![]() |
Sumber Gambar |
Kemarin siang, di sela-sela rutinitas
saya, tidak sengaja saya membuka percakapan di salah satu grup wasap yang saya ikuti. Dalam percakapan
grup wasap tersebut, Mas Wildan mengirimkan
kabar duka, dan memohon doa kepada teman-teman untuk turut mendoakan almarhum
ayahnya. Iya, Mas Wildan salah satu
kontributor di lobimesen.com ini
sedang berduka.
Melalui tulisan ini, saya secara
pribadi ingin mengucapkan turut berduka cita. Semoga arwah beliau diterima di
sisi-Nya, serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran.
Bisa dibilang Mas Wildan adalah
kontributor paling produktif di lobimesen.com
ini. Di saat kontributor lain kebingungan mau menulis apa. Mas Wildan dengan
lincah dan emosionalnya mampu membuat postingan-postingan baru dan segar. Hanya
menonton sebuah film drama komedi remaja saja, ia mampu menulis dari berbagai angle. Hasilnya, dia mampu menghasilkan
beberapa tulisan hanya dengan melihat beberapa kali sebuah judul film saja.
Beberapa tulisannya diposting di lobimesen.com
ini, serta ada juga yang di posting di blog pribadinya.
Mas wildan selalu jujur dengan
tulisan-tulisannya. Bahkan saya pernah membaca beberapa tulisan tentang
keluarganya. Saya merasa salut terhadap Mas Wildan yang jujur dengan kondisi
keluarganya. Karena, diluar sana, masih ada saja orang yang hidup terus
berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa dalam keluarganya. Butuh waktu lama
untuk bisa berkata jujur dengan keadaan keluarganya. Saya tidak akan
menyalahkan mereka yang terus berbohong terhadap apa yang sebenarnya terjadi
dalam keluarganya. Karena, mereka memiliki alasan kenapa mereka harus berbohong,
dan terus hidup berpura-pura, agar nampak dari keluarga yang normal.
***
Postingan kali ini saya akan sedikit
bercerita tentang keluarga. Sambil menulis saya juga berdoa agar bisa
berkeluarga juga seperti kawan saya Johan Hariyanto yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang bapak.
Mumpung masih diberi kesempatan untuk
berbakti kepada orangtua. Yang saya maksud orangtua di sini adalah Ibu. Kenapa
Ibu? Karena ia adalah orang yang rela mati demi anaknya. Terus dimana ayah?
Karena saya tak memiliki memori yang baik dengan laki-laki bernama ayah. Kenapa
demikian? Karena keluarga menurut saya adalah, ibu, kakak, simbah, Om, dan
keluarga dekat lainnya. Mereka semua adalah malaikat bagi saya. Iya, di saat
idealnya yang namanya keluarga adalah Ayah, Ibu dan Anak, namun bagi saya tidak
demikian. Tuhan telah mengganti sosok ayah dengan yang lebih baik, dan orang
yang sangat peduli dengan saya. Yaitu dengan sosok simbah yang sayangnya ngadubilah. Bisa dibilang, saya adalah
produk pola asuh dari simbah saya. Kemudian selain itu, ada kakak saya yang
merupakan sparing partner, yang bisa
berubah menjadi teman, namun kadang berubah menjadi musuh. Karena dalam
permainan sepak bola, terkadang kakak adik bisa saja bermusuhan. Dan tidak
kalah pentingnya, adalah Om saya. Ia (om saya) adalah orang yang begitu peduli
dengan masa depan saya. Tidak jarang saya meminta saran dan nasehatnya ketika
saya sedang memiliki banyak masalah dalam segala hal. Baik itu masalah yang
sifatnya pribadi sekali, maupun tentang pekerjaan atau karir, serta segala
permasalah hidup ini.
Lebaran kemarin, Ibu saya sempat mengabarkan
bahwa ia tidak bisa berkumpul karena masih ingin berlebaran di Jambi seperti
tahun sebelumnya. Namun, kakak saya yang kala itu posisinya sedang berada di
Bengkulu sengaja berkunjung ke tempat ibu, sekaligus membujuk ibu saya untuk
pulang. Hasilnya, ibu nurut juga ketika anak lanangnya membujuk untuk pulang agar bisa berlebaran dan berkumpul
dengan keluarga besar di tempat simbah.
Sebagai anak yang tidak ingin “dilabeli”
sebagai anak durhaka. Tentu sudah menjadi keinginan hampir setiap anak yang
kini sudah belajar untuk mandiri secara financial bisa membuat senang orang
yang telah susah payah melahirkannya. Saya pun berencana membuat Ibu saya
senang dengan cara membahagiakannya.
