![]() |
Sumber Foto |
Tulisan ini kubuat untuk melepaskan gairah besar menuliskan sesuatu dari dalam pikiranku. Meskipun aku tidak tahu apa saja yang akan keluar begitu kata demi kata kuguratkan dalam halaman ms word. Gatelnya pikiranku membuat kepalaku tegang karena ingin mengungkapkan sesuatu. Kepada siapa terserah. Pokoknya aku ingin mengungkapkan, itu saja.
Beberapa waktu ini menulis terasa lebih akrab denganku.
Aku merasa mendapatkan mainan baru. Sebelumnya aku jauh dari
menulis, meskipun itu yang aku lakukan demi pendapatan. Barangkali yang
kulakukan demi pendapatan itu bukan menulis. Bilang saja transfer ilmu dari
beberapa buku ke dalam satu intisari. Itu aku akui sangat berat karena aku
harus mengumpulkan energi dan niat untuk membuat hanya satu halaman.
Barangkali termin ‘menulis’ untukku tidak seperti itu.
Menulis lebih esensial dan memiliki power lebih untuk menyampaikan perasaan seseorang. Perasaan yang
bukan sekadar keinginan atau gairah sesaat. Lainkan perasaan yang membuncah dan
menggebu untuk bersuara terhadap apa yang ada di sekitar kita. Entah itu apa,
segala yang terjadi di sekitar kita adalah bahan untuk membuat tulisan. Sesepele
kecoa yang terbalik bisa menarik ide tentang seseorang yang menyiksa dirinya
sendiri untuk melucu agar mendapatkan perhatian orang lain, contohnya itu.
Berkata barangkali lebih mudah dibandingkan menulis.
Berkata melalui proses ide-berpikir-berkata bahkan kadang
berpikir hilang dari proses itu. Menulis memiliki proses
ide-berpikir-menulis-ide-berpikir-menulis- dan seterusnya. Sebuah siklus yang
terus tercipta dalam sebuah harmoni yang dapat pembaca rasakan. Ide dan ide
yang berpadu dan direnungkan sampai menghasilkan satu tulisan bermutu. Bahkan kadang
perasaan pun bisa jadi satu sindiran kuat tatkala ditulis dengan spontan tanpa
menggurui.
Merasakan itu dalam aliran darah membuatku sadar bahwa
segala kejadian di dunia ini bermakna.
Tidak ada satu kejadian yang ‘hanya begitu saja’. Orang yang
tipis kepedulian mungkin akan menyepelekan suatu hal sampai ia mengalami
sendiri. Kadang sudah mengalami sendiri pun masih suka meremehkan dan itu
membuktikan ia adalah orang yang sombong. Berkata cobaannya tidak ada
bandingannya dengan cobaan orang lain. Yah, aku sudah lelah bertemu dengan
orang-orang seperti itu.
Menulis mungkin dapat aku analogikan dengan mengamalkan
cinta.
Dalam menulis kita akan mengatakan kesedihan namun mungkin
tiada kalimat, ‘aku sedih’. Kesedihan diceritakan lewat kata-kata yang berawal
dan berakhir menjadi sebuah artikel. Kita mengungkapkan perasaan tanpa
mengatakan secara lugas. Bukan berarti dipanjang-panjangkan pula.
Menulis adalah
melukis. Menceritakan sanubari kita ke dalam rangkaian kata-kata.
Bila tulisan itu padu, rasa dan kata-kata menyatu bukan tidak
mungkin pembaca mampu menangkap maksud si penulis. itulah nyawa yang terkandung
di dalam tulisan. Sebuah ide yang tidak hanya membuat pembaca berpikir namun
juga merasakan dalam imajinasi. Penulis tidak akan membiarkan pembaca buta
pikir terhadap apa yang sedang dibacanya. Itulah mengapa menulis itu pekerjaan
lintas disiplin ilmu.
Bukan suatu hal mudah menuliskan pikiran dan perasaan kita.
Namun sayangnya pekerjaan seni sastra sekarang kalah dengan
pekerjaan-pekerjaan berupah tinggi. Seni sekarang juga yang penting mengikuti
selera pasar. Bukan lagi penikmat mengikuti alur karya dari seniman. Pasar mau
apa ya itu yang dijadikan arahan seniman membuat karya. Jadi seni sekarang bukan
lagi penyampai ideologi tapi alat untuk memanjakan para penikmatnya. Beruntung tulisan
masih belum (maaf) serendah itu. Semoga saja tidak sampai mengalami devaluasi
hingga tahap tidak bermakna.
Sebenarnya menulis seperti menganyam atau mengukir.
