Hilang, barangkali suatu keadaan
dari ada menjadi tiada. Setidaknya, begitu pikiran kita mengartikan kata
semacam hilang, sirna, lenyap, dan kata-kata semakna lainnya. Saat kita tadinya
masih memegang sesuatu tiba-tiba sesuatu itu tidak kita pegang lagi. Dompet
hilang, ponsel hilang, sepatu hilang, kita selalu menyebutkan keadaan itu
demikian. Namun, apa benar sesuatu itu benar-benar berganti dari ada menjadi
tiada?
Saat kita kehilangan dompet,
semisal. Dompet itu tadinya menetap di kantong celana, tas, atau mobil kita.
Setiap hari kita ambil dompet tatkala akan membayar atau menunjukkan identitas.
Setiap waktu dompet itu kita jaga dan pastikan masih ada di tempat yang kita
jangkau. Suatu saat, dompet itu terlepas dari perhatian kita dan tidak kita
temukan di mana pun. Kita kebingungan mencari bahkan mengerahkan semua
teman-teman demi mendapatkan dompet itu kembali.
Sayang, dompet itu tidak lagi
‘mau’ bersama kita.
Kita merasa terpukul hidup tanpa
benda yang kita sayangi. Padahal dompet hanyalah pembawa sebagian harta dan
surat identitas sebagai warga negara. Uang yang ada di dalamnya pun masih bisa
kita cari kembali. Surat-surat, meskipun mungkin prosesnya rumit masih bisa
kita buat kembali. Dompet baru pun bisa kita beli kembali. Apa yang tadinya
tidak lagi bisa kita pegang, kini bisa kita pegang dan nikmati kembali.
Apa jadinya bila orang yang kita
sayangi pergi?
Makhluk bernyawa bernama manusia,
memiliki ciri yang tidak dimiliki manusia lain. Dia hanya ada satu di dunia
ini. Hanya ada satu dan saat ia pergi tidak mungkin diganti dan ditukar. Satu pergi
tidak akan ada dia yang lain yang menempati ruang hati. Ruang di dalam hati
kosong tiba-tiba dan dalam sekejap hidup terasa tanpa arti. Semangat terbunuh
kesedihan lantaran tidak bisa lagi melihat orang yang dikasihi.
Kehilangan itu sungguh sakit, terutama
bila Bapak atau Ibu yang pergi.
Tentang itu, salah satu teman
baru saja mengalami. Seorang kontributor lobimesen.com yang paling keren,
karena suka menulis tentang #orangkeren. Ia adalah pemilik akun FB Hahan Uddin
yang kita kenal sebagai Bapaknya Anak Bawang Solo. Teman kuliah yang rumah
Budhe-nya berada dekat dengan rumah Simbah-ku. Jadi waktu kuliah kami sering
berangkat bareng dan mengunjungi satu sama lain. Meskipun begitu, Burhan bukan
orang yang mudah dekat dengan orang lain.
Sekitar 5 hari lalu aku mendapatkan
kilasan firasat Ibunda Burhan meninggal. Satu malam yang hujan deras diiringi
angin kencang. Aku mengendarai motor Astrea Grand yang sama dengan Burhan dulu,
hanya saja punyaku usianya lebih tua. Firasat itu tidak aku perhatikan, karena
toh apabila itu benar, jelas akan menyakitkan. Jadi aku lebih baik mengakui
firasat itu namun tidak mengindahkan pesannya. Suatu pola yang sudah aku
biasakan semenjak mulai datang firasat-firasat, yang seringnya tepat.
Lusa paginya, kabar duka sampai
di grup WA alumni psikologi.
Perasaanku campur aduk. Tidak dapat
aku bayangkan rasanya baru saja kehilangan ayah, lalu dalam beberapa bulan
kehilangan ibu. Ingin rasanya melayat saat itu juga dan membersamai Burhan
melewati masa berat itu. Tidak tahu apa yang harus katakan, aku tidak
mengucapkan turut berbelasungkawa atau dukacita. Aku hanya menuliskan komentar
di kabar duka FB, “yang pergi tidak pernah benar-benar pergi”.
Baru setengah tahun lalu aku
kehilangan Bapak. Rasanya saja belum hilang hingga sekarang. Padahal belum
pernah sekali pun aku bertemu beliau. Selang dua bulan sejak Bapak, Ayahanda
Burhan meninggal. Lantaran tahu rasanya kehilangan orang tua, aku coba menghibur
dengan apa yang aku bisa. Pun aku pikir bisa mengakrabkan lagi pertemanan
dengan Burhan, yang beberapa waktu lalu sempat merenggang.
