![]() |
Sumber: wallpaperswide.com |
Kita tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi saat
menjalani hidup bersama pasangan.
Itu seperti murni menumbuhkan yakin dengan segala kebaikan
pasangan, dan terbuka pada semua kekurangannya. Menumbuhkan cinta kepada
keluarga pasangan, juga membawa pasangan agar bisa diterima keluarga kita. Ini
sesuatu yang tidak bisa dijalankan dengan setengah hati. Untuk bisa masuk ke
keluarga orang lain butuh keterbukaan hati dan pikiran. Keterbukaan dengan
segala karakter berbeda dari keluarga yang telah kita kenal.
Tentu kita berhadapan dengan ‘semua orang’ pada tahap
pra-nikah ini. Semua orang mengharapkan kita menjadi seseorang yang ‘pantas’
menikah. Kadang ini bertolak belakang dengan kita yang memiliki standar pantas
tidak seluas mereka. Keluarga pasangan, keluarga sendiri, teman-teman, melihat
kita selalu jauh dari harapan. Pada kenyataannya, kita tetap tidak bisa
mencapai pantas menurut mereka. Mereka hidup dalam hidup mereka, kita hidup
dalam hidup kita.
Ada kesenjangan antara bayangan ekspektasi kita dengan orang
tua dan keluarga. Mereka berpikir, kadangkala, agar kita bisa bertindak sebijak
mereka. Termasuk dalam memutuskan berpasangan dan pertimbangan-pertimbangan
kita. Mereka tidak melihat kita sebagaimana kita sekarang, tapi bagaimana kita
dalam harapan mereka. Ini memusingkan karena kita tahunya hidup ya yang kita
jalani saat ini. Soal nanti itu bisa dibicarakan setelah menikah dan hidup
bersama.
Beberapa orang tua mungkin tidak mau begitu. Mereka ingin
kita mampu berimajinasi sepanjang mungkin tentang hidup berumahtangga. Mereka
tidak berpikir krusial agar anaknya memiliki pasangan. Mereka seperti tembok
yang harus selalu dipanjat, dan setiap kali dipanjat tembok itu bertambah
tinggi. Itu menyulitkan kita, jelas. Tapi itulah tantangan dalam menjejakkan
kaki pada hidup berumahtangga. Kompromi dengan keluarga adalah pintu pertama
yang harus dibuka.
Kedengarannya sulit ya, memang proses itu menuntut
perjuangan. Perjuangan itu kita coba penuhi dengan bekerja, mencari uang, dengan
demikian kita mampu membuka pintu itu. Namun itu bukan hal mutlak karena
kesiapan finansial kadang tidak jadi soal. Bahkan yang belum punya pekerjaan,
masih dibiayai orang tua pun tidak jarang berhasil melangsungkan pernikahan. Satu
yang mungkin perlu kita sadari adalah proses menikah menuntut konsentrasi
sepenuhnya.
Sebab kondisi bisa berubah sewaktu-waktu dalam sekejap mata.
Seperti teman saya A, yang menjalankan prosesi pernikahan
setelah semalam los-nya di Pasar Klewer terbakar. Lain dengan teman saya B yang
gagal menikah karena pengantin lelaki bilang belum yakin beberapa jam sebelum
akad. Ada juga C yang telah menjalin hubungan bahkan sejak semester awal
kuliah, akhirnya mereka menikah. Dari peristiwa-peristiwa itu, kita tahu Tuhan
punya kekuasaan mutlak pada takdir.
Kita hanya mampu membuat dan menjalankan rencana sesuai
dengan kemampuan.
Kita tidak bisa menentukan keputusan Tuhan bahkan dengan
cara paling detil sekali pun. Kita punya kesempatan gagal seluas kesempatan
mendapatkan. Dengan kata lain, kita punya kesempatan sangat luas untuk berharap.
Kuasa Tuhan bisa membawa kita pada terkabulnya keinginan. Keinginan itu ada
keinginan dewasa dan keinginan bocah. Keinginan dewasa tidak buru-buru dalam
pemenuhan harap, karena sadar segala hal terpenuhi tidak secara ajaib.
Keinginan bocah akan berpikir semua bisa dicapai dalam
sekejap mata.
Kemesraan Tertinggi
Saat menyelami hidup pernikahan, segala susah senang kita
bagi bersama pasangan.
