![]() |
Sumber Gambar |
Sore itu, ada pekerjaan yang harus
segera saya selesaikan. Sebenarnya itu bukan pekerjaan saya, namun naluri
sebagai asisten pribadi seorang PNS masih saja timbul ketika bulek saya
kesulitan membuat laporan pertanggung jawaban, atau sering disingkat LPJ.
Pekerjaan yang awalnya saya kira akan menghabiskan waktu berjam-jam, ternyata
hanya sekitar satu jam lebih sedikit, LPJ itu selesai dan tinggal di edit lagi jika masih ada perubahan.
Sebagai imbalan, sore itu saya
dibelikan gado-gado serta cemilan, dan biar nggak
seret, ditambah dengan es teh manis tentunya. Saya lantas berpamitan,
karena sore itu saya ada agenda ke Solo.
Beberapa hari yang lalu, kawan saya yang
kini sedang mempersiapkan diri sebagai Bapak, memberi kabar melalui pesan
Wasap, bahwa Sheila on 7 bakal menggelar konser di Solo. Pikir saya saat itu,
“Saya mungkin butuh sesuatu yang baru, tidak ada salahnya kalau saya jingkrak-jingkrak di lapangan sambil
ikut grememeng seolah menjadi backing vocal-nya Mas Duta”
Dan disaat yang bersamaan saya baru
menyadari, bahwa di kampus Mesen pada hari yang sama, juga ada pertunjukan
teater oleh dedek-dedek Mahasiswa psikologi UNS. Kemudian saya pun juga
sedikit serakah ingin menikmati semua pagelaran di Solo pada hari itu.
Saya menghubungi kawan saya yang
sekali lagi, sedang mempersiapkan diri menjadi seorang bapak, untuk
menanyakan pukul berapa lebih tepatnya, Sheila on 7 naik panggung. Menurut
informasi kawan saya, kemungkinan besar Sheila on 7 bakal naik panggung malam,
sehabis isya. Dan ketika saya bertanya mengenai kepastian waktunya jam berapa,
kawan saya belum bisa memberikan jawaban. “Saya tidak tahu pastinya, tapi
biasanya sehabis sholat isya, nanti saya coba tanya ke anak-anak Sheila Gank
Pandawa Lima Solo (sebutan bagi penggemas Sheila on 7)” begitu kira-kira
jawaban Wasap darinya.
***
Sehabis sholat magrib saya menggeber motor matic saya untuk pergi
ke Solo. Saya mampir sebentar ke SPBU untuk mengisi bahan bakar, serta mengambil
sejumlah uang di ATM yang letaknya masih di area SPBU.
Kemudian saya memacu motor matic saya
dengan kecepatan yang sedang-sedang saja. Dan terus menyelinap di antara
mobil-mobil yang penuh sesak ketika menunggu lampu traffic lamp berubah menjadi hijau. Perjalanan yang menurut saya
adalah perjalanan yang biasa saja. Tak ada hal-hal menarik yang saya dapatkan.
Lebih tepatnya, tidak ada lamunan-lamunan yang menginspirasi untuk kemudian di
ekseskusi di atas keyboard dan
menjadi sebuah tulisan. Iya, saya mempunyai kebiasan melamun ketika sedang
mengendarai motor. Dan banyak postingan saya adalah produk dari lamunan saya
ketika mengendarai motor.
Sekitar perjalanan 30 menit-an saya
sudah sampai di depan Bank Indonesia, dan saya melihat orang-orang penuh sesak
sudah mengantri di depan pintu Benteng Vastenburg. Saya tiba-tiba malas untuk
menonton konser Sheila on 7. Kemudian saya menuju ke kampus mesen. Di sana,
saya bertemu dengan adik-adik tingkat, mereka masih sama seperti yang dulu,
masih sibuk dengan game. Entah,
bagaimana nasib skripsinya, saya tidak berani untuk menyinggung hal itu. Karena
bisa jadi saya tidak bisa pulang dengan selamat ketika menanyakan skripsi pada
mereka.
Selang beberapa saat, datanglah dua
sejoli yang sudah beberapa kali saya singgung dalam tulisan saya. Iya, bos
kedai roti bakar lambemoo dan gebetannya Diandra. Nampaknya mereka
berdua ingin menonton pertunjukan teater.
