![]() |
Sumber gambar: pinterest |
Semangat baru, mungkin bisa dibilang begitu. Tapi sebenarnya
tidak pernah ada yang baru di dunia ini. Semua kejadian ya hanya itu-itu saja.
Tidak pernah ada tempat baru, yang ada hanya tempat yang belum kita kunjungi.
Tidak ada kejadian baru yang ada hanyalah kejadian yang belum kita kita lalui.
Sejujurnya, aku tidak percaya bisa merasakan keadaan ini lagi. Merasakan
ketenteraman yang entah kapan terakhir aku rasakan.
Beberapa waktu kemarin aku sempat tidak tahu apa yang
terjadi pada diriku.
Hari-hariku kering dan tidak bermakna. Hatiku mati dan aku
merasa seperti zombi. Semua pintu hatiku untuk merasakan seperti sudah
terblokir oleh sesuatu. Baru beberapa waktu ini aku berniat membuka blokir itu.
Membuka pintu masuknya hawa dan pemikiran baru. Jujur saja itu sedikit
mengubahku dari apatis jadi setingkat lebih optimis. Beberapa hal mulai ku
lihat berbeda.
Awalnya aku kira sudah tidak mungkin lagi menyambung hati
lagi dengan orang lain.
Siapa pun bahkan ibuku sendiri tidak mungkin lagi saling
memahami. Saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Hingga kemarin minggu
aku bertegang lagi dengan ibuku. Masalahnya sepele karena bando yang tidak
ketemu saat ibu mencarinya. Aku lupa dulu menyimpan bando itu atau membuangnya.
Sebab aktivitas bersih-bersih rumah beberapa bulan ini melibatkan banyak sekali
barang.
Ibuku memang tidak pernah kasar kepada ku.
Beliau selalu berusaha bicara dengan halus dan tidak
melibatkan amarah. Ya meski pun saat aku kecil amarah dan amukan beliau sempat
aku saksikan. Tentu dengan kondisi Simbah juga mengamuk dan marah tanpa
kendali. Seperti Hashirama Senju melawan Madara Uchiha (serial Naruto) pertarungan
mereka dulu. Melegenda dalam batinku hingga sekarang. Memberi bekas yang tidak
pernah hilang.
Simbah pernah bertindak kasar kepadaku. Melemparkan air
dalam baskom sayur ke mukaku. Beliau marah karena rendaman sayuran itu aku buat
mainan. Kontan aku menangis dan merajuk. Simbahku tidak pernah meminta maaf
atas kejadian itu. Bagaimana pun aku masih sangat kecil waktu itu. Bahkan Tuhan
saja tidak memberi justifikasi kesalahan jika itu dilakukan anak yang belum
baligh. Sementara Simbah menghukumku hanya karena bermain air.
Ibuku berbeda dalam memberikan gambaran sikap agresif.
Ya aku tidak perlu mengatakannya secara detil. Pada dasarnya
Ibuku memang orangnya senang mempertahankan pendapat. Apa saja yang ‘menyerang’
pendapat itu akan ia usir jauh-jauh. Di sisi lain Simbah sendiri tidak suka
pendapatnya ditentang. Jadilah keduanya tidak pernah menemui sepakat dalam hal
apa pun. Aku masih meraba kira-kira apa yang bisa membuat keduanya kompak.
Sulit membuat suasana keluarga jadi lebih hangat di tengah amarah dan dendam
yang berkecamuk.
Tidak semudah menarik napas dan menghembuskannya kembali.
Anyway, mengapa aku menceritakan ini kepada pembaca? Mungkin
tulisan ini tidak layak dibaca karena membicarakan keburukan dalam keluarga.
Karena aku ingin agar siapa saja yang membaca tulisanku tidak merasa sendirian
menghadapi masalah dalam hidupnya. Tidak setiap kita memiliki latar belakang
keluarga yang baik. Agar siapa saja yang merasa terpuruk karena perkara di
keluarganya, bisa sedikit tersenyum karena merasa memiliki teman. Teman yang
mengerti betul bagaimana perasaannya.
Perasaan tidak berdaya karena keluarga menghalangi banyak hal dalam hidup.
