Sekitar satu bulan yang lalu, hanya
berbekal GPS di handphone android,
saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Semarang menggunakan motor matic kesayangan
saya. Bisa dibilang ini adalah kali pertama saya melakukan perjalanan jauh
dengan motor matic (sekali lagi) kesayangan saya itu. Dan perlu
diketahui, saya tidak pernah pergi ke Semarang seorang diri. Seingat saya, dulu
pernah ke Semarang, itu pun selama perjalanan saya hanya tidur. Namun karena
ada urusan di Semarang, dan hanya belajar rute dari gugel mep, seperti yang pernah kawan saya lakukan ketika hendak
melakukan kencan pertamanya ke Dieng, yaitu hanya belajar dari rute gugel mep. *Halah itu lho bro pas kamu pinjam uangku 500rb
katanya buat pegangan. Hahaha
Selain mempelajari rute perjalanan
dari gugel mep, saya juga bertanya
kepada salah satu kawan saya yang bekerja di Semarang. Dan salah satu pesan
yang saya ingat dari kawan saya adalah, “Pokoknya
ambil arah Jakarta, Rik”. Sebenarnya kawan saya sudah menawari untuk
menjadi tour guide secara suka rela. Namun
saya adalah tipe orang yang tidak mau menyusahkan orang lain, saking tidak maunya menyusahkan orang
lain, alhasil saya justru sering disusahkan orang lain, *sambil elus dada
Saya berangkat dari Boyolali minggu
siang. Dan untuk mengawali perjalanan, saya mampir dulu di Soto Segeer Hj
Fatimah. Setidaknya soto segeer membuat badan saya yang kala itu sedikit nggreges-nggreges menjadi jadi lebih
seger lagi, mengingat perjalanan kala itu akan menghabiskan waktu kurang lebih
sekitar 3 jam. Selesai menyantap semangkuk soto, wedang jeruk panas, serta beberapa gorengan, saya langsung menggeber motor saya menuju Semarang.
Sekali lagi, hanya berbekal GPS, serta ancer-ancer “sik penting arah Jakarta”
Rute yang saya pelajari melalui gugel mep, dari Boyolali, melintasi
jalan lingkar Salatiga, kemudian kawasan industri Ungaran, Bawen, Bergas
kemudian melewati Undip, Simpang lima ambil kiri, Tugu muda lurus terus sampai
kawasan Tugu. Namun, ketika diperjalanan saya sepertinya lebih mempercayai
ancer-ancer dari kawan saya dan lebih memilih untuk menghianati gugel mep, yaitu “sik penting arah Jakarta”. Jadilah setelah undip saya ambil jalur
alternatif ke Kendal, karena tujuan saya kala itu juga di kawasan industri Tugu,
melewati RS Kariadi, Sampokong dan barulah sampai Jalan Semarang - Kendal.
Ternyata justru lebih cepat dari yang telah saya pelajari sebelumnya di gugel mep.
Awalnya saya ingin menginap di
penginapan yang murah saja, karena urusan saya masih senin pagi. Jadi menginap
di penginapan adalah salah satu solusinya. Sekali lagi saya tidak suka
menyusahkan orang lain. Karena saya yakin, di Semarang pasti banyak penginapan
murah. Namun, Om saya yang mendengar rencana saya itu, kemudian langsung tidak setuju jika saya
menginap di hotel. “Kalo kamu digrebek
satpol PP piye terusan?” . Jujur saya tidak berpikir sejauh itu, karena
saya hanya butuh tempat tidur, kemudian klipuk
sambil menunggu pagi, udah itu aja.
Om saya menyarankan untuk menginap di rumah kerabat kami yang tinggal di Semarang. Ada beberapa
yang direkomendasikan kepada saya. Namun, saya memilih kerabat saya yang masih
bujang. Karena menginap di tempat kerabat yang sudah berkeluarga pasti hanya
membuat saya menjadi sungkan. Akhirnya saya menelpon kerabat saya, kemudian
meminta alamatnya.
Kontrakan kerabat saya itu ternyata
di dekat simpang lima, tepatnya di Jl Majapahit. Setelah muter-muter dan bertanya ke tukang becak akhirnya ketemu juga. Dan
saya di jemput di indomart dekat kontrakannya.
