Akhirnya, kemarin aku tidak jadi ikut trah keluarga besar di
Kota Gudeg itu.
Sedikit cerita yang kuungkapkan di postingan lalu, ya aku
dalam kondisi menimang apakah akan berangkat atau tetap di Solo. Singkat cerita
aku sabtu pagi memutuskan tidak ikut. Terang, seperti dugaan Budhe yang
akhir-akhir ini mendampingiku, bertanya perihal itu. Ku jawab keputusan itu
kuambil selepas shalat tahajud malam sabtu itu.
Barangkali dari pembaca merasa gemas mengapa aku memutuskan
tinggal. Anggap saja aku susah move on,
seperti yang biasa kudengar dari orang-orang tentangku. Buatku ini lebih dari
itu. Ajang silaturahmi bertemu tiga bulan sekali itu tidak efektif dan
cenderung semata-mata ‘menggugurkan kewajiban’. Sebagai keluarga yang normal
bertemu anggota keluarganya yang lain.
Di lain pihak antara keluarga satu dengan yang lain tidak
pernah memiliki ikatan kepentingan.
So, setelah acara syawalan atau arisan itu bubar ya bubar
dalam arti sesungguhnya. Satu sama lain tidak menyapa dalam tiga bulan. Paling satu
dua yang masih saling berhubungan. Pun itu juga antar mereka saja dan keluarga
lain ditutup akses dari kepentingan itu. Ya pola serupa ternyata ku temukan di
keluarga teman pula.
Tidak semuanya sih, hanya teman yang memang memiliki ‘rasa
kesepian’ sama denganku.
Ku pikir setiap keluarga memiliki pola masing-masing. Satu yang
berat ketika keluarga malah seperti orang lain dan teman malah seperti
keluarga. Saat kita membutuhkan apa-apa yang pertama kali dihubungi pastilah
keluarga, karena mereka yang memiliki peluang menolong paling besar. Satu orang
tahu bisa jadi seluruh keluarga tahu.
Sepantasnya begitu, namun yang bila yang terjadi sebaliknya?
Satu teman hanya akan memberitahu teman yang lain, yang
belum tentu bisa membantu. Jaringan bantuan terputus di satu teman itu saja.
Jika keluarga mereka akan mengusahakan bantu, meski pun itu hanya apa. Setiap
kita tentu memiliki skema ‘keluarga yang utama’ dalam pikiran kita. Jika
pengertian keluarga diperluas barang tentu itu mencakup keluarga besar.
Ini hanya opiniku saja, dalam kenyataannya pertolongan bisa
datang dari siapa pun kok.
Mendamaikan diriku dengan keadaan dunia adalah tugasku saat
ini. Berusaha melihat dunia apa adanya bukan dunia yang seharusnya. Lantaran aku
bukan Tuhan yang bisa melihat dunia secara keseluruhan dan holistik, hingga
tingkat seluler. Bahkan lebih kecil lagi dari itu. Mengetahui apa yang ada di
pikiran pembaca saja aku tidak sanggup.
Ini tentang ego, sekali lagi.
Keinginan untuk ini untuk itu. Ideal, sistematis, logis, dan
tentunya egois. Agar dunia menuruti apa keinginanku. Setiap orang harus jadi
apa yang pas dengan kotak keinginanku. Bila di luar dari itu maka orang itu
salah. Di luar itu akan terjadi keburukan dan kekacauan. Sementara yang kacau
sebenarnya diriku sendiri.
Ada satu kalimat: jika kamu marah terhadap nasihat yang diberikan
kepadamu, berarti kamu memiliki masalah dengan ego. Lagi-lagi ego, perasaan
menjadi seperti Tuhan. Merasa mampu melakukan ini itu, memiliki hak menuntut
orang lain, menyalahkan mereka atas kekacauan dalam diriku sendiri. Merasa
memiliki legalitas untuk mengatur dunia.
Namun akhirnya aku tidak berangkat juga ke trah setahun
sekali itu.
Bukan karena egois tapi aku merasa lebih penting silaturahmi
yang benar-benar silaturahmi. Bukan sekadar ketemu sesekali waktu lalu makan
bersama. Bukan hanya bercanda dan tertawa, tapi juga menangis bersama. Satu susah
yang lain ikut susah. Bukan sok-sokan bilang kalimat-kalimat penenang atau
penyemangat padahal dalam hati tidak peduli.
Peduli itu membutuhkan keberanian, seperti halnya menyatakan
perasaan.
Menyatakan perasaan yang tentu tidak hanya berupa perkataan.
Tindakan lah yang lebih penting. Dan tindakan itu tidak harus dengan memberikan
sesuatu berupa benda. Bahkan hanya bertanya ‘perasaanmu gimana’ saja itu sudah
sangat membuat seseorang merasa memiliki teman. Sebab, ada yang menghargai apa
yang ia rasakan.
Silaturahmi berupa kelanggengan untuk saling tolong
menolong.
Jika hanya dalam bentuk pertemuan, silaturahmi itu pasti
akan kering. Kebosanan melanda dan hubungan itu tidak lagi memiliki nyawa. Lebih
penting adalah perhatian yang dilakukan terus menerus. Ya kita tidak bisa
memberi perhatian kepada semua orang ‘kan. Pada akhirnya hanya sebagian orang
saja yang mendapatkan perhatian kita.
Yang sedikit itulah yang layak kita jaga.
Jangan sampai yang sedikit itu pun berjarak. Jarak secara
fisik memanglah sangat terasa keberartiannya. Namun dalam kenyataannya, kita
tidak bisa terus mempertahankan kedekatan fisik itu. Ada kala kita harus
berpisah sementara demi sesuatu yang lebih bermakna. Ada masa kita harus
memberi longgar karena tidak mungkin kita memiliki manusia.
Bahkan setelah kita menikah dengannya.
Kita pun dia, bukan Tuhan yang memberi keluasan ruang dan
waktu untuk selalu terhubung. Tuhan tidak terbatas ‘ego’-Nya dan
kekuasaan-Nya mampu mengubah sesuatu yang mustahil menjadi mutlak. Kita manusia ini hanya bisa berusaha. Hasilnya
itu terserah Tuhan, dan tidak ada hasil yang lebih buruk sebenarnya. Lantaran
setiap usaha kita pasti membuat perbedaan.
Kita belajar dari kesalahan.
Bila sudah berpikir sampai tahap itu, baik buruk bukan lagi
utama. Perbaikan itulah. Kesalahan bukan hal buruk, kata salah seorang psikolog
di kampusku. Kadang dari kesalahan itu kita menemukan ‘mutiara’ yang
menunjukkan cahaya diluar bayangan kita. Banyak hal diluar ‘kotak ego’ kita
yang akan tersingkap setelah kita mengambil pelajaran.
“Dan Tuhanmu tidak
akan membinasakan suatu negeri-negeri secara zalim sedang penduduknya orang-orang
yang membuat perbaikan.”