“Semua kembali ke cowoknya,” ujarku.
Seorang sahabat bercerita tentang hubungan asmaranya. Ya dibilang
asmara sebenarnya aku tidak menemukan ada yang membara dalam ikatan itu.
Komitmen yang lebih menguatkan mereka tetap bertahan. Bukannya tanpa cinta,
tapi perasaan di antara keduanya masih tunas. Mungkin masih butuh banyak ‘kerikil’
untuk memantapkan ikatan mereka.
Si pria kebetulan dihadapkan pada pilihan cukup sulit. Sebab
orangtuanya mengajukan calon lain. Si wanita terang bingung dan bercerita
kepadaku. Saat kujawab seperti kalimat pertama di atas, ia mengiyakan. Katanya
kalimatku sama dengan yang diucapkan ibunya. Lalu aku merenung setelah membaca
satu per satu obrolan kami di WA.
Itu kalimat yang setiap kali mengucapkannya, bahkan hanya mengetikkan
dalam obrolan WA saja, membuat hatiku tertampar. Tergantung cowoknya, kataku. Dan
aku baru ingat kalau aku ini cowok! Aku juga punya hubungan yang rumit dan
sampai sekarang belum solved. Belum sampai
komitmen tapi cukup membuatku menangis berkali-kali.
Sebab di samping perjuanganku ada masa lalu yang masih
mengganggu.
Bukan, ini bukan tentang hubunganku yang dulu. Yang itu
sudah selesai dengan kesepakatan saat puasa kemarin. Dan aku bersyukur telah
bisa berdamai dengannya. Kupikir kita paham kondisi satu sama lain. Walau pun
tidak dikatakan dan pertanyaan-pertanyaan belum terjawab, kita sama-sama
mengerti ada yang lebih penting dari itu, yakni silaturahmi.
Masa lalu yang kumaksud adalah keadaan Ibu dan Simbahku.
Setelah aku cerita panjang lebar di blog pribadiku, tentu
pembaca yang mengikuti bisa paham kira-kira apa yang membuatku ragu. Ya,
keadaan di rumah yang masih sangat kacau, karena meletusnya balon hijau. Dor! Beruntungnya
kekacauan itu perlahan tertata dengan membangun cinta di antara Ibu dan
Simbahku. Mencoba memberi pengertian kepada keduanya bahwa mereka saling
menyayangi.
Ibuku masih sulit memanggil ‘ibu’ kepada Simbah, namun
biarlah.
Mengubah seseorang tidak seperti membetulkan jalan. Ukur,
tambal aspal, digilas stom, dikasih
cat marka dan selesai. Butuh usaha yang tiada putus-putusnya. Aku yakin buat
yang telah berurusan dengan membenahi mental seseorang pasti paham yang
kumaksudkan. Seseorang tidak berubah karena kita menyuruh dia berubah, tapi dia
akan berubah ketika melihat contoh. Diberikan cinta terus menerus, disayang,
dan memancingnya ke arah kebaikan.
Soal menikah, Simbahku sudah panik tatkala aku bilang ingin
menikah. Ibuku sendiri berusaha tenang dan tidak banyak bicara tentang itu.
Dulu saat mau lulus aku sudah membicarakan itu dengan mereka, tapi ya tanggapan
Simbah malah menyuruhku menikah umur 30. Ibuku sekali lagi tidak banyak bicara,
beliau hanya bilang cari yang bisa menerima kondisi beliau.
Orang seperti apa yang bisa menerima kondisi beliau?
Jelas aku berpikir keras karena masuk ke keluarga yang kacau
itu tentu berat bagi siapa saja. Lantas aku mencari seseorang yang kuat ‘kan? Banyak
teman bilang katanya seleraku tinggi, nyari yang berkelas dan sebagainya.
Sebenarnya ini bukan mauku. Aku sendiri orangnya tidak pilih-pilih kalau
berteman, kepada siapa saja aku berusaha ramah.
Hanya saja, aku bukan tipe yang mudah percaya kepada
seseorang.
Meski pun aku bercerita tentang masalahku, itu hanya kulit
luar saja. Hanya beberapa sahabat saja yang ku kisahkan sampai tahap emosional.
Mereka pun membantu dengan kapasitas mereka. Tidak mampu terjun lebih jauh
karena mereka memiliki keluarga yang harus diutamakan. Ada yang peduli dan ada
yang berpura-pura peduli, ya begitulah realitanya.