Buatku Burhan itu sosok yang
keren. Saking tidak mau kalah keren, aku sempat merasa kesal melihat
perkembangannya dari waktu ke waktu. Sementara aku masih begini-begini saja dan
tidak ada prestasi menghiasi. Burhan dengan jayanya mengampu dua komunitas dolanan di Solo dan Batang. Dia juga
digelari Pemuda Pelopor oleh salah satu lembaga di daerahnya. Rasa kesalku
memuncak melihat diriku masih seperti orang bodoh yang tidak mampu menolong
dirinya sendiri.
Setidaknya itu yang dulu aku
pikirkan terhadap lelaki yang mirip Eros Sheila On 7 itu. Sekarang aku coba
menghargai apa yang ada di depanku. Ku pikir salah bila terus-terusan
menyalahkan hidup. Mengingat Burhan merasakan kehilangan itu aku pun sadar:
kita hidup dengan penderitaan masing-masing. Kita tidak mungkin menjauhi mati. Justru
semakin waktu terlewati, kita semakin dekat dengan mati. Maut akan tetap
mendatangi entah saat kita kaya atau miskin.
Seketika aku lihat ibuku kala
itu, dan bersyukur masih beliau yang bisa aku rawat.
Aku sadar tidak bisa hidup tanpa
Ibu yang melahirkanku. Hidup dengan Ibu mungkin berat, karena dari sisi Ibuku
mungkin lebih senang bila mati, daripada merasakan penderitaan lebih banyak
lagi. Namun akan lebih berat hidup terasa bila tanpa Ibu membersamaiku. Burhan
sudah mengalaminya beberapa hari ini. Hidup tanpa ibu tanpa ayah. Tanpa lagi
derai canda dan warna aura mereka berdiam di rumah. Tidak ada lagi orang tua
yang menopang tatkala dia dalam keadaan hancur.
Tidak pernah benar-benar pergi.
Jiwa hidup dalam dimensi yang
berbeda dari dimensi lahir. Saat jasad kita mati jiwa kita tetap hidup. Jiwa
tidak akan pernah mati, tidak terpaut usia yang berawal dan berakhir. Jiwa
adalah prototype wujud Tuhan dengan
batas menjadi hamba. Jiwa adalah energi kecil di antara energi maha yang
dimiliki Tuhan. Saat kita meninggal jiwa kita hanya berpindah dari satu wadah
ke wadah yang lain. Badan ini bukan milik kita, sebagaimana jiwa kita yang akan
kembali kepada Tuhan.
Kesedihan ditinggal orang
tersayang adalah peristiwa ‘melarikan-dirinya’ ego yang selama ini terbangun.
Terbangkitkannya alam bawah sadar kita yang paham bahwa hidup tidak bisa
selamanya. Karakter muda kita terluka, dalam sekejap kita merasa benar-benar
tua. Sebab tidak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan. Mudah sebenarnya untuk
lari dan melakukan pertahanan diri. Namun, kita tidak bisa selamanya menipu
diri sendiri.
Logika kita akan bertambah matang
seiring luka coba kita sembuhkan. Luka hati hanya bisa tertutup ketika Tuhan
menghendaki. Apabila mau membuka hati untuk melepaskan orang yang kita sayangi,
mungkin lebih memudahkan kita menyembuhkan diri. Membuka hati untuk masuknya
ilham ke dalam diri. Ilham yang membayar semua kesedihan akan tidak mampunya
kita merasakan mereka lagi di dunia ini.
Kita akan belajar menjadi dewasa
dan melangkah dengan kaki kita sendiri.
Percaya kepada Tuhan, bahwa Ia
memiliki jiwa kita akan memudahkan hati terbuka. Apa yang kita rasakan memicu
pikiran-pikiran datang. Jauh di bawah yang kita rasakan ada akal yang menuntun
pada kebenaran. Itulah nurani. Cahaya
nurani akan memancar apabila kita tidak terfokus pada pertahanan diri. Batas-batas
terlihat jelas pada apa yang ada dalam diri. Sadar bahwa kita tidak pernah
memiliki diri kita sendiri.
Sekali lagi, Tuhan menjadikan
manusia memiliki hati nurani. Membuat manusia mampu mendengar yang tidak
berbunyi dan melihat yang tidak bermateri. Orang yang kita sayangi tidak pernah
benar-benar pergi. Dalam hati kita mereka hidup, bersama memori dan nilai yang
mereka ajarkan. Kita bisa mendengar memori saat mereka berkata, melihat citra
saat mereka tersenyum dan menangis. Membuat kita teringat siapa diri kita ini.
Teringat bahwa kita tidak pernah benar-benar
sendiri.