Satu masalah yang sampai sekarang masih sulit dihilangkan
dari manusia adalah menilai.
Ya, kupikir juga manusia tak akan luput dari kecenderungan
menilai sesuatu hal. Kita membuat standar-standar dan ukuran untuk membatasi
pikiran kita terhadap sesuatu. Itu alamiah, natural, dan sewajarnya memang
begitu. Kita tidak mungkin melepaskan diri dari dorongan alamiah terhadap
segala hal yang ada di sekitar kita.
Kita ini ‘kan bereaksi seperti bagaimana kita berpikir.
Jadi, apa pun sikap kita sekarang itu adalah hasil buah
pikir. Buah pikir itu diberi hawa oleh emosi atau perasaan. Setiap hal yang
kita lakukan itu dikipasi oleh perasaan. Kita hanya mampu mengatur intensitas
perasaan tapi tidak bisa mematikannya. Begitu pula pikiran, kita hanya mampu mengarahkan
namun tidak mampu menghilangkan perannya dalam psikologis kita.
Itulah nafs.
Nafs dalam termin Bahasa Arab itu memiliki banyak arti. Ada nafsu,
diri, jiwa, hati, emosi, dan lainnya. Bisa dikatakan, kata nafs itu merujuk kepada diri kita yang seutuhnya. Jadi kita dengan
emosi, kita dengan pikiran, kita dengan akal itu semua adalah penyusun nafs. Bukan hanya sekadar hasrat tapi
segala yang ada pada diri kita.
Lebih khusus diri kita yang ‘halus’.
Diri kita yang tidak tampak dari luar. Tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang. Hanya kita yang mampu mendengar dan merasakan. Lantaran mata
kita saja tidak mampu melihatnya. Adanya adalah bisikan-bisikan yang memberi ‘masukan’.
Bisikan-bisikan itu terbagi dalam dua sumber. Pertama dari dorongan berbuat
baik dan kedua dorongan berbuat buruk.
Dalam kondisi ini kita memiliki kesempatan yang benar-benar
luas.
Kita bisa saja menuruti hal buruk tanpa kita sadari. Pun hal
baik tanpa kita sadari pula. Seperti kita tahu, kalau dalam ilmu psikologi, dorongan
terkuat manusia adalah motivasi dari alam bawah sadar. Jadi sebenarnya selalu
lebih banyak hal yang TIDAK KITA SADARI daripada yang MAMPU KITA SADARI. Itu kunci
utamanya dalam membuka pintu hidayah dari dalam diri kita.
Allah menyampaikan petunjuk itu selalu diletakkan di atas
bejana akal.
Maksudnya akal kita yang mendapatkan pencerahan. Entah itu
lewat peristiwa, dari nasihat, dari wangsit, atau apa saja. Hidayah selalu
muncul saat kita ‘membaca’. Membaca itu bukan hanya menelaah tulisan-tulisan
namun juga segala pergerakan di alam. Bagaimana kita peka terhadap perubahan
yang selalu terjadi di sekitar kita. Perubahan yang terjadi sebagian karena
reaksi kita.
Seperti membaca gerakan angin, ibaratnya begitu.
Tidak bisa kita melihatnya dengan mata, hanya bisa kita
rasakan arah anginnya itu ke mana. Bisa melihat dengan menancapkan bendera dan
kita lihat bendera itu berkibar ke mana. Tapi itu ‘kan kita memakai alat, bukan
mendayagunakan apa yang ada dalam diri kita sendiri. Meski pun alat itu juga
buah karya dayaguna kita untuk memudahkan membaca arah angin.
Jadi semua kembali kepada inti dari diri kita, yakni hati.
Akal manusia itu ada di hati, bukan di pikiran. Hati yang
mengarahkan kita untuk berbuat baik atau buruk. Nah, segala kecenderungan itu
sebenarnya juga tergantung seberapa dalam pemahaman kita. Orang yang pikirannya
dangkal akan cenderung reaktif dan mudah menilai sesuatu. Cenderung emosional, dan
reaksinya itu tidak dilandasi oleh akal sehat. Perasaan atau ego lebih
mendominasi dan segala tindakannya akan terlihat penuh keterburu-buruan.
Ini kadang tidak kita sadari, karena saat khilaf, akal sehat
tidak kita gunakan.
Saat khilaf segala hal yang mendukung kita akan tampak
benar. Sebaliknya, segala hal yang mengancam pendirian kita pasti akan tampak
salah. Itu sudah pakem dan bagaimana mengatur itu, kita tidak mungkin bisa tanpa
mengandalkan akal sehat. Nah, akal sehat itu yang seperti apa? Akal sehat itu
konstruktif bukan destruktif.
Jadi bila kita dihadapkan pada pilihan, apa reaksi kita itu
sebisa mungkin dilandasi akal sehat.
Ya kita tidak mungkin selalu begitu karena kita manusia. Selalu
memiliki celah untuk melakukan kesalahan. Kita tidak bisa berharap untuk selalu
baik. Pun kita juga tidak bisa beranggapan bahwa diri kita selalu buruk. Kita menjalani
keduanya kok dalam setiap waktu. Sesuatu yang tidak perlu dimasalahkan juga
bila kita melakukan salah satunya.
Kita baik untuk saat itu saja dan buruk untuk saat itu saja.
Efek dari keduanya sudah berakhir ketika momen itu berganti
momen yang lain. Ya walau pun setiap hal di dunia ini diatur oleh hukum sebab
akibat. Tidak ada segala sesuatu di kehidupan ini yang tidak memiliki sebab. Hanya
Tuhan yang tidak memiliki sebab karena Dia adalah awal dan akhir. Alfa dan
Omega yang bersemayam dalam satu wujud tunggal.
Kembali kepada masalah menilai, bagaimana kita menilai
berdasarkan akal sehat?
Akal sehat itu menyadari bahwa penilaiannya itu bisa saja
salah. Sebab akal sehat ini, adalah akal sehat manusia. Nah kalau akal sehat Tuhan
jelaslah tidak mungkin salah. Sesehat-sehatnya akal manusia pasti tetap ada
kemungkinan salah. Intinya, kita tidak mungkin benar-benar tahu sesuatu itu
buruk atau baik.
Sebab kita selalu memiliki subjektivitas.
Ya sebenarnya tulisan ini hanya mengulang postingan-postingan
#WildanMuhammad di lobimesen.com sih. Sebagai ungkapan kejengkelanku ketika
berhadapan dengan orang-orang yang menilai segala sesuatu secara mutlak. Menyalahkan
orang lain dan membenarkan diri sendiri. Padahal, apa yang mereka lihat tidak akan
sebanyak apa yang mereka belum lihat.
Dan mereka melupakan kenyataan itu.