Tulisan Menjiwai Tuhan ini, seperti biasa akan mengupas
pengalaman saya menemukan Tuhan. Jadi banyak sudut pandang subjektif dan
kata-kata yang mungkin sulit dimengerti. Seperti tulisan saya sebelum-sebelumnya lebih
didominasi logika dan perasaan kacau dan meledak-ledak. Saya sekarang sedang belajar bagaimana menulis dengan
imbang antara logika dan perasaan. Setiap menulis saya harus berpikir bagaimana
menyampaikan sekaligus bagaimana pembaca nanti akan menerima.
Kali ini artikel Menjiwai Tuhan mengambil judul derita. Saya
kira pembaca sudah sangat paham makna teoretis dan aplikatif kata itu. Sebab
kita selalu merasakan derita entah kita sadari atau tidak. Derita sejauh yang
saya ketahui memiliki elemen semacam pengorbanan, persembahan, siksaan,
kesulitan, luka, tantangan dan sebagainya. Siapa saja yang mendengar kata
‘derita’ pasti langsung siaga.
Apalagi melihat dan merasakannya.
Saya, mungkin juga kita, cenderung menjauh dari derita. Buat
saya derita itu tidak perlu ada. Seperti kata Sheila On 7 dalam lagu Berhenti
Berharap: Mengapa ada sang hitam, bila putih menyenangkan. Mengapa ada gelap
apabila cahaya menenteramkan? Bukankah setiap manusia butuh ketenteraman.
Mengapa tidak segala di dunia ini diciptakan bercahaya saja, putih saja. Rasa
kerinduan kepada sesuatu yang sempurna selalu menagih dalam keadaan apapun.
Rasa rindu itu yang mendorong kita mencari dan terus
mencari. Mencari sesuatu yang tidak mesti sekali cari lalu dapat. Kita mencari
satu sifat yang mampu melengkapi diri kita: sifat sempurna. Sifat adalah
sesuatu yang esensial, jadi ia tidak bisa kita indra dengan panca indra saja.
Sesuatu seperti ini memerlukan perjuangan dan ‘alat’ yang terus diasah. Alat
yang memiliki kemampuan menyerap dan memancarkan sesuatu.
Ya, alat itu (lagi-lagi) adalah hati.
Saya ingin menyuguhkan sedikit cerita. Cerita seorang teman
yang mengeluh karena terkejut dengan hidupnya sekarang. Setelah berumahtangga
teman saya mengalami pergeseran hidup cukup drastis. Semula apa-apa dipenuhi
orang tua, tahu-tahu harus memenuhi sendiri kebutuhannya. Ia yang masalahnya
sering dilindungi orang tua, kali ini harus memecahkannya sendiri bersama pasangan.
Namun ternyata yang ia temukan adalah pasangan tidak mampu selalu membantunya.
Derita ia rasakan begitu dahsyat dan memancing derai air
mata. Seolah-olah tidak ada neraka yang lebih menyiksa. Ia begitu terbelalak
dengan hidup yang dijalaninya. Beberapa kali ia mengeluh ingin mati dan
menyingkir dari dunia ini. Tindakannya bahkan sampai menyakiti diri sendiri. ia
bertanya pada saya bagaimana harus menghadapi kenyataan pahit itu. Saya tidak
bisa menjawab. Meskipun saya paksa menasihati, hati saya sebenarnya merasakan
kekeringan yang sama.
Saya terus merenungi derita yang saya alami, hingga akhirnya
mentok.
Saya merasa hidup ini semakin tidak lengkap. Awalnya saya
kira rasa incomplete itu akibat belum
menemukan pasangan. Menganggap bahwa hidup ini akan lengkap apabila ada
seseorang di samping saya. Logika itu terus saya percaya sampai tidak mau tahu dunia
telah berubah. Meski pun pikiran saya sudah mengingat satu teori derita dalam
buku Falsafah Hidup karangan Buya Hamka, logika saya berontak karena tidak
sanggup menalar tentang derita.
Logika berkata: untuk apa menderita, kenikmatan saja banyak
di luar sana.