Menulis adalah menyampaikan keindahan. Di mana keindahan itu
disampaikan lewat kejujuran dan kesucian pikir. Ya kita akui saja pikiran tidak
mungkin sesuci itu. Setidaknya tulisan yang mengalir adalah karya yang berasal
dari penggemblengan akal dan perasaan. Dua hal yang sangat dibutuhkan untuk
memberi nyawa dari satu karya.
Jadi, sebenarnya apa sih yang ingin aku sampaikan?
Aku sendiri tidak begitu paham. Jujur aku tadinya ingin
menuliskan tentang film Thailand yang baru-baru ini kutonton berjudul May Who.
Aku ingin menyampaikan kesukaanku pada perjalanan tokoh utama dalam film ini
yang harus merelakan keinginannya untuk berteman demi melindungi kekuatannya. Ia
seorang perempuan yang bisa mengeluarkan listrik ketika detak jantungnya mencapai 120.
Ia tahu tidak akan ada yang mau menerimanya karena ‘kelebihan’
itu.
Sewaktu kecil ia pernah ingin menolong anak-anak memancing
ikan. May, yang masih lugu tahunya anak-anak akan terbantu ketika ikan-ikan
dalam kolam mati semua. Jadilah ia lari-lari kecil agar lelah dan mencapai
tensi 120 lalu menyentuhkan jemarinya ke dalam kolam. Ikan-ikan lalu bermunculan
dalam keadaan kejang-kejang dan teman-temannya yang memancing tadi terdiam.
Hari berikutnya ia diejek sebagai Dewi Listrik.
May berkali-kali pindah sekolah sejak saat itu. Ia bahkan
memiliki lebih daripada selusin seragam dari sekolah berbeda-beda. Saat kelas
10 ia bertemu dengan Pong, pemuda yang jago menggambar. Sayangnya ia seperti
May, tidak mendapatkan tempat di mana pun. Satu-satunya teman Pong adalah
seorang siswa gendut yang juga tidak populer.
May sebenarnya tidak ingin berteman dengan siapa pun tapi
tiba-tiba Pong datang ke rumahnya minta disetrum. Sejak saat itu mereka berdua
menjadi teman. Suatu hal yang bahkan Pong sendiri tidak pernah membayangkan. Memiliki
teman seorang gadis yang bisa menyetrum. Ide-ide tulisan Pong beberapa waktu
setelah itu juga mengalir dari pertemanannya dengan May.
Ini film komedi romantis khas anak SMA sih.
Bedanya tidak ada tokoh jahat di sini. Bukan menjatuhkan
teman dengan memfitnah atau pamer kekayaan seperti yang ditonjolkan oleh
sinetron-sinetron di suatu negeri. May Who murni menggambarkan keluguan
anak-anak muda yang sedang ingin-inginnya mencari teman sebanyak mungkin. Juga mendapatkan
pasangan tentunya, namun tidak dengan cara modus.
Istimewanya May Who adalah film percintaan yang di dalamnya
tidak ada adegan menembak dengan mengatakan kalimat, ‘i love you’. Patah hati dalam film ini pun digambarkan dengan
sangat dewasa. Berjuang untuk cinta dengan ketulusan bukan dengan kengototan. Aku
merasa film ini memberikan inspirasi untuk memperjuangkan cinta, dengan cara
berjuang menjadi diri sendiri.
Layak tonton lah buat yang suka film-film romantis dan ingin
hiburan yang beda.
Adegan-adegan dalam May Who juga natural. Tidak ada
interaksi berlebihan antara lelaki perempuan. Ya bumbu seksual tetap ada lah,
namun eksplisit dan dibuat jenaka. Bukan dalam bentuk menggairahkan. Bahkan adegan
ciuman pun tidak ada. Berbeda sekali dengan film romantis di suatu negeri
baru-baru ini yang menunjukkan adegan ciuman bibir bahkan sampai tiga kali. Dengan
aktris yang telah memiliki suami dan dua anak pula. Suatu pesan tidak langsung
bahwa saat sudah menikah asalkan demi profesionalitas, batas kewajaran dapat
ditembus.
Namun dari semua itu aku secara personal lebih menyukai
pemeran May-nya sih. Seperti yang aku bilang tadi, menulis adalah menyampaikan
keindahan. Keindahan bisa terdapat pada apa saja di alam semesta ini. Termasuk
sebuah senyuman manis seorang gadis. Sutatta Udomslip, pelaku tokoh May mungkin
salah satu yang memiliki keindahan itu. Yah, itu saja sih yang ingin aku sampaikan, hehe. Jangan
kecewa ya, tulisan ini aku akhiri sampai di sini.