Kalian tahu, manusia akan lebih kuat ketika dia kehilangan. Saat ia ditimpa musibah dan ketakutan, betapa manusia diuji
dengan semua itu. Kita tidak bisa memungkiri, kehilangan itu sesuatu yang
sangat menyakitkan. Mau seberapa kecil tidak ada kehilangan yang terasa ringan.
Bukan tentang banyaknya sesuatu tapi arti dari sesuatu itu sendiri.
Dan aku
masih merasa kehilangan Bapakku.
Ya mungkin dalam pikiran kalian langsung ingin
mengingatkanku bahwa semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah.
Aku tidak lupa akan itu. Hanya rasa kehilangan itu masih belum hilang. Bahkan
ketika aku sendiri baru bisa menceritakan tentang ‘bapakku’. Kata itu, sedari
kecil hanya beberapa kali aku mengucapkannya.
Aku hanya mengucapkannya ketika ada yang bertanya tentang
bagaimana Bapakku.
Pertama pasti ditanya Ibuku bagaimana. Lalu setelah kujawab
ia pasti bertanya Bapakku. Ceritanya selalu sama: Bapakku bercerai dengan Ibuku
waktu aku kecil, dan sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Baru
beberapa waktu ini aku bisa menyebutkan ‘bapakku’ dan bercerita. Ironisnya, yang
bisa kuceritakan juga hanya satu: Bapakku sudah meninggal.
Ada satu hal yang menentramkan karena sekarang aku bisa
menyebutkan ‘bapakku’. Sebuah kondisi di mana aku benar-benar tahu memiliki
ayah. Seseorang yang membawa sebagian asal-usul sifatku. Alam bawah sadarku
sejak kecil sudah tertanam bahwa Bapakku tidak ada. Mengetahui dengan sadar
bahwa aku memiliki ayah, rasanya aku menemukan sebagian jati diriku.
Namun di sisi lain, di satu waktu aku dihadapkan pada
kenyataan bahwa Bapakku telah dipanggil Allah. Aku tidak tahu apakah harus
gembira atau sedih. Sudah terlalu banyak kenyataan yang disembunyikan dariku.
Memanglah keluarga Ibuku tidak mampu membendung sifat emosionalku. Mereka jadi
tidak tahu bagaimana harus bicara denganku mengenai banyak hal. Namun saat
dewasa juga aku tidak diberitahu mengenai bagaimana asal-usulku.
Seperti Naruto yang mengetahui ternyata anak Hokage (Kepala
Desa Militer) Keempat, Minato Namikaze.
Ia tidak langsung tahu karena seluruh penduduk desa
menyembunyikan kenyataan itu. Bahkan keberadaannya dibenci lantaran menyimpan
monster yang telah membuat bencana di masa lalu. Monster yang disimpan ayahnya
ketika terjadi bencana itu, ke dalam tubuh Naruto. Minato menempatkannya
sebagai anak yang akan menanggung semua beban itu. Meskipun ia tahu Naruto akan
dibenci semua orang.
Lantaran tidak setiap orang memahami kenyataan: kita tidak
bisa memilih darimana kita dilahirkan.
Namun, Minato percaya kepada Naruto. Ketika besar kelak
Naruto bisa menjinakkan monster dalam dirinya itu. Kekuatan yang dimiliki dan
merupakan warisan dari ayahnya. Bila Naruto berpikir Minato bermaksud jahat
dengan memasukkan monster Kyuubi dalam tubuhnya, pasti ia takkan bisa
melakukannya. Ia takkan berdamai dengan dirinya sendiri dan tentu hidup akan
dirasakannya sebagai kumpulan penderitaan.
Beberapa waktu lalu aku sempat berpikir demikian.
Mengapa aku diberikan beban seberat ini. Menjadi keberadaan
yang tidak diinginkan. Semua orang, hampir seperti melihatku sebagai monster.
Aku tidak bisa jadi pribadi yang tenang. Cenderung memberontak dan tidak mampu
melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang berharga. Waktu dewasa aku baru
benar-benar merasakan. Karena saat umur 20 awal aku masih jadi orang yang
sangat percaya diri.
Sekarang aku sedang memulihkan kembali rasa percaya diriku.
Mengetahui sesuatu yang lama menjadi hakku untuk tahu namun
tidak pernah ada yang memberitahu. Saat sudah tahu ternyata aku tidak bisa
memilikinya walau sekejap. Bapak sudah pergi dan aku kini sepenuhnya jadi anak
yatim. Yah tapi usiaku sudah bukan anak lagi ‘kan. Setidaknya aku menyadari ini
bukan saatnya meratapi kenyataan. Aku harus bangkit dari kehilangan.
Seperti waktu aku bangkit dari kehilangan wanita yang
kucintai kemarin, sebuah ilmu harus aku pelajari. Hikmah harus aku gapai. Tidak
bisa terus bersama dengan perasaan kehilangan dan perlahan-lahan putus asa
terhadap hidup. Melakukan sesuatu tanpa kemantapan hati. Bergerak namun
tindakanku tidak memiliki nyawa. Tidak bisa lagi untukku hidup seperti itu.
Sebuah tujuan baru harus aku rumuskan.
Tujuan untuk bertahan hidup dan melakukan sesuatu yang
berguna untuk orang lain. Terutama untuk Ibuku dan adik-adikku. Sebagai lelaki
aku tidak bisa jadi seseorang yang terus berada dalam penjagaan. Naluri lelaki
adalah bertarung dan kancah pertarungannya adalah hidup. Lelaki harus memiliki
kemauan untuk melakukan apa saja demi sesuatu yang dipegangnya.
Beda dengan perempuan yang nalurinya menjaga.
Aku hanya berharap apa yang aku lakukan bisa membuat
orang-orang di sekitarku merasakan manfaat dari keberadaanku. Bahwa aku hidup
juga memiliki keberartian di hati orang lain. Bukan untuk memancing perhatian
atau cari muka. Sebab saat aku mati satu-satunya yang akan diingat dariku
adalah nama. Apa saja yang telah aku lakukan menentukan bagaimana nama itu akan
dikenang.
Awalnya aku menulis tulisan ini hanya karena kesedihanku
sudah terlalu lama kupendam.
Sekarang aku menuliskan ini untuk setiap pembaca yang sedang
mengalami kehilangan. Para pembaca yang kehilangan orangtuanya. Beban hidup
sudah berbeda sekarang dan kita harus menyesuaikan. Dari seseorang yang dijaga
menjadi seseorang yang menjaga. Dari yang menggantungkan jadi yang
digantungkan. Itulah yang disebut perkembangan.
Jangan menyerah untuk sesuatu yang kita perjuangkan.
Itu yang membuat kita merasa hidup. Jadi jangan sampai
kehilangan arah dan membuang semua yang telah kita bangun. Hidup baru sudah
terbentang namun bukan berarti membuang masa lalu. Ada yang harus kita lepaskan
namun jangan terlalu memaksa. Dan jangan terlalu lama berlarut dalam kesedihan.
Kita tidak bisa hidup di saat ini ketika kita tidak mampu melepaskan masa lalu.
Setidaknya, itu yang kumengerti sekarang.