Sesampai di sana saya berbasa-basi
sedang main ke Semarang dan sedang butuh tumpangan untuk tidur. Dengan senang
hati kerabat saya kemudian membersihkan kamarnya dan menyuruh saya untuk
beristirahat. Sebenarnya agak sungkan juga, mengingat saya dijamu layaknya tamu.
Seperti dibuatkan minuman, dibelikan cemilan, serta dibelikan makan malam. Tapi
emang dasarnya saya sedikit rakus, malam harinya saya pamit jalan-jalan
sebentar, meski sebenarnya saya lapar dan ingin membeli nasi goreng.
Selama di rumah kerabat saya, saya
hanya tiduran di kamarnya serta bermain handphon. Sedangkan tuan rumah, yaitu
kerabat saya, nampak sibuk dengan pekerjaannya. Karena bagi kerabat saya, rumah
bukan hanya sekedar tempat tinggal, namun juga tempat dia berkarya.
***
Sejujurnya, urusan saya di semarang
adalah mengikuti seleksi di salah satu perusahaan. Saya rela mbolos kerja demi mengikuti seleksi itu.
Meski saya lolos tes psikologi, kemudian berhak mengikuti interview dengan HRD,
namun saya gagal. Dan itu tidak membuat saya kecewa. Sebagai orang yang
berkarir di dunia HRD, saya sudah bisa membaca bahwa saya gagal di interview
HRD. Hal itu saya ketahui ketika mencoba membaca gesture interviewer, yang
merupakan HRD senior di sana.
Dalam hati, kapan lagi saya nekad
motoran ke Semarang. “Mungkin ini bukan
rejeki saya”. Saya mencoba untu menerima kegagalan saya kala itu.
Bukan hanya itu saja saya mengalami
kegagalan. Saya pernah gagal tes, bahkan hingga dua kali untuk perusahaan yang sama,
yaitu di salah satu perusahaan BUMN yang bergerak di bidang penjaminan sosial.
Kemudian saya juga pernah gagal di sebuah perusahaan permodalan, dan itu juga
dibawah BUMN. Bahkan saya pernah mengikuti seleksi di rival perusahaan tempat bekerja saya saat ini. Respon user kala itu
positif, namun hingga saat ini, sepertinya budget
penambahan karyawan untuk posisi yang saya lamar belum di approve. Bahkan user yang meng-interview saya kala itu, kini justru
sudah pindah kerja. Lagi-lagi itu semua bukan rejeki saya.
Beberapa hari yang lalu ada telpon
masuk dari nomor yang tidak saya kenal. Waktu saya angkat ternyata dari HRD di
salah satu perusahaan di Salatiga. Dan ia menjelaskan bahwa perusahaannya saat
ini sedang melakukan ekspansi dengan membuka pabrik baru di Semarang. Dan untuk
pertama kalinya, hanya melihat CV saya di Jobstreet kemudian interview
dilakukan melalui telpon. Batin saya kala itu, “ini seleksi macam apa?”. Akhirnya saya mbolos kerja lagi untuk
mengikuti seleksi di sana, yaitu tes psikologi dan interview lanjutan.
Sesampai di sana, saya langsung
minder mengingat pesaing saya rata-rata lebih senior dari saya. Sesuai dengan feeling saya, saya mendapat email bahwa
saya gagal dalam seleksi tersebut.
Mungkin saya terlalu sombong. Dan
baru kali ini kredit kegagalan benar-benar menghampiri saya. Ketika saya
mengalami kegagalan demi kegagalan itulah, saya langsung merenungkan tentang apa
yang sedang menimpa pada diri saya sebenarnya, dan tentang apa yang seharusnya
saya lakukan.
Dalam renungan itulah saya sadar,
bahwa yang harus saya lakukan saat ini sebenarnya hanya bersyukur dengan apa
yang saya terima saat ini. Tentu bersyukur di sini dengan bekerja penuh
semangat. Karena barangkali juga, mungkin ada juga yang belum rela ketika saya
harus meninggalkan tempat kerja saya saat ini, mengingat saya belum begitu
berkontribusi apa-apa terhadap perusahaan yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk berkarya.
Kegagalan demi kegagalan yang menimpa
saya akhir-akhir ini, adalah nasehat bagi saya agar saya selalu bersyukur, dan
tidak mengeluh tentunya. Apalagi mengeluh hanya karena hari ini adalah senin.