Awalnya saya ragu ingin menonton
pertunjukan teater. Jujur, saya takut gagal paham. Konon, butuh pemahan yang
mendalam untuk melihat lebih jauh tentang apa yang hendak di sampaikan dalam
setiap adegan sebuah drama atau pertunjukan teater. Maklum lah, di rumah saya
sudah di “cekoki” dengan drama-drama yang tak bermutu, seperti si Boy dan
sinetron India, macam Utaran yang membuat para ibu-ibu lupa bikin makan malam
buat keluarganya.
Saya membulatkan tekad untuk
menontonnya, karena sekali lagi, “Saya sedang butuh sesuatu yang baru” batinku
kala memutuskan untuk membeli tiket pertunjukan teater. Meski sedikit sebal,
mengingat acara molor sekitar satu jam, karena dalam sebuah pamflet seharunya
dimulai pukul 19:00 namun entah mengapa pertunjukan baru dimulai pukul 20:00.
Setidaknya ini adalah penegasan bahwa budaya ontime masih dalam tahap wacana.
Asal kalian tahu saja, telat satu menit saja, karyawan saya bakal dapat jatah “sarapan”
dari saya.
Menikmati pertunjukan teater untuk pertama kalinya
saya memasuki gedung serba guna
mesen, bersama Bos “Lambemoo dan gebetannya Diandra. Ruangan yang gelap
dan nampak penonton sudah duduk rapi lesehan di tempat yang sudah di sediakan
oleh pihak penyelanggara.
Melihat dekorasi panggung yang
sederhana, namun tetap berusaha menghadirkan set tata panggung seolah dalam
sebuah warung pecel. Iya, pertunjukan dengan judul “Di Sebuah Jalan Kecil”
adalah pertunjukan teater dengan alur sebuah percakapan dalam sebuah warung
pecel.
Saya masih terus berusaha menyimak,
tentu hal ini saya lakukan agar saya bisa menangkap pesan yang coba di
sampaikan sutradara melalui pertunjukan teater. Namun, lagi-lagi saya gagal
paham dengan pertunjukan teater malam itu.
Pertunjukan teater malam itu diawali
dengan obrolan di sebuah warung pecel, antara karyawan, tante-tante genit,
orang yang sudah lanjut usia. Obrolan yang berusaha mengomentari, atau lebih
tepatnya mengkritisi tentang keadaan sosial saat ini.
Dan konflik dalam pertunjukan malam
itu adalah ketika seorang pemuda yang tidak membayar pecel yang sudah ia makan.
Kemudian terjadi percekcokan diantara mereka. Jujur saya terus berusaha membaca
alur cerita dalam drama malam itu. Dan saya salah. Tebakan saya bahwa pemuda
itu jujur adalah salah besar. Karena, pemuda yang tidak membayar pecel yang ia
makan adalah seorang penipu. Iya, penipu yang memanfaatkan rasa kasihan dari
orang lain.
Mungkin hal itu yang akan disampaikan
dalam pertunjukan malam itu. Bahwa sulit mencari orang yang jujur di zaman
sekarang ini. Karena masih ada orang yang justru menipu orang yang telah
mempercayainya, atau dengan kata lain berkhianat. Mungkin lho!
***
Ketika pertunjukan telah usai saya
segera bergegas, menuju panggung pertunjukan selanjutnya, yaitu menonton Sheila
on 7
Menonton Sheila,
Selesai duduk manis, menikmati sebuah
drama pertunjukan teater dari dedek-dedek mahasiswa psikologi UNS, saya
segera menuju ke benteng vastenburg Solo, untuk melihat konser gratisan
Sheila on 7.
Saya baru mendapat kabar dari kawan
saya, bahwa masih ada waktu dan kemungkinan penggawa Sheila on 7 belum naik ke
panggung saat pertunjukan teater selesai. Dan benar! Ketika saya menuju lokasi
tempat Sheila on 7 manggung, penonton nampak sudah mulai memudar, terlihat
lebih longgar daripada sore hari ketika saya melintasi jalanan depan Bank
Indonesia.
Saya langsung memarkirkan sepeda
motor, kemudian mulai antri masuk ke lokasi. Hanya bermodalkan SIM saya
langsung dipersilakan masuk. Konser malam itu gratis tiket masuk. Maklum,
konser malam itu di sponsori oleh produsen rokok. Jadi ya, yang masuk harus
diatas 18 tahun.
