Suara driver jeep yang mengantar kami dalam acara lava tour di wisata alam, Kaliurang. Pagi sekitar pukul 04.30 kami
semua sudah dijemput oleh deretan mobil jeep yang akan membawa kami semua untuk
napak tilas kejadian erupsi merapi
yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Target kami pagi itu, melihat sunrise di bekas bunker kali adem.
Mendengar kalimat yang dilontarkan
oleh driver jeep yang juga merupakan
warga sekitar. Saya tentu sedikit kaget. Saya harus melepas “jubah” agama
terlebih dahulu sebelum mencerna dengan baik kalimat yang dilontarkan oleh driver jeep yang membawa kami tersebut. Tentu,
hal itu tidak lain karena adanya ambigu dalam kalimat yang ia ucapkan. Jika saya
tetap bersikukuh mengenakan “jubah” agama dalam diri saya. Tentu dengan
gampangnya saya akan berteriak dengan lantang, “Kafir!”. Maklum lah level beragama saya masih remukan roti, masuk
ketagori “santri gugel” saja belum.
Sang driver menurut saya sudah sangat menguasai medan ketika mengantar
saya dan rombongan menyusuri bekas desa yang dulu terkena semburan awan panas
atau yang sering disebut dengan istilah wedus
gembel. Bahkan tidak jarang ia dengan sengaja seperti sedang pamer
ketangkasan dalam hal mengendarai mobil jeep. Beliau seakan menunjukan bahwa
gaya mengemudinya masih jauh lebih jago dari aksi-aksi Vin Diesel dalam film fast and furious. Ketika sedang
mengemudi dan menunjukan manuver-manuvernya, saya pun cuma duduk diam sambil
terus berpegangan dengan kuat.
Sambil melirik saya yang terus
berpegangan kuat, driver jeep
tersebut seolah ingin berkata, “Piye bro,
iseh sangar aku to mbange tokoh idolamu sik seneng ngebut kae”
Saya yang kebetulan dapat jatah
tempat duduk tepat di samping sang driver.
Sudah selayaknya pemandu navigasi dalam sebuah balapan offroad. Bedanya, kalo navigator dalam sebuah balapan berfungsi sebagai
pemandu dan membantu dalam membaca jalur balap, kalau saya cuma bisa merafalkan
doa-doa kesalamatan, sambil mbatin, “Karepmu Pak, aku penting slamet”
mengingat system keamanan dalam mobil jeep tersebut masih sangat ala kadarnya. Jangankan
helm, safety belt saja tidak ada.
Sang driver yang menurut saya kira-kira berumur sekitar 40 tahunan
tersebut, bukan hanya sekedar mengantar
kami ke setiap titik yang menjadi tujuan kami. Terkadang beliau seperti seorang
pemandu wisata atau tour guide yang
menjelaskan daerah-daerah yang sedang kami lewati. Selain itu, beliau juga
dengan senang hati menjadi fotografer kami untuk mengabadikan setiap momen yang
kami anggap wow.
Duduk di samping beliau membuat saya
sering mendengarkan bagaimana beliau menjelaskan kondisi sekarang pasca erupsi.
Saya mendengar cerita beliau, mengenai kondisi ekonomi warga saat ini, yaitu pasca
erupsi merapi yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
“Bisa dibilang, pasca erupsi merapi, banyak warga yang kaya mendadak” beliau mengawali ceritanya
“Kali itu” sambil
menunjuk sebuah sungai yang menurut penuturan beliau dalamnya kurang lebih 90
meter.
“Sehabis erupsi merapi, sungai itu sudah penuh oleh lahar dingin,
kemudian pasir itulah yang mengangkat ekonomi warga sekitar merapi”
“Dulu, orang-orang sini satu rumah paling cuma punya satu motor, itupun
belinya seken”
“Tapi sekarang, setidaknya mereka memiliki motor baru, truck, dan
beberapa yang memiliki mobil jeep”
Salah satu dari rombongan yang satu
jeep dengan saya pun, ternyata juga mendengarkan penjelasan dari beliau. Dan ia
pun bertanya dengan driver tersebut “Pak, tanah-tanah ini sekarang milik siapa?
Kan sekarang tidak boleh dijadikan wilayah pemukiman”
“Semua warga yang terkena erupsi, dibuatkan rumah oleh Kraton di wilayah
yang aman, sedangkan tanah di desanya yang tidak boleh dijadikan wilayah
pemukiman tetap menjadi hak milik warga”
“Semua kerugian warga dalam bencana erupsi diganti oleh Kraton, dalam hal
ini adalah Kraton Jogja, misalnya sapi ternak, per ekornya diganti 10 juta”
Asyik mendengarkan cerita beliau,
kami pun berhenti di sebuah rumah milik Pak Lurah yang kini dijadikan sebuah museum
mini. Museum tersebut berisi barang-barang sisa erupsi yang dikumpulkan
dari beberapa rumah. Seperti bekas sepeda motor yang terkena wedus gembel, Hewan ternak (sapi) yang
hanya menyisakan tulang belulang saja. Serta foto-foto para korban yang sangat
emosional. Saya yang kala itu melihat foto-foto kesedihan para korban saat
kejadian erupsi beberapa tahun silam, mampu membuat mata saya mrebes mili dan berkaca-kaca. Ini saya
serius, saya benar-benar mrebes mili, membayangkan bagaimana seandainya
saya mengalami kejadian itu.
Sehabis dari museum mini tersebut, kami
diberi bonus untuk offroad di sungai
dan basah-basahan, sebelum kami kembali ke hotel. Dan saya pun malah ketagihan
dengan meminta untuk menambah sekali putaran lagi, padahal kawan-kawan satu
rombongan jeep yang duduk di belakang sudah minta ampun. Meski, kawan saya
berlasan tidak membawa baju ganti, sang driver
pun seperti tidak menggubris dan
menuruti permintaan saya untuk menambah sekali putaran.
Sehabis basah-basahan offroad di sungai, ketika keluar dari
sungai tersebut, beliau menceritakan bahwa biaya masuk ke arena offroad di sungai tersebut hanya dua
ribu rupiah. Dan jika akhir pekan, pendapatan dari biaya masuk offroad di sungai bisa mencapai 1,5 – 2 juta
rupiah.
Piye, pengen resign ora sampeyan nek ngunu kuwi?
***
Cerita di atas hanya sepenggal kisah
liburan gratisan yang diberikan atasan saya. Karena beliau berhalangan hadir,
Beliau meminta saya untuk menggantikan menghadiri acara gathering yang diadakan oleh BPJS Keteganakerjaan Klaten. “Kamu, jumat-sabtu ndak ada acara to, Kik?
Ini hadiah buat kamu” Kata Pak manager sambil memberikan undangan kepada
saya.
Acara yang awalnya saya mengira bakal
berjalan dengan sangat formal, namun ternyata sekumpulan “acara hore” yang mampu membuat saya
benar-benar menikmati liburan gratisan tersebut.
Pengalaman napak tilas menyusuri
daerah-daerah yang terkena dampak langsung erupsi merapi. Kemudian bagaimana
mereka bisa bangkit lagi. Dan bagaimana mereka kini mampu melihat sisi positif
dari skenario Tuhan yang maha dahsyat.
Siapa saja yang mengalami kejadian
tersebut, yaitu erupsi merapi yang terjadi beberapa tahun silam, saya yakin
pasti akan mengalami trauma yang mendalam. Selain itu, tidak sedikit yang yang akan menganggap bahwa Tuhan sedang berlaku
tidak adil. Namun waktu membuktikan, betapa adilnya Tuhan. Mereka yang terkena
dampak langsung dari erupsi merapi, pelan-pelan mulai bangkit dari
keterpurukan. Mereka kembali mampu menatap hidup yang lebih cerah. Padahal beberapa
tahun yang lalu, ketika bencana erupsi menimpa mereka, membayangkan hidup
bahagia saja tidak berani.
Melihat masa depan sendiri, seperti
melihat kumpulan debu abu vulkanik. Buram! Namun, sekali lagi, Tuhan itu maha
adil. Dan Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan manusia. Buktinya,
mereka mampu bangkit kembali, menatap masa depan yang lebih cerah. Meski awan
hitam telah menghancurkan bukan hanya desa, namun juga harapan mereka.
Nb; foto diatas diambil oleh driver yang kebetulan belum sempat berkenalan dengan beliau.