masih sama tidak ada beda dari
mempelai wanita saat Yuri lewat di depannya: mengalihkan pandangan. Yuri merasa
ada yang mengganjal. Bagaimana pun hari itu, Yuri bertekad menyelesaikan urusan
perasaannya.
Mereka lalu kembali ke tempat duduk. Bersama Kirin cs. Mereka
terlihat sedang menikmati hidangan. Ray yang selalu bersemangat untuk makan
lalu mengambil hidangan. Dias dengan suaranya yang lembut berkata, “Mas Yuri
gak makan?”
Yuri menggeleng.
Ia merasa tidak ada yang bisa dimakan. Jika bisa ia ingin
segera pergi dari tempat itu dan berteduh dari panas siang itu yang melebihi
biasanya. Berteduh demi hatinya yang sudah tidak sanggup lagi menahan luapan
rasa. Beruntung kemudian ada yang mengajaknya untuk shalat. Ketiga teman
sebisnya tadi, sebut saja Ersi, Iman dan Deri.
Mereka shalat di masjid terdekat –yang ternyata cukup jauh
kalau jalan kaki.
Yuri mengimami. Ia meluapkan rasa dalam hatinya yang entah
namanya apa. Pokoknya Yuri ingin meluapkan itu semua kepada Tuhan. Dalam hati
ia sudah ingin sekali mengakhiri episode hari itu dengan satu tindakan. Satu
tindakan yang akan membuatnya lega dan tidak akan memikirkan pernikahan itu
lagi dan karena Yuri berhasil menaklukkan ketakutannya.
Akhirnya ia putuskan untuk kembali ke tempat resepsi, namun
kali ini di luar.
Edo terlihat sedang merokok di parkiran jadi Yuri
memiliki alasan untuk tinggal. “Aku di sini saja nemenin Mas Edo,” ujar Yuri
kepada Ersi, Iman, dan Deri.
“Kamu gak makan beneran?” tanya Edo.
“Gak Mas, gak ketelen,” jawab Yuri.
“Aku tahu perasaanmu. Baru pertama kali ya?”
“Iya.”
Dan gak pengen ada
yang kedua kali, lanjut Yuri dalam hati.
Akhirnya Yuri mendapatkan pertolongan. Edo sepertinya juga
sudah ingin balik karena waktu juga sudah menjelang sore. Dia mengajak Yuri
masuk untuk pamit. Kirin cs sedang menunggu dan menyantap beberapa hidangan
penutup. Mereka berempat pamit kepada kedua mempelai.
Aduh, erang Yuri
dalam hati, mengapa salaman sama mereka
lagi.
Tapi dalam sisi hati Yuri yang lain, memaksanya untuk mau
kembali menaklukkan ketakutannya. Ia kali ini harus mendapatkan perhatian
mempelai wanita bagaimanapun caranya. Ia putuskan untuk pamit berbarengan dan mencoba
bersalaman dengan mempelai wanita untuk yang keempat kalinya. Kali ini ia harus
berhasil mencuri perhatian mempelai wanita dan menyelesaikan semuanya.
Saat berada di depan mempelai wanita, Yuri tidak langsung
ngeloyor. Ia menunggu mempelai wanita selesai mengucapkan terima kasih kepada
tiga temannya. Detik berikutnya ia mengangkat tangannya setinggi perut. Mengepalkan
tangan dan menatap sungguh-sungguh perempuan di depannya. Sang mempelai wanita
mengerti, meskipun tidak melihat wajah Yuri ia memberikan tangannya dan melakukan tos
tinju. Yuri menghela napas lega. Ia turun dari pelaminan dengan bersemangat.
Saat menuju parkiran, Yuri menoleh ke belakang untuk
terakhir kali dan tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Mendoakan dalam hati
agar kedua mempelai selalu dalam lindungan Allah, diberkahi dunia atas
pernikahan mereka. Ia pun pulang bersama Kirin cs. Yuri meminta diturunkan di
bundaran jalan besar yang tadi sempat mereka lewati. Ia akan pulang bersama
Ray, Ersi, Iman, dan Deri. Pulang ke kota asalnya karena Kirin cs tinggal di
Kota A.
Kirin cs sempat cemas ketika Yuri berjalan turun dari mobil.
Ia tidak mau ditemani. Yuri ingin sendiri. Bagaimana pun
sudah cukup momen itu untuk Yuri. Ia lapar. Dari kejauhan ia melihat warung
bakso di perempatan dan memasukinya. Yuri makan. Selang beberapa menit mobil
Kirin cs muncul lewat di depan warung bakso dan semua jendelanya terbuka.
Mereka mencariku,
batin Yuri.
Ia melambaikan tangan dan menunjuk-nunjuk mangkok bakso. Dias
dan Kirin tampak menghela napas dan Edo memberi isyarat buat pulang duluan. Lelaki
yang sedang menelan baksonya itu mengacungkan jempol dan tersenyum. Entah kelihatannya
senyum getir atau senyum apa. ia makan bakso dengan perasaan enggan dan hanya
memenuhi perutnya yang sebah.
Yuri menghabiskan sisa baksonya. Ia menghubungi Ray dan
meminta untuk menjemput di bundaran. Kurang lebih 20 menit kemudian driver
mobil kijang itu memberi kabar bahwa mereka di SPBU dekat bundaran. Yuri
membereskan tasnya, membayar bakso lalu pergi.
Mobil kijang sudah menunggu Yuri. Saat masuk ketiga temannya
menyambut dengan ceria. Ersi yang terkenal dengan ejekan pedas (nan jujur)
menyapa sambil ketawa. Sementara Iman dan Deri yang baru saja kenal dengan Yuri
tidak berkomentar. Mereka tidak tahu bahwa Yuri hari itu adalah tokoh yang
benar-benar dipertanyakan kehadirannya.
“Mas aku tadinya sudah niat mau ngeledekin kamu, tapi aku
jadi tidak berani,” ujar Ray.
“Niatmu jelek,” balas Yuri.
Selang beberapa menit Yuri mendapatkan telpon dari Miki. Ia
tidak menunggu untuk menerima telpon itu. Yuri benar-benar ingin melampiaskan
rasa kesalnya. Kontan saat menerima telpon dan di seberang Miki bertanya kabar,
lelaki yang baru saja memenuhi undangan itu menjawab, “Super Saiya level 10.”
Warning: Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kemiripan nama atau kesamaan tokoh, itu hanya perasaanmu saja.