Rasanya aku sulit untuk mengeluh. Dalam hal ini, tentang apa
yang tidak kudapatkan. Melihat orang sekitarku saat berburu takjil tadi,
menyadarkanku bahwa kita semua memiliki anugerah masing-masing. Dua hari ini
aku berbuka di masjid depan (mantan) kampus dan kurasakan hawa sahaja luar
biasa. Semua orang dari segala umur dan segala kalangan memakan makanan yang
sama. Minum minuman yang sama.
Tiba-tiba saja aku merasa ‘hei buka matamu’.
Satu perintah halus dari dalam memanduku. Kulihat beberapa
bapak parkir duduk di lantai emper luar masjid, anak-anak berkumpul di anak
tangga sambil bercanda, beberapa wanita duduk rapi di bagian shaf wanita. Ada juga yang duduk di luar
masjid, tepat di tempat motor biasa parkir, aku dan beberapa orang laki-laki.
Saat azan kumandang semua orang menyruput gelas dan membuka
bungkusan coklat. Menu hari ini nasi bandeng dengan sambal –aku tidak yakin itu
benar-benar sambal karena tidak ada pedasnya segigit pun. Kulahap hidangan itu
setelah berdoa agar hatiku dibuka oleh Allah. Ya, itu doaku setiap hari di
setiap selesai melakukan ibadah apa pun.
Hatiku saat ini tertutup kabut kecewa yang masih
melayang-layang cemaskan masa lalu.
Akibatnya masa depan kulihat bukan lagi peluang, tapi
kegagalan. Pikiranku tidak melihat yang indah-indah di masa depan, yang ada
hanya kematian. Sampai-sampai membuatku berpikir mengakhiri waktuku di dunia
ini. Rasanya tidak ada harapan. Ya itu setahun lalu sebelum cerita baruku dimulai.
Ibarat sekarang kabut yang menutup, dulu mungkin tembok setebal gunung.
Membuka hati ternyata begitu sulit.
Dan aku baru sadar juga ternyata sudah menutup hatiku untuk
banyak kebaikan. Peluang-peluang melakukan sesuatu untuk orang lain
kusingkirkan jauh-jauh. Berharap dapat menyembuhkan diriku sendiri dan setelah
itu dapat menyembuhkan orang lain. Namun bukannya sembuh, malah ingin diri ini
terbunuh. Dan aku bingung dengan diriku sendiri.
Ngomong-ngomong aku butuh mencari pertolongan kepada beberapa
orang dulu, sebelum sekarang mampu berpikir lebih jernih. Waktu pertama membuka
diri kepada seseorang rasanya begitu berat. Apa yang kukatakan tidak seperti
yang aku rasakan. Ingin cepat saja hatiku terbuka, jatuhnya memaksa. Seseorang akhirnya
jadi korban diriku yang sulit mengendalikan diri.
Rasanya diriku ini begitu salah karena memberi beban ini
kepadanya.
Namun di antara semua temanku, hanya dia yang sanggup. Dia seseorang
yang mampu merasakan perasaan orang lain, bahkan tanpa ia sadari. Saat aku
melepaskan kendali diriku, egoku benar-benar meledak. Rasanya seperti
membebaskan monster dalam diriku. Namun karena belum pernah menghadapi teman
dengan tekanan jiwa setinggi itu, bisa jadi dia syok.
Membuka hati sebenarnya tentang mampu kembali merasakan
sekitar.
Mampu peka terhadap perasaan orang lain. Mudah menyatu
dengan keadaan dan tidak banyak terlalu memikirkan diri sendiri. Dulu aku
merasa bisa melakukan hingga tahap itu. Tidak tahu sih benar atau tidak tapi memang
aku memiliki ego sangat tinggi. Sampai-sampai seorang dosen bilang kalau aku
sombong. Ya itu benar.
Melihat orang-orang di sekitarku tadi aku jadi teringat
tentang beradaptasi.
Saat kecewa mendatangi, hidupku seolah tidak berarti. Kurasa
hanya aku saja yang memiliki penderitan. Orang lain entah bagaimana hidupnya, bahagia
menyertai mereka. Sedangkan aku? Bahagia seperti sudah mengucapkan selamat
tinggal kepadaku. Putus asa, tidak mau bersahabat dengan hidup.
Tidak mau beradaptasi dengan keadaan.
Mengapa aku jadi seperti ini kurasa tidak penting lagi
kuceritakan. Tadi sewaktu mengambil takjil aku sadar benar diriku ini tidak
lebih dari sekadar debu. Tidaklah aku punya kuasa mengubah takdir, tidaklah aku
punya kekuatan mengatur jalannya keadaan. Angin bertiup, daun bergesekan, suara
napas orang-orang, hujan yang turun tiba-tiba, burung terbang bersama
kawanannya. Dan aku tidak mampu menghentikan detak jantungku sendiri.
Pada akhirnya proses beradaptasi pun bukan tentang mengubah
diri.
Adaptasi adalah tentang membuka hati menerima keadaan saat
ini. Mampu merasakan sekitar dan tidak memikirkan diri sendiri. Memanglah aku
belum menemukan ‘penghibur’ untuk mengusir rasa kecewaku. Kehilangan itu masih
begitu membekas dalam diriku. Membuatku terdesak hingga tidak mampu lagi
menilai mana benar mana salah, mana baik mana buruk.
Membuka hati adalah cara mengembalikan akal sehatku lagi.
Depresi karena semua kejadian dalam hidup membuatku sadar
hidup ini begitu berarti. Jika tidak berarti untuk apa aku memikirkan masa
gagal dan jatuh hingga seperti ini. Pada akhirnya aku tetaplah membutuhkan. Meskipun
aku sulit sekali untuk meminta tolong dan lebih sulit lagi percaya kepada orang
lain. Membuka diri dengan teman malah membuatku kehilangan teman.
Namun tidak ada cara lain.
Cepat atau lambat semua tekanan yang kutahan ini akan
meledak juga. Entah dalam wujud apa. Aku beruntung masih memiliki beberapa
teman yang tidak meninggalkanku. Meski pun aku tidak merasa sepenuhnya bisa
memercayai mereka tapi tidak ada yang lain. Aku harus coba melihat apa yang ada
bukannya meminta yang tidak ada.
Ternyata memang jalan setelah itu terbuka.
Baru kuniatkan saja doaku sudah beberapa kali dikabulkan. Rasanya
mendapat kejutan dari Tuhan, meskipun itu hanya pertemuan kilat atau mendapat
sambutan hangat. Itulah tentang adaptasi yang di dalamnya mengandung rasa
bersyukur kepada diri, menjinakkan kesombongan hati, dan terus mencoba perbaiki
diri.
Membuka hati demi datangnya damai dalam diri.