![]() |
Sumber gambar |
Hari sabtu ini, kebetulan saya libur. Tidak ada pekerjaan yang mengharuskan saya untuk overtime. Tidak ada agenda lain, kecuali hanya untuk bermalas-malasan di rumah sebagai obat kejenuhan setelah hampir sepekan bekerja dengan penuh tekanan. Saya seharian hanya dirumah saja, baca-baca buku, browsing, menonton teleivisi, dan sesekali keluar rumah hanya untuk membeli cemilan di minimarket dekat rumah.
Hingga siang hari, rumah yang awalnya sepi, satu persatu
penghuninya mulai berdatangan lagi setelah menyelesaikan segala rutinitas di
luar rumah. Nampak wajah-wajah sumringah,
karena hari ini adalah weekend. Dan
wajah sumringah itu akan berubah
dengan sendirinya ketika menjelang hari senin. Kenapa bisa begitu? Entah lah.
Sepertinya weekend
kali ini tidak ada agenda ke luar rumah untuk mengisi akhir pekan kami.
“sesekali, kita di rumah saja, tidak usah pergi-pergi dulu”. Semua seakan
mengiyakan saja. Mungkin kami semua kebetulan sedang ingin bersitirahat saja di
rumah.
Dan ketika sore hari, ketika saya selesai mandi, dan membuat
kopi untuk menemani suasana di sore hari. Saya melihat adik keponakan saya yang
masih berumur 7 tahun, sudah khusyuk
di ruang tamu sambil memandangi layar gadget-nya.
Gadget hadiah ulang tahun yang
ketujuh yang diberikan oleh orangtuanya itu, kini seperti sudah menjadi mainan
baru baginya. Bahkan seisi rumah pun sampai tidak ada yang diperbolehkan untuk meminjamnya,
barang sebentar saja.
Saya semakin sering meilhat adik saya asyik dengan gadget-nya. Ketika sedang asyik dengan gadget-nya, ia seakan asyik dengan
dunianya sendiri. Bahkan ketika dipanggil orangtuanya, ia tidak segera
merespon. Saya yang sedang berseliweran di sampingnya, dan berkali-kali
memanggilnya untuk mengajaknya mengobrol seakan hanya dianggap sebagai angin
lalu. Kini dunia yang luas ini, sepertinya mampu dikalahkan oleh layar gadget yang berukuran kurang lebih 7
inchi itu.
Saya seketika itu langsung ingin flashback kembali ke masa kecil saya. Ketika saya masih seusia
dengan adik keponakan saya saat ini. Saya yang kebetulan lahir dan besar di
lingkungan pedesaan, banyak anak-anak kecil yang sebaya dengan saya pada saat
itu. Saling bermusuhan dan membentuk “geng” sendiri adalah hal wajar. Dan
segala permusuhan itu akan berakhir dengan sendirinya hanya dengan sekedar kata
“maaf”.
Banyak permainan-permainan yang kami mainkan dengan teman-teman
sebaya masa kecil saya. Tanpa disadari,
ternyata permainan-permainan yang kami mainkan bersifat musiman. Ketika habis
panen padi dan menginjak musim kemarau misalnya, hampir di setiap desa mulai
bermain layangan, kami pun menyebutnya dengan musim layangan. Setelah bosan
dengan layangan, entah karena inisiatif sendiri atau karena pengaruh dari
permainan dari desa lain, musim layangan pun berganti dengan permainan lainnya,
seperti musim bermain kelereng, musim bermain delikan atau dalam bahasa Indonesianya adalah petak umpet, betengan,
kasti, gobag sodor, Benthik, egrang, engklek, serta karambol. Dan masih banyak
lagi permainan-permainan tradisional yang kini sudah mulai dilupakan.
Dulu masa kecil saya, masih banyak lahan kosong yang
digunakan untuk tempat bermain anak-anak, hingga di jalan-jalan yang sepi pun
tidak luput kami gunakan sebagai tempat bermain. Namun kini sudah jarang saya
temukan, yang kerap saya temukan adalah segerombolan anak-anak yang sibuk
dengan gadget-nya dan bermain adu
strategi via game online.
