![]() |
Sumber Gambar |
Peningkatan, atau pencapaian diri (achievement) adalah sesuatu yang selalu diusahakan setiap manusia
di dunia ini. Setiap kita mengusahakan agar hidup terus maju, bukan mundur.
Kita mengharapkan prestasi mewarnai sejarah periode hidup kita di dunia ini. Naluri
untuk maju yang sudah tertanam sejak kita dalam kandungan, bahkan mungkin sejak
pembuahan. Naluri untuk maju sudah terprogram dalam diri manusia sejak
diciptakan Tuhan.
Jika tidak, mana mungkin Adam mengambil buah khuldi hingga
diturunkan ke dunia.
Peningkatan itu sebenarnya selalu kita alami dari hari ke
hari. Saat masih bayi kita hanya bisa mengucap suku kata yang tidak ada artinya.
Lalu tahap demi tahap kita mulai mengenal kata. Di sekolah kita diajari menulis
apa yang kita pikirkan dan rasakan. Kita mengenal titik, huruf, kata, kemudian
kalimat. Tubuh kita pun mengalami perkembangan mulai dari tengkurap, merangkak,
lalu berjalan, kemudian berlari. Tanpa sadar kita telah mencapai sesuatu yang
bahkan kita sendiri tidak pernah menduganya sama sekali.
Peningkatan itu sangat cepat terjadi saat kita muda, dan
menurun saat kita dewasa. Kita dapat belajar begitu cepat waktu kecil. Menghapalkan
pelajaran, olah raga, melakukan hobi, mengingat nama orang, dan sebagainya. Namun
saat mencapai usia 20, terasa perkembangan tidak sepesat saat kecil. Semakin bertambah
usia, perkembangan itu tidak sehebat sebelumnya. Apalagi sudah mencapai 30
tahun, agar terus berkembang kita sungguh membutuhkan perjuangan.
Peristiwa demi peristiwa silih berganti tanpa jeda tanpa
pertanda.
Dahulu tubuh kita kuat berlari 2 km dan dengan istirahat sejenak
sudah pulih kembali. Kini mungkin 1 km berlari saja sudah ngos-ngosan dan nyaris pingsan. Dulu kita mudah sekali mengingat
lirik lagu dan teks-teks bacaan, kini bahkan untuk mengingat satu paragraf saja
membutuhkan pengucapan berulang-ulang. Ada satu kepastian yang mungkin sedikit
berat untuk diterima ego. Kepastian bahwa kita punya naluri meningkat sementara
badan dan pikiran tidak semakin kuat.
Harus ada sesuatu yang hilang untuk sesuatu yang akan
datang.
Hilang energi untuk dapat melakukan sesuatu, sel tubuh kita
menua untuk dapat bertumbuh, merelakan kesempatan A agar dapat menjalani
kesempatan B, dan sebagainya. Lalu semakin usia kita jauh dari 0 (nol), semakin
banyak hal yang tidak mampu kita lakukan. Penyakit mulai berdatangan akibat
menurunnya kualitas kekebalan tubuh. Banyak hal tidak terselesaikan dan pada
akhirnya harus kita relakan. Semakin berumur kita akan semakin banyak
kehilangan.
Rasa kehilangan itu adalah ujian yang berat untuk setiap
kita.
Okelah, buat yang memang sedari kecil sudah dibiasakan untuk
tidak terlalu melekat dengan keinginan, kehilangan akan teratasi dengan mudah. Kata
move on pun praktiknya terasa seperti
membalik telapak tangan (mungkin sih). Beda dengan yang sejak kecil dimanjakan
dan terbiasa menuruti keinginan, saat dewasa akan mengalami kebingungan. Secara
akal ia tidak dibekali kemampuan merelakan dan berakrab dengan sesuatu yang
baru.
Jenis manusia yang kedua akan menumpuk rasa kehilangan
sejak ia mulai mengenalnya. Tabungan rasa kehilangan itu akan membuatnya merasa
tidak memiliki apa-apa. Ia akan benar-benar tenggelam dalam perasaan, yang
secara otomatis mengangkat pikiran membuat alasan-alasan. Alasan-alasan itu
digunakannya untuk lari dari kenyataan (bahkan tanggung jawab). Sadar atau
tidak ia telah menjadi miskin sejak
dalam pikiran.
Ia lupakan semua yang ada di depannya dan terus melihat ke
belakang. Buat dia tidak ada yang lebih membahagiakan (dan menyengsarakan)
selain yang pernah terjadi di masa lalu. Tidak ada yang lebih membahagiakan
lagi di masa depan, pikirannya melayang dan menghayal, melamun seperti orang
tidak punya tujuan. Lalu ia pun kehilangan harapan dan jatuh dalam
keterpurukan. Hidupnya tidak lagi bermakna dan ia mati tanpa meninggalkan
jejak-jejak kebaikan.
Jati dirinya ia matikan dengan khayalan dan harapan-harapan
palsu.
Mengawal Kembali Harapan
Kita sering lupa terhadap masa lalu yang mengantar kepada
keadaan kita sekarang. Pada dasarnya kita suka mengingat sesuatu yang memiliki
kesan mendalam buat hidup kita. Kebahagiaan atau kesusahan bukan itu yang
menentukan seberapa kuat memori kita ingat. Sesuatu yang sangat berkesan, yang
sensasinya luar biasa. Seperti halnya kehilangan, sensasinya luar biasa tatkala
kita benar-benar memainkan rasa.
Cara untuk menghilangkan rasa sakit itu pun tidak ada.
Kita akan merasa sakit setiap hari dan itu yang akan
menuntun kita pada pengalaman. Pengalaman
itu yang membuat kita merasa memiliki sesuatu untuk diandalkan. Perasaan miskin tidak akan lahir apabila kita mau
menjalani hari dengan bercanda bersama rasa sakit. Menolak rasa sakit akan
membuat kita miskin pengalaman dan waktu yang terlalui tidak ada artinya. Dapat
rezeki biasa saja, dapat musibah biasa saja.
Biasa-biasa saja itu hanya pertahanan ego.
Ketika pengalaman masuk, ego perlahan-lahan turun. Ego tidak
akan mengizinkan pengalaman baru masuk ke dalam diri kita, sebab ego punya
sifat tidak mau kalah. Bila kita tidak mau mengalah dan menuruti ego itu,
jadilah kita orang dewasa yang arogan. Segala hal terjadi tanpa ada maknanya
sama sekali. Hal-hal bersifat esensi malah terlewati, sedangkan yang bersifat
tambahan malah dipenuh-penuhi. Tidak akan bahagia kita hidup dengan nikmat
sementara, dan mengabai dengan nikmat hakiki.
Harapan akan lebih bertenaga apabila berdasarkan nikmat
hakiki.
Nikmat hakiki itu bisa dibilang nikmat abadi yang punya
energi ‘mengangkat’. Saat kita paham bahwa nikmat hakiki berasal dari kemurnian
hati, dan nikmat sementara berasal dari ego tanpa kompromi, kita akan mulai
mengendalikan diri. Nurani kita akan hidup dan penuh, tanpa sanggup dipatahkan.
Itulah keyakinan yang kita cari. Keyakinan yang bebas dari keraguan dan murni. Membuat
kita terpenuhi oleh energi, bukan khayalan tanpa henti.