Pemikiran itu terus saya percaya selama dua tahun ini. Saya
terus mencari obat derita dengan keenakan demi keenakan. Anehnya
keenakan-keenakan itu bukannya mengobati tapi membuat saya semakin menderita.
Aneh sekali, Mengapa keenakan begitu banyak namun jiwa saya serasa hampa. Saya
mendapatkan lebih daripada yang saya butuhkan, tapi mengapa tidak juga tumbuh rasa
cukup. Harusnya, bila ada kemudahan hati saya bersyukur dan merasa lapang. Tapi
mengapa malah kelapangan membuat saya semakin merasa sempit?
Jawabannya: derita yang saya alami belum cukup.
Jiwa saya menagih sesuatu yang menguji ketahanannya,
kekuatannya. Jiwa saya ingin sesuatu yang menantang dan memenuhi rasa rindu akan
derita. Saya mulai memahami bahwa derita dan sukacita itu saling menopang satu
sama lain. Keduanya berhubungan dengan cara yang tidak mampu dinalar oleh
logika. Meskipun masih banyak pertahanan-pertahanan diri menolak ‘logika’ baru
itu masuk dalam pikiran saya.
Beberapa waktu saya sadar masalahnya apa: egois mengejar
sukacita semata. Egoisme itu membuat adrenalin saya tidak terpacu. Hormon yang
memicu kebahagiaan tidak terangsang karena tidak ada sesuatu yang saya lakukan
untuk menantang batas. Saya butuh pertempuran, saya butuh sesuatu yang menyita
energi dalam diri saya. Saya butuh sesuatu yang menyiksa. Saya butuh merasa
hidup dan berkembang. Saya butuh merasa puas dengan diri saya.
Dan akhirnya saya mulai paham apa yang dikatakan Hamka: derita
itu perlu.
Pernahkah kita bertanya mengapa seseorang menyakiti diri
sendiri ketika depresi? Mengapa seseorang membunuh dirinya sendiri ketika
merasa muak dengan beban hidup? Bagaimana seseorang yang menderita dan sengsara
malah menambah rasa pedih dengan menyakiti diri sendiri. Bunuh diri, makna
sebenarnya ada pada rasa sakit di badan yang akan menyembuhkan rasa sakit di dalam.
Motivasi bawah sadarnya adalah meniadakan rasa sakit dengan rasa sakit.
Soal ini mungkin sulit diterima, karena kita terbiasa
mengartikan bunuh diri dengan mengakhiri penderitaan. Pemahaman itu tidak benar
menurut saya. Menolak derita akan membuat adrenalin kita tertahan dan
menggelitiki alam bawah sadar. Bawah sadar akan menagih derita karena energi tidak
tersalurkan. Pikiran bawah sadar selalu menyuruh kita untuk melakukan sesuatu
demi memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan itu salah satunya mungkin rasa sakit dan
derita.
Nalar saja, sesuatu yang terawat adalah yang kita olah dan
gunakan sesuai kemampuan. Seperti tubuh dan jiwa ada olahnya sendiri-sendiri. Olah
raga menyehatkan badan karena kita mengalami gerakan yang memicu otot-otot
terbiasa dengan tekanan. Olah jiwa adalah tindakan-tindakan berupa ritual yang
melibatkan rasa dan hati. Olah rasa dilakukan dengan memahamkan diri pada
sesuatu yang tidak dapat kita indra dengan panca indra. Menajamkan kemampuan
mengindra dengan hati dengan menyerap esensi dari suatu materi.
Derita adalah sesuatu yang membuat pemimpin itu layak memimpin. Orang-orang besar yang kita kenal mungkin sangat mengerti makna
derita. Salah satunya Muhammad yang meskipun sudah dijamin surga beliau masih sering
menangis dalam sholatnya. Beliau bahkan mau menunggui seekor kucing bangun dari
pangkuannya ketika seorang sahabat memanggil. Sampai akhir hayatnya, Muhammad masih
memanggil-manggil: ummatku, ummatku. Beliau masih memikirkan derita umatnya
ketika diri sendiri sedang menderita.
Kasih sayang macam apa itu.