Saya terkadang merindukan ketika masa kecil dulu, ketika saya
bermain benthik dengan teman-teman, secara tidak sadar saya sedang belajar
berhitung. Ketika saya bermain delikan, secara tidak sadar pula saya belajar
sportifitas dan kejujuran. Karena sebelum memulai permainan delikan ada kesepakatan
yang kami buat sebelumnya. Seperti tidak boleh bersembunyi di dalam rumah,
tidak boleh bersembunyi di luar daerah yang sudah kami tentukan sebelumnya. Dan
saya masih teringat ketika sedang bermain delikan. Ketika saya sedang bersembunyi, saya dipanggil pulang agar segera
mandi. Sebagai anak yang berbakti, saya pun pulang dan mandi serta saya sempatkan
makan dulu. Dan ketika saya mau kembali ke tempat permainan delikan tersebut,
ternyata yang jaga masih sama, saya pun keluar dengan baju sudah ganti dan
sudah rapi karena sudah mandi. Teman saya pun cuma cengengesan, dan saya pun hanya bisa nyengir.
Bermain delikan akan lebih seru ketika kami lakukan pada
malam hari. Biasanya ketika ada tetangga yang sedang punya gawe, atau hajatan, maka di desa akan terlihat ramai. Kami pun
sebagai anak-anak juga tidak luput untuk meramaikan suasana dengan bermain delikan. Aturannya tetap sama, tidak boleh ndelik, atau bersembunyi di dalam rumah,
dan kami juga sudah menentukan area mana saja yang akan digunakan tempat
bersembunyi. Biasanya karena dilakukan di malam hari, yang jaga ada dua,
sedangkan yang lain bersembunyi serta akan berakhir ketika semua sudah
diketemukan. Dan saya pun heran kenapa dulu saya tidak takut bersembunyi di malam
hari. Karena pernah juga saya bersembunyi, dan ternyata setelah sudah beranjak
remaja, baru saya ketahui bahwa tempat yang pernah saya gunakan untuk
bersembunyi adalah salah satu tempat yang angker di desa saya.
Bermain delikan bukan hanya monoton dengan saling suit, kemudian yang kalah yang
jaga. Ada media alternatif lain yang kami gunakan. Misalnya dengan menggunakan
kaleng bekas, dengan bola, kemudian dengan tumpukan pecahan genteng. Namun pada
intinya sama, yaitu ada satu yang jaga, namun bagi yang sudah kena duluan (kami
biasanya menyebutnya, bagi yang sudah di-dul)
masih bisa diselamatkan dan bersembunyi lagi. Ketika yang jaga terlengah dan
yang bersembunyi berlari untuk mengambil kaleng dan melemparkan jauh, serta
yang lain berlari untuk bersembunyi lagi hingga yang jaga mengambil kaleng
tersebut dan meletakan di tempat semula. Atau dengan cara menata kembali
pecahan genteng hingga membentuk menara, dan semua, kecuali yang jaga, harus
bersemunyi di saat yang jaga menata pecahan genteng menjadi menara kembali. Atau
bisa juga dengan bola, yaitu bersembunyi ketika bola ditendang jauh, kemudian
yang lain bersembunyi hingga yang jaga mengambil dan meletakan bola tersebut
pada tempat yang sudah ditentukan. Namun hal ini biasanya berakhir ketika yang
jaga sudah hampir nangis karena sering jaga. Ternyata saya pernah kejam juga
waktu masih kecil, hehehehe
Tiada hari yang saya lewatkan kecuali untuk bermain. Bermain
pun juga bisa berarti olahraga bagi kami. Banyak permainan-permainan yang
melibatkan aktititas fisik, seperti betengan, yang lebih banyak berlari karena
lebih sering kejar-kejaran. Permainan kasti yang juga lebih banyak berlari
serta melatih kita dalam hal ketangkasan saat memukul bola. Gobag sodor yang
melatih motorik untuk segera merespon dengan cara menghalangi lawan agar tidak
lolos dari garis yang kita jaga.