Kembali pada kasus pertegangan aku dan Ibuku tadi. Beliau
berusaha mengungkapkan perasaannya kepadaku. Perasaan karena ditinggal pergi
Bapak menuju alam keabadian. Ibuku kembali nostalgia dengan putaran kenangan
bersama Bapak. Dari yang menyenangkan hingga menyakitkan. Lebih lagi beliau
menyesali pilihan-pilihan yang dibuat. Mengapa tidak mengunjungi Bapak sewaktu
masih hidup, mengapa dulu tidak membawaku bertemu beliau dan banyak lagi hal
lain. Ibuku benar-benar merasa dirinya berada dalam kekecewaan yang sangat
mendalam.
Akhirnya aku yang harus meredakan kekecewaan itu.
Mau tidak mau saat aku pulang suguhan pertama adalah
curhatan Ibuku tentang kegalauannya. Merasa lucu kadang melihat Ibuku begitu
sentimentil dengan kejadian-kejadian di masa lalu itu. Sebab sudah lama beliau
mematikan hati agar tidak merasakan apa-apa lagi. Beliau mengubur semua yang
dirasakan. Akhirnya saat benar-benar kehilangan Bapak, yang tidak ditemuinya
lagi selama lebih dari seperempat abad, perasaan yang dikubur itu bangkit
kembali.
Aku melihat sendiri bagaimana Ibuku begitu menyesal karena
tidak bertemu dengan Bapak selama masih hidup. Ibu begitu menyesalinya hingga
beberapa waktu selepas sholat, beliau menangis. Lama sekali aku tidak tahu
Ibuku menitikkan air mata dari dalam hatinya. Sementara Simbahku terganggu
dengan nelangsa itu. Beliau tidak rela Ibu masih menyimpan perasaan kepada
Bapak. Satu-satunya yang membuat rumit kisah cinta Ibu dengan Bapak, dulu
bahkan sekarang setelah beliau meninggal.
Pun aku sendiri juga merasakan kerumitan itu saat bicara
dengan Simbah mengenai pernikahan.
Bukan hanya pernikahan sih tapi banyak hal yang ingin aku
lakukan. Simbah selalu mengaburkan kepercayaan diriku saat akan melakukan sesuatu.
Apa yang kuanggap menyenangkan buat Simbah memalukan. Seperti saat jualan sosis
dulu, satu usaha yang ingin aku kembangkan setelah lulus kuliah. Simbahku tidak
puas dengan upaya yang sedang aku jalankan. Beliau ingin aku menjadi seperti
ideal keinginannya.
Aku tidak bisa meraba ideal keinginannya itu.
Lantaran setiap yang aku coba lakukan selalu salah di mata
Simbah. Bahkan saat anak-anaknya menyelenggarakan pesta ulang tahun Simbah
beberapa tahun lalu, beliau malah bilang anak-anaknya ingin agar dia cepat
mati. Apa saja kebaikan yang kami, keluarganya lakukan selalu tidak pernah masuk
ke hati SImbah. Di sisi lain kita keluarganya ini sudah berusaha untuk
menyenangkan hati beliau. Beliau tidak pernah bisa melihat itu. Simbah sudah
menutup hatinya rapat-rapat.
Saat aku bilang ingin menikah, usiaku masih 25, Simbah
bilang agar aku menikah umur 30. Usia yang sejujurnya sudah aku harapkan
memiliki beberapa malaikat kecil bersama istriku. Membangun keluarga sederhana
yang jadi inspirasi buat keluargaku, di mana kebanyakan adalah keluarga kaya. Menghubungkan
tali silaturahmi keluarga yang putus karena terhalang silau materi.
Aku ingin melepaskan diri dari arogansi Simbahku itu maka
aku coba tinggal di kos. Aku coba membangun hidupku sendiri. Namun sekali lagi
Simbah tidak membiarkanku menjalani hidup sebagai manusia mandiri. Beliau
bilang ingin melihatku senang namun kenyataannya aku malah merasa beliau ingin
melihatku susah. Agar tetap bisa membantu dan ‘memiliki’ aku, karena aku dalam
kondisi susah.
