Bila biasanya aku lari kini aku menghadapi. Perasaan
berkecamuk dalam diri saat harus bertemu dengan keluarga besar. Oh memang
sedikit aneh kedengarannya, bertemu dengan keluarga malah harus menyiapkan
mental. Idealnya bertemu keluarga ‘kan senang, melepaskan rasa kangen, berbagi
cerita dan sebagainya. Tapi mungkin beberapa pembaca merasakan itu juga ‘kan?
Bukan tentang takut ditanya ‘kapan nikah’.
Kita semua tahu, para singlewan dan singlewati tentu
pertanyaan itu sangat menusuk. Apalagi bila sudah berada di usia paruh enam
puluh. Lebih baik ditanya ‘kapan mati’ daripada ‘kapan nikah’. Jelas mati kita
tidak akan mampu menjawab. Tapi kalau nikah, itu antara takdir Tuhan dan
pilihan hidup kita. Kupikir kita semua tahu sudah banyak ‘gerakan’ stop
bertanya kapan kawin.
Ini tentang bertemu dengan saudara dan sanak, yang aku sulit
membaur dengan mereka.
Tidak tahu ini menurun atau apa tapi memang Ibuku sulit
bersosial sudah sejak 25 tahun lalu. Apakah aku meniru sikap itu, lebih baik
aku tidak berpikir begitu. Sebab aku bukan Ibuku dan sejauh yang kutahu sampai
saat ini, aku termasuk orang yang mudah bergaul. Baru akhir-akhir ini saja aku
sedikit menarik diri. Ya ini sudah kutuliskan di catatan-catatan blog pribadi
sih.
Membaur di lautan keluarga besar sungguh tekanan yang
sangat besar untukku.
Pasalnya, ada beberapa yang membenciku. Lain mereka hanya
tahu aku sebatas anak dari siapa. Aku bukan Wildan yang begini atau Wildan yang
begitu. Apa aku kurang memperkenalkan diri ke mereka? Tidak ada yang harus
kuperkenalkan tentang diriku kepada mereka, sejujurnya. Apa yang bisa kubagi
dengan mereka hanyalah rasa kecewaku karena mereka tertawa di tengah
penderitaanku.
Apabila aku menunjukkan kesedihanku itu akan merusak acara. Tapi
setiap kali kumpul keluarga semacam itu, hatiku tidak pernah merasakan
tenteram. Harus kutopang egoku agar tidak meledak. Kualihkan perhatianku ke hal
lain dengan membaca, daring fesbuk, chat dengan teman, atau pergi ke masjid.
Di tempat itu biasanya aku luapkan kesedihanku dengan menangis.
Sejatinya, hanya beberapa orang yang aku sangat tidak ingin
bertemu.
Namun aku seperti memukul rata kepada semua orang yang ada
di acara itu. Ada kekecewaan dalam diriku yang belum sembuh. Pengalaman dengan
keluarga yang tidak begitu enak buat perasaan. Dulu aku pernah diejek juga oleh
seorang wanita dalam keluarga itu. Dulu saat aku masih sangat kecil. Kesombongannya
saat itu sampai sekarang masih sangat membekas.
Kuulurkan tanganku untuk menyalaminya tapi ia memalingkan
tangan dan menyalami anak di belakangku. Ia memandangku tapi tidak
melanjutkannya dan langsung membuang muka. Berpikir positif untuk dia sampai
sekarang masih sangat sulit. Sebab setelah itu rentetan kejadian serupa juga
menimpa Ibuku, oleh orang yang sama. Sejak itu aku tidak mau ikut trah yang
kulihat sebagai ajang pamer itu.
Saat mengobrol, yang dibahas juga masalah mobil dan harga
rumah.
Jarang ada yang bicara soal-soal perbaikan. Gerakan pemberdayaan,
penyuluhan, problem sosial, dan segala macam yang perlu diberi perhatian di
sekitar kita. Entah aku yang terlalu memerhatikan itu hingga tidak kepikiran
memperkaya diri, atau mereka yang benar dengan menyiapkan segala hal untuk
keberlangsungan hidup keluarga. Bahkan menyediakan barang-barang melebihi
kebutuhan mereka.
Beberapa orang pernah aku ajak ngobrol tapi ya itu, selalu
menghindar.
Jadi setiap kali ada trah keluarga semacam maaf-maafan itu, aku merasa kesepian. Ibuku saja pilih bergaul dengan para pembantu di belakang rumah, daripada harus bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain. Entah karena minder atau memang ia lebih nyaman mengobrol dengan mereka yang tidak memiliki sesuatu untuk dipamerkan.
Sahabatku bilang agar aku tetap optimis.
Semenjak mengalami banyak kekecewaan aku tidak tahu lagi
bagaimana harus optimis. Satu hal yang kutahu bahwa merasakan semua kesepian
ini adalah jalan menuju kebebasan. Mana mungkin aku menjalani hari pertemuan
itu dengan berbohong kepada diri sendiri. Sudah lelah menunjukkan senyum
dibalik hati yang hancur.
Sahabat lain bilang agar aku menjadi diriku sendiri.
Saat sedih ya sedih, saat gembira ya gembira. Lebih condong
kepada pendapat itu daripada harus memasang wajah ramah padahal dalam hati
menahan amarah. Daripada bersama dengan keluarga itu aku pilih menyendiri. Toh saat
aku coba membantu pasti ada saja yang melarang, lantaran tidak percaya bahwa
aku bisa.
Sampai kapan akan terus seperti ini aku tidak tahu.
Harapanku adalah mendapatkan penghiburan dalam kesedihanku
ini. Bukan tentang trah saja aku harus mengelola hatiku. Ada hal lain yang
membuatku merasa bodoh, sekaligus bahagia karena telah berbuat sesuatu kepada
seseorang. Namun perbuatan itu membunuh egoku benar-benar sampai akar-akarnya. Aku
tidak tahu apa itu kebaikan atau kejahatan.
Sahabatku yang lain lagi bilang agar aku jangan menyerah.
Namun aku tidak tahu lagi apa yang harus dikejar. Semua usaha
telah kulakukan bahkan sampai titik minus dari ekspektasiku. Harus seberapa
minus lagi agar aku merasakan rasanya memiliki kehilangan? Agar aku bisa
merasakan nikmatnya kehilangan. Merasa nikmat karena semua itu telah lepas. Tinggal
aku dan jiwaku saja.
"Demi waktu. Sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan,
dan saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.”