Ada juga permainan egrang. Dulu saya akui saya adalah orang
yang penakut, dan dengan belajar bermain egrang lah saya seakan menantang
ketakutan yang ada dalam diri saya. Saya hilangkan ketakutan saya akan
terjatuh, kemudian berusaha untuk mengendalikan diri agar tetap tenang, hingga
akhirnya saya pun bisa bermain egrang.
Saya juga pernah bermain kelereng. Bermain kelereng ada yang
dengan cara mencari poin, dengan satu lubang sebagai lubang induk, ketika masuk
lubang dapat satu poin dan ketika mampu menghantam kelereng lawan dapat
tambahan satu poin. Kemudian yang menang adalah yang mampu mengantongi poin
yang telah ditentukan, misalnya game-nya
ketika dapat poin 10, dan ketika sudah punya poin 10, maka sudah bisa membunuh
lawan dengan cara menghantam kelereng lawan dengan kelerengnya.
Satu lagi permainan yang
masih saya mainkan hingga saat berstatus sebagai mahasiswa, yaitu
karambol. Entah karambol adalah permainan tradisional atau adopsi dari luar,
namun bermain karambol memiliki keasyikan tersendiri bagi saya. Karena banyak
kekonyolan yang terjadi ketika bermain karambol. Terutama yang menang bisa
mencoret muka lawan dengan bedak yang sekaligus berfungsi untuk pelicin koin
karambol.
Entah sudah berapa banyak permainan-permianan yang saya
mainkan bersama teman-teman masa kecil saya. Dan saya juga tidak memungkiri
juga, bahwa saya juga pernah “mencicipi” permainan-permainan game virtual yang menawarkan kecanggihan
teknologi, seperti game-game di play station. Setidaknya sebelum
revolusi grafis play station hingga
sekarang sudah semakin mendekati sempurna, saya pernah juga bermain play station 1 dengan kualitas gambar
yang begitu adanya.
Setidaknya saya bisa membandingkan, bahwa dolanan atau permainan masa kecil saya adalah permainan yang lebih
banyak melibatkan orang. Dan disitulah letak perbedaannya dengan game-game virtual yang (katanya) lebih
modern. Dengan melibatkan banyak orang kita bisa belajar saling memahami,
saling berbagi, belajar bersosialisasi, mampu mengekspresikan diri, serta
meningkatkan kemampuan motorik tentunya. Sedangkan game yang (katanya) modern itu, bisa dikatakan dilakukan oleh
beberapa orang, karena ada juga game
yang dimainkan oleh beberapa orang dalam waktu bersamaan, seperti halnya game online. Namun meski game itu
dimainkan secara grup, hal itu sama saja, karena tidak ada kontak fisik, bahkan
komunikasi pun hanya sekedar lewat tulisan teks berbalas teks tanpa memuat
emosi.
Begitu juga dengan adik keponakan
saya. Saya berharap adik saya hanya cukup mengenal saja game-game yang di gadget-nya, jangan sampai menjadi
ketergantungan. Karena akan menjadi lebih baik jika adik saya bermain dengan
anak-anak seusianya, bermain peran dengan boneka-boneka kertasnya, bermain pasaran dengan peralatan seadanya, baik
dari kardus-kardus bekas, serta membiarkan ia bermain dengan imajinasinya. Akan
lebih baik juga untuk perkembangannya jika ia bermain dengan teman-teman agar
belajar untuk berbagi, saling memahami antar sesama, dengan saling
berkomunikasi. Dan yang terpenting adalah dunia ini luas. Jangan sampai luasnya
dunia ini dikalahkan oleh sebuah layar yang hanya berukuran kurang lebih 7 inchi.
Begitulah dolanan masa kecil saya, dulu kamu pernah dolanan apa saja?
Disclamer: tulisan ini pernah diikutkan dalam sayembara menulis “Cerita
Dolananku” yang diadakan oleh komunitas anak bawang solo, dan pertama kali dimuat di
situsweb milik komunitas anak bawang solo, anakbawangsolo.org