Aku merasa serba salah dan selama ini aku hidup dalam
dilema.
Aku tidak pernah mandiri memilih tujuan dan caraku sendiri.
Hidup tidak pernah aku bisa nikmati sendiri karena setiap yang aku lakukan
pasti membuat seseorang terluka. Ibuku disalahkan atas setiap perilaku yang
tidak seperti keinginan Simbah. Mau bagaimana? Akhirnya aku mematikan harapanku
dan memilih hidup seperti petapa. Mencoba memutuskan diri dengan ikatan
duniawi. Akhirnya putus asa hingga ingin mati.
Saat ingin menikah dulu aku benar-benar berpikir ribuan kali
membawa calon ke rumah.
Bisa dibayangkan bagaimana hidup nanti bersama Simbah. Sebab
keinginanku menikah tidak sejalan dengan keinginannya. Pada keadaan itu ndilalah dulu kondisinya Si Doi sudah
diburu-buru orangtuanya menikah. Pilihan sulit memang namun aku juga tidak bisa
mengorbankan salah satu dari mereka. Akhirnya aku menunggu waktu yang tepat dan
sempat terpikir dalam benakku untuk tidak menikah.
Satu yang kusadari: itu pikiran terburuk dalam
hidupku.
Hatiku berontak dan amarahku tidak kontrol kepada
orang-orang dekat di sekitarku. Salah satunya adalah gadis yang aku cintai
sekarang. Beberapa waktu lalu aku menunjukkan sikap otoriterku kepadanya. Aku
lepas kendali. Dia adalah salah satu orang yang ku pilih untuk melihat sejatinya
diriku saat itu. Namun ternyata ia seperti teman-temanku yang lain, tidak kuat
menahan gejolak batin dalam hatiku.
Namun, perhatiannya telah membuka hatiku. Setidaknya memberi
pijakan awal karena aku sadar membuka hati itu tidak mudah. Ia gadis yang
sangat baik dan selalu memikirkan orang lain. Tidak pernah memikirkan dirinya
sendiri. Rela berkorban demi membahagiakan orang lain. Mungkin karena itulah
aku memilihnya jadi tempat bersandar setelah bertahun-tahun menyimpan semuanya.
Aku ingin menangis saat di dekatnya namun yang keluar selalu amarah. Rasa sepi
membunuh setiap cahaya yang masuk ke hatiku.
Perasaan itu pun semakin menguat ketika tanggungjawabku
bertambah.
Harus memenuhi tanggung jawab sebagai lelaki. Menjadi
contoh, mampu berusaha sendiri, mencari pasangan, berbakti kepada ibu, menjadi
kakak. Semua itu tertabrak dengan kesulitan melerai ego Simbah yang melihatku
masih seperti anak-anak. Beliau tidak mau memperlakukanku lebih longgar dan
menyalahkan setiap orang yang dilihatnya memberi beban kepadaku. Orang yang aku
sayangi dianggap beliau pengganggu bahkan Ibu pun dianggap begitu.
Bisa dibayangkan istriku nanti jadi dendeng menghadapi
Simbah.
Suatu hal yang sangat berat karena toh pasti Simbah selalu
mencari-cari kesalahan. Simbah tidak pernah mampu melihat sisi baik dari
seseorang. Kecuali bila itu memihak keinginannya. Pendapat bulik-bulik adiknya
Ibu pun begitu, yang penting keinginan Simbah, yang lain nanti saja. Aku yang
harus menuruti keinginan mereka dan mengabaikan setiap peluang untuk membangun
hidup.
Aku sulit membuka hati karena yang aku lihat dari membuka
hati adalah rasa sakit. Aku butuh seseorang yang mencintaiku namun melihat ia
akan tersakiti, rasanya lebih baik aku mati saja. Mana mungkin aku tega melihat
orang yang aku cintai menangis. Dulu Ibuku pernah menangis sekali karena salah
seorang mantunya Simbah. Aku marah dan memancing diadakannya sebuah
persidangan. Di situ aku yang dipaksa untuk minta maaf kepada seseorang yang
telah melukai hati Ibuku.
Sekarang aku sadar pilihan terbaik untuk menghadapi semua
itu adalah membuka hati.