Malam itu adalah kali kedua saya
menonton konser Sheila on 7, pertama kali saya menonton konser adalah ketika
masih berstatus menjadi mahasiswa. Saya masih ingat kala itu saya nimbrung bersama kawan saya yang
merupakan anggotan Sheila Gank Pandawa Lima, Solo. Saya turut menunggu di depan
hotel dimana para personel Sheila on 7 transit, dan setelah menunggu lama kami
pun sempat bersalaman dan berfoto bersama dengan Eros dan Brian, gitaris dan
drummer Sheila on 7.
Malam itu saya benar-benar kehilangan
keutamaan dalam menonton sebuah konser musik. Karena saya berada di barisan
belakang. Di depan sudah penuh sesak oleh “jamaah” yang mengejar keutamaan
dalam menonton sebuah konser musik. Tentu keutamaan yang saya maksud di sini
adalah sensasi bisa berada di dekat sang Idola.
Munculnya sang voalis, yaitu Duta
Sheila on 7 diiringi dengan teriakan histeris dari para penggemar. Lagu mars sheila
gank dilantunkan dalam lagu pembuka malam itu. Saya masih berada di belakang
dan menikmati setiap lantunan lagu dari Sheila on 7. Merasakan hentakan drum
dengan sound system yang menggelegar hingga seakan bersautan dengan detak
jantung. Bisa dibilang sound malam itu, mantab.
Sambil terus grememeng menirukan lagu-lagu yang dilantunkan Duta Sheila on7,
saya sesekali melihat sekeliling. Sebuah pemandangan yang menurut saya adalah
pemandangan yang cambur baur. Bukan hanya sepasang muda-mudi yang nampak mesra
saling bergandengan, tapi juga segerombolan ukhti-ukhti
yang nampak tidak risi melintas di sekelling laki-laki yang sibuk menonton, sambil
tetap memainkan puntung rokok di jarinya, serta menghembuskan asap rokok.
Hingga tibalah klimaks dari
performance Sheila on 7 malam itu, ketika mereka membawakan lagu “Melompat
Lebih Tinggi” lagu yang membuat saya turut jingkrak-jingkrak
dan senyum bahagia, layaknya segerombolan anak pemburu telolet yang mendapatkan
rekaman bus yang membunyikan klakson telolet. Dan penampilan eros saat
mengiringi lagu itu membuat semua orang bertepuk tangan. Ncen bener kata SGPL, “Ora Eros Ora Joss”
Sponsor utama malam itu adalah
produsen rokok, jadi bertambah tidak khsusuk lah saya menonton konser malam
itu. Karena, bukan hanya posisi saya yang berada di barisan paling belakang.
Melainkan, mba-mba SPG rokok yang sering berseliweran di depan mata saya,
membuat konsentrasi saya sedikit buyar. Beruntung tak ada satu pun SPG yang
meawari saya rokok malam itu. Mungkin mereka tahu, bahwa saya tidak ada
potongan seorang perokok. Lha wong cuma ditawari djarum black oleh kawan saya
ketika makan malam bersama panitia acara turnamen futsal di tempat kerja saya
saja, saya langsung mengguk, batuk
hingga dada terasa sesak hingga satu minggu. Mau sok-sok an jadi perokok.
Hanya sekitar satu jam lebih sedikit,
Sheila on 7 menghibur warga Solo, saya pun juga langsung kabur ketika Sheila on
7 sudah menyanyikan lagu penutup. Sebelum pulang, perut yang hanya terisi
gado-gado sore hari tadi pun juga menuntut hak untuk diberi asupan. Saat
perjalanan pulang saya mampir dulu di sebuah warung nasi liwet.
Sambil menikmati nasi liwet, saya
sempat mengirim pesan kepada Mba Admin, kemungkinan keesokan harinya, saya akan
datang terlambat, karena paginya saya masih berjibaku dengan pekerjaan kantor.
Namun keesokan harinya saya tidak
jadi terlambat. Naluri seorang buruh membuat saya tetap bisa bangun pagi dan
bekerja seperti biasa. Meski malam harinya saya kurang tidur.