Ternyata membahagiakan orangtua tidak
lah semudah yang saya pikirkan. Segala konsep kebahagian menurut nalar saya pun
ternyata bukan menjadi sebuah konsep kebahagian ibu saya. pernah suatu ketika
saya memberi sejumlah uang kepada Ibu saya. Dengan harapan ibu saya akan
senang, ketika melihat anak lanangnya kini
sudah mandiri secara financial. Dan apa yang terjadi? Justru di lain kesempatan
ibu saya memberikan sejumlah uang yang lebih banyak daripada yang saya beri,
dengan alasan “Ini buat tambahan beli
bensin”
Tabungan di rekening saya pun
sebagian besar adalah tabungan Ibu saya. Pernah suatu ketika Ibu saya justru
mentransfer sejumlah uang ke rekening saya dengan sambil berpesan “Nitip uang
di rekeningu dulu”. Saya tahu betul ibu saya, beliau bukan orang yang pintar
dalam membelanjakan uang. Maka ia lebih sering menitipkan tabungannya. Dan ini
adalah bukti bahwa uang bukanlah sumber kebahagiaan, meski tidak memiliki uang
dijamin budrek.
Pernah juga saya ingin membelikan
perhiasan. Karena menurut beberapa teori, hampir semua wanita menyukai
perhiasan. Namun, ibu saya tidak termasuk dalam kategori itu. Ibu saya justru
tidak pernah memakai perhiasan, meski dalam acara njagong sekalipun. Dan tidak peduli ketika teman-teman seusianya
ada yang mirip toko emas berjalan. Kata ibu saya “Aku malah risi kalau pakai mas-masan (baca perhiasan)” ia juga
tidak pernah peduli dengan penilaian orang tentang dirinya. Kalo bahasa
kerennya low profile,
Mengajak piknik atau jalan-jalan?
Berbeda dengan saya, ibu saya sangat membenci perjalanan. Baru berencana ingin
kembali ke Jambi saja badan sudah langsung masuk angin dan minta pijit atau
kerokan karena membayangkan perjalanannya. Sedangkan saya? saya sangat
menikmati setiap perjalanan daripada tempat tujuan. Jika pintu kemana saja
milik doraemon benar-benar ada, mungkin itu adalah sesuatu yang membuat ibu
saya tersenyum bahagia.
Salah satu hal yang pernah saya
lakukan untuk membahagiakan Ibu saya, dan saya sangat menyesali karena
melakukan hal itu. Adalah ketika saya sudah mulai bekerja dan dengan kemlinthi-nya menyuruh Ibu saya untuk
tinggal di rumah saja dan tidak kembali lagi ke Jambi. Apa yang terjadi? Ibu
saya justru merasa tertekan dan merasa hidup dalam penjara yang menurut saya
adalah kenyamanan. Hal itu benar-benar membuat saya mbrebes mili dan benar-benar merasa berdosa. Karena saya baru sadar
bahwa kebahagian ibu saya adalah bisa berkumpul dengan pelanggan-pelanggan. Dan
ibu saya merasa nyaman tinggal di Jambi daripada di rumah. Dan tentu ingin
menjadi orang yang tidak menyusahkan orang lain, karena secara fisik ia masih
mampu bekerja. Meskipun orang tersebut adalah anaknya sendiri sekalipun.
Beberapa hari setelah lebaran kemarin,
setelah urusan di Boyolali selesai. Saya pulang ke Sukoharjo dengan mampir dulu
di sebuah warung tahu kupat langganan saya. Saya tahu betul bahwa ibu saya suka
dengan tahu kupat. Saya pun membeli beberapa bungkus untuk saya bawa pulang dan
makan bersama. Dan kebersamaan itulah yang membuat kami semua bisa tertawa
lepas sambil sesekali melahap tahu kupat yang saya bawa.
Ternyata membahagiakan orangtua
terkadang sangat lah sederhana. Membelikan makanan kesukaannya dan dinikmati
bersama itu ternyata jauh lebih berkesan. Sebenarnya masih ada satu yang belum
tuntas saya laksanakan. Ketika dalam sebuah obrolan, Ibu saya pernah bertanya “Jahe sik koyo enek Boyolali, pas kowe ora
entek kae, iseh enek ora yo?” kejadian itu sebenarnya sudah lama sekali,
seingat saya kala itu saya masih SD. Yaitu ketika kami sedang bermain ke Boyolali, Ibu
saya diberi suguhan wedang ronde, dan ketika itu saya tidak habis. Ibu saya
nampaknya suka dengan wedang ronde. Namun, saya belum sempat membelikan minuman
hangat kesukaannya itu, karena keburu Ibu saya sudah balik ke Jambi.
Terkadang bukan materi yang yang kita
berikan yang membuat orangtua kita bahagia. Hal-hal yang kecil dan sederhana
pun bisa membuat orangtua kita bahagia. Pernah suatu ketika saya betemu dengan
orang yang sudah sepuh. Beliau bercerita kepada saya dengan suara lirihnya “Saya selalu merasa senang ketika anak-anak
saya datang berkunjung ke rumah bersama cucu-cucu saya, karena itu membuat
rumah yang awalnya sepi menjadi lebih hidup”
Ucapan itu seperti sebuah nasehat
bagi saya, agar suatu saat, sesibuk apapun saya, agar selalu meluangkan waktu
untuk mengunjungi orangtua kita. Tapi, setelah saya kaji lebih dalam, nasehat
itu kok lama-lama seperti anjuran “ndang
rabio ibumu wes pengen putu”