Kita telah menjadi bagian dari keluarganya yang tadinya
bukan siapa-siapa. Setiap hari kita berinteraksi dan tidak jarang mungkin terjadi
masalah. Tantangan datang silih berganti tanpa berhenti. Ujian untuk
kebersamaan yang telah kita tekadkan. Godaan kenikmatan, perihnya kesempitan,
terhalangnya pencapaian harapan, belum lagi godaan setan dalam pikiran. Biar tetap
bersama itu bukan hal yang bisa dihadapi
pakai akal remaja.
Saya takkan membahas perceraian karena keadaan ini tidak
pernah satu orang pun mengharapkannya. Namun kenyataannya, pasangan setiap hari
dihadapkan pada kemungkinan cerai. Banyak hal-hal dalam keseharian yang bisa
jadi sumber masalah, termasuk orangnya sendiri. Sulit apabila dalam berhubungan
pasangan lebih banyak berpikir tentang masalah, bukan solusi. Setiap hari
membicarakan masalah A, masalah B, tapi tidak pernah mencari satu jalan untuk
melunturkan masalah jadi berkah.
Hal kecil bisa jadi besar apabila pasangan tidak siap dengan
segala kemungkinan. Sebelum menikah kita berhadapan dengan kemungkinan, setelah
menikah kita pun bermesraan dengan kemungkinan. Logika yang hanya siap dengan
rancangan, akan sulit hidup dengan kemungkinan. Kita hidup dalam segala hal
yang bisa jadi baik bisa jadi buruk. Bisa jadi anugerah bisa jadi musibah.
Apabila kedua pasangan masih terkotak pada satu hal akan sulit menyatukan diri
dengan hidup berpasangan.
Membentuk keluarga berarti menerima kenyataan: kita tidak
hidup sendiri. Apa yang kita pakai sendiri kini dipakai juga oleh istri/suami.
Kamar yang kita tempati tidak lagi menampung hawa kita saja. Barang-barang kita
campur dengan barang suami/istri. Kamar mandi campur dengan istri/suami (yang
jomblo jangan bayangin), kasur tidak lagi untuk tidur kita sendiri. Sendiri
sudah harus hilang dari dalam pikiran kita, dan mengakrabi ide-ide yang mampu
melemaskan ego.
Bagaimana membentuk keluarga apabila diri masih egosentris?
Apa yang terjadi saat menjadi orang tua tapi logikanya sematang remaja? Banyak
tabrakan-tabrakan ego terjadi saat bersama. Kita sudah hidup satu kamar, segala yang tadinya tidak kelihatan dari pasangan terungkap. Ibarat kita
mencium kotoran pasangan yang sebelumnya tidak kita tahu, karena sebelum
menikah kita berhadapan dengan segala yang wajar diperlihatkan.
Sampai sekarang saya masih heran dengan satu kegiatan suami
istri yang dianjurkan: mandi bersama. Kalau makan di satu piring, tidur bersama
itu sih masih masuk dalam wilayah ego yang bisa dilerai. Nah, kalau mandi
bersama itu auratnya semua kelihatan. Di kamar mandi kita ngapain aja coba,
esensi mandi adalah membuang kotoran. Mandi bersama itu sudah di luar wilayah
ego yang bisa dilerai, karena saat mandi kita dalam keadaan kotor.
Membersihkan kotoran pasangan itu sudah di luar jangkauan
logika. Kita tidak berpijak pada cantik tidaknya dia dan segala
kriteria-kriteria lain, itu sudah cinta yang tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Sebab kita bisa saja enggan, karena kotoran sendiri saja kadang
malas kita bersihkan. Ini malah harus membersihkan kotoran orang lain. Itu
barangkali kemesraan tertinggi yang bisa dicapai suami istri.
Kreatifitas dan
Inspirasi
Tidak dipungkiri banyak pernikahan terjadi pada kondisi belum
benar-benar siap. Kondisi setelah berumahtangga ditentukan sebagiannya oleh
kondisi saat menikah ini. Pijakan awal menjadi satu titik tolak proses kehidupan
pasca menikah. Proses belajar yang membuat pernikahan jadi sebuah berkah. Dan
untuk belajar ini dibutuhkan perjuangan besar. Kita berperang dengan diri kita