Dan aku tidak menyangka, baru membuka hati sudah ada
kejutan. Kamis malam seminggu lalu, adik pertamaku tiba-tiba memberikan selembar
kemeja. Saat menerimanya aku merasa dunia berhenti berputar selama beberapa
detik. Aku awalnya tidak mau menerima karena aku merasa tidak layak dicintai.
Namun aku sadar aku harus membuka hati. Aku tidak mungkin hidup sendiri.
Pertolongan dan pemberian seseorang harus aku terima demi menghidupkan cahaya
hatiku kembali.
Aku terima pemberian itu dengan menahan bulir air dari
mataku, sudah lama aku tidak merasa dicintai.
Dan kini aku setiap hari berusaha terus membuka hati.
Memperluas samudra hatiku dalam menjalani hidup. Hal-hal yang semula aku lihat
jahat kini aku bisa menilainya baik. Seperti kasih sayang Simbah yang posesif
aku mulai bisa melihatnya sebagai sesuatu yang tidak perlu aku lawan. Perhatian
dari orang yang ku cintai aku lihat sebagai perhatian seorang teman yang
mengerti. Aku coba menghargai itu dengan tidak lagi melihat ke belakang dan
menjalani hidup.
Ikatan itu akhirnya bisa aku rasakan lagi, ikatan hati
dengan hati.
Persetan dengan agresifnya Simbah, pasifnya Ibu, dan segala
sifat jelek orang-orang yang aku temui. Semua adalah sisi kemanusiaan yang
harus aku terima. Sebab aku juga manusia dan aku tidak bisa terus merasa mampu
melakukan sesuatu di dunia ini. Ada waktunya aku sakit dan jatuh tidak mampu
berdiri. Pun aku ada waktunya mati. Bila tidak sekarang membuka hati aku tidak
yakin akan damai saat aku mati. Sebab iman datang ketika kita mulai membuka
hati.
Menutup hati barangkali cara yang cepat dan mudah. Namun
perasaan ayem tentrem dalam hidup
takkan kita dapatkan. Kita akan dikejar sesuatu yang lain yakni kebutuhan
mencintai dan dicintai menagih setiap saat. Menutup hati hanya akan membuat
hidup kita semakin terasa sulit. Makan enak dan harta banyak tidak akan dirasa
cukup. Sebab batin kita kelaparan dan jiwa kita merana.
Trauma terhadap seseorang tidak harus menjadikan kita trauma
kepada semua orang.
Trauma memang hal yang sulit, namun bila tidak dihadapi akan
datang kesulitan yang lebih banyak. Menghadapi sekali untuk membangun
ketentraman yang lebih lama adalah jalan yang harus ditempuh. Mau tidak mau
kita harus mencintai karena bila tidak kita hanya akan rugi. Hidup hanya sekali
dan setelahnya kita harus menghadapi keabadian. Bila tidak sekarang kita
memperbaiki, kita akan rugi.
Kita tidak mungkin terus menunda berbuat baik bila tidak
ingin hidup setelah ini jadi buruk. Hanya ada pilihan untuk mendidik akal
karena itu yang akan menyelamatkan kita. Suatu saat apabila Tuhan bertanya mengapa
memilih begini begitu, kita tidak akan ragu menjawab. Bukan alasan atau
pembenaran namun dasar dari setiap perbuatan kita sudah jelas. Dan kita tidak
bisa terus lari dari kenyataan bahwa kita adalah hamba dan mahkluk yang tidak
sempurna.
Kita hidup tidak mencari enak tapi mencari selamat. Kita
tidak mencari aman tapi berharap tantangan. Sebab itu yang akan membentuk kita
di keabadian. Bagaimana jiwa kita bersinar oleh cinta yang kita pancarkan.
Bagaimana jiwa kita bersih dari penyakit-penyakit hati yang mengotori jiwa.
Bagaimana jiwa kita selamat melalui pengadilan Tuhan. Mendapatkan pertolongan
dari orang-orang yang telah kita tolong di dunia.
Kalau kita tidak bersusahpayah di dunia sementara ini, kita
akan bersusah payah di akhirat yang abadi.