Tentu saat aku ditanya seorang ustadzah, aku mencari tipe
yang harus begini-begitu atau coba dulu?
Jawabanku jelas yang pertama, orang ini bukan tentang diriku
saja. Ibuku mana mungkin tidak tinggal denganku kelak. Beliau sebatang kara,
hanya punya anak semata wayang. Simbahku sendiri masih sulit melepasku karena
beliau tidak bisa menerima kepergian anak lelaki satu-satunya. Seolah Simbah
menganggapku sebagai anak lelakinya, dan soal pernikahanku beliau benar-benar
berharap kelak bisa tinggal denganku.
Lucu kadang kalau mendengar harapan beliau agar aku
mendapatkan pekerjaan di Jogja, dapat istri orang Jogja, lalu tinggal bersama
di Jogja. Dan aku menentang semua kemauan itu. Justru aku menghindari Jogja dan
mencari istri yang rumahnya jauh-jauh bahkan sampai luar pulau. Pekerjaan aku
mengambil parttime atau freelancer. Tinggal di Jogja juga, aku
tidak tertarik karena kotanya sudah terlalu ramai.
Bukan karena menentang tapi aku tidak tertarik dengan hidup
seaman itu.
Visiku juga bukan cuma hidup mapan. Membangun rumah dan
hidup enak. Ibadah sebatas sholat dan ngaji. Visiku ingin mengabdi kepada masyarakat
dan melibatkan diri dalam apa saja gerakan perbaikan. Terutama kepada mereka
yang memiliki trauma terhadap keluarga dan kebingungan mencari teman yang mampu
memahami masalahnya.
Lantas aku sendiri mencari seseorang yang visioner, memiliki
kasih sayang yang besar, tidak takut dengan tantangan, mampu berpikir mandiri,
dan sebagainya. Temanku bilang agar gak usah cari yang cantik-cantik, yang
kaya, yang penting mau. Bathukmu, umpatku
dalam hati. Ini karena hidup yang ada di hadapanku seperti itu, jadi aku
mencari orang yang benar-benar kompeten.
Tapi semua kembali ke cowoknya, lagi-lagi.
Jika aku sendiri belum mampu berdamai dengan keluargaku,
bagaimana seseorang merasa aman tinggal denganku. Jika aku belum mampu berdamai
dengan diriku sendiri, bagaimana dia percaya aku untuk membimbing hidupnya. Di samping
itu aku sadar, aku yang harus menuntunnya. Aku yang harus membimbingnya, aku
yang harus menjadi imam baginya. Bagaimana itu terjadi bila aku sendiri belum
bisa mengimami diriku sendiri. Banyak persoalan di rumah dan keluarga yang
belum sampai pada titik temu.
Bila ia mau menerimaku yang sekarang, jelas aku akan sangat
bersyukur sekali.
Namun sebagai lelaki aku merasa tidak pantas. Bagaimana aku
membahagiakannya dengan keadaanku yang masih chaotic ini. Sudah mending dari beberapa bulan lalu tapi aku merasa
belum cukup untuk membina hubungan baru. Mana mungkin aku bisa menjadi suami
baginya sementara aku sendiri masih mbok-mboken
kayak gini.
Mental menjadi lelaki, itu yang sedang kubangun sekarang.
Walau pun sulit untuk sampai pada titik standar, mungkin,
aku akan tetap berusaha. Seseorang yang memang mencintai dan peduli kepadaku,
aku yakin mampu melihat usahaku. Tapi seseorang yang hanya mau matangnya saja
tidak akan mampu merasakan itu. Bagaimana pun semua kembali kepada sikap dan
cara pandangku.
Sikapku kepada keluarga dan bagaimana aku memandang mereka.
Bila aku masih belum mau mengubah sikap dan cara pandangku,
bagaimana keadaan bisa berubah. Mendidik diri sendiri memanglah hal paling
sulit. Sebab itu orang yang mau mendidik diri sendiri berarti dia mau berusaha
menjadi pemimpin. Mau menderitakan diri untuk memilih akal sehat daripada ego
sendiri. Butuh latihan dan usaha untuk memenangkan hati daripada keinginan
sendiri.
Semoga saja usahaku ini segera menemui kehendak-Nya.