Selain Muhammad saya mengenal kisah Sang Buddha yang
merelakan hidup bangsawannya demi memahami penderitaan. Ia bertapa di bukit
pertapaan, menyiksa diri, berpuasa, dan mengalami segala macam penyiksaan lain.
Siddharta, yang kelak diberi gelar Sang Buddha ingin memahami bagaimana
sesungguhnya penderitaan itu. Akhirnya ia mendapatkan pencerahan ketika melihat
salah satu muridnya rela mati demi dimakan seekor harimau. Nama Sang Buddha
yang melekat hingga sekarang bermakna Yang Tercerahkan.
Penderitaan dan sukacita hanyalah ilusi yang menyelimuti
pikiran dan menutup hati.
Derita hanyalah satu bagian yang membentuk dunia ini. Tidak
mungkin ada sukacita tanpa derita, tidak mungkin ada kenikmatan tanpa
pengorbanan. Kita harus jujur pada diri bahwa derita tidak bisa kita hindari.
Kita harus jujur derita dalam hidup perlu kita alami. Dengan begitu, senyuman kita
akan terasa lebih berarti. Rasa syukur akan lebih terasa ketika tumbuh di
tengah berbagai keterbatasan. Mungkin itulah alasan mengapa derita perlu ada di
dunia ini. Seperti kegelapan yang menuntun kita menuju cahaya.
Segala hal baik akan lebih bermakna ketika teruji dengan kesulitan
dan rasa sakit.
Menghindari kesulitan, khususnya derita akan membuat kita
lupa pada banyak hal penting. Menghindari sesuatu yang memang sudah jadi
kebutuhan hanya akan menumbuhkan rasa hampa. Ini membuktikan kebutuhan bukanlah
tentang enak semata. Kenikmatan dari Tuhan ada yang berupa derita, ada yang
berwujud sukacita. Bila kita mau sedikit berpikir keduanya tidak mungkin
dipisahkan dari realita alam semesta.
Kita tidak pernah mendapatkan cerita seseorang meraih rasa
enak, rasa longgar dengan cara enak dan longgar pula. Segala perubahan yang ada
di dunia ini membutuhkan perjuangan. Tuhan membuat alam semesta ini pun dengan
‘penderitaan’. Ledakan, kehancuran, tumbukan terjadi ketika Tuhan mengadakan
alam semesta ini. Tentu penderitaan, yang berwujud tumbukan energi-energi
raksasa dalam penciptaan itu hanya dalam kacamata manusia. Di mata Tuhan alam
semesta ini tercipta dengan begitu saja.
Pada akhirnya kita menyadari, tidak ada yang muncul begitu
saja di alam semesta ini.
Dibutuhkan derita untuk mencapai sukacita, dibutuhkan
sukacita untuk melipur derita. Manusia menderita karena menghindari derita. Semakin
menghindari semakin hampa. Derita adalah keniscayaan yang harus kita terima, biarkan
begitu adanya seperti kematian. Derita selalu mengikuti ke mana pun kita pergi,
begitu pula dengan sukacita. Kita saja yang kadang tidak mau tahu dan
menyadarinya.
Derita adalah bagian dari iman. Jihad atau perjuangan itu
erat kerabat dengan derita. Tidak ada kemenangan dicapai dengan leha-leha. Rasa
sakit dan kesepian semua bagian dari derita yang perlu. Derita yang membuat
perjalanan menjadi istimewa. Seseorang bisa saja kalah dalam suatu pertandingan
namun deritanya tidak pernah sia-sia. Apa yang ia dapatkan dari derita jauh
lebih penting dari penghargaan akan kemenangan.
Bermain logika bisa saja menyesatkan, namun sekarang orang
paham melalui logika. Logika bahwa derita itu penting bisa jadi tumpuan saat mulai
timbul niat untuk menyerah. Kita mengubah mindset
diri kita sendiri untuk mau menderita. Memahami derita secara nalar akan
memudahkan kita berpikir jernih saat ditimpa musibah. Lalu ketika bangkit hati
kita pun telah diperbarui. Diperbarui oleh sifat sempurnya yang kita cari.
Sifat sempurna pada Diri yang sering kita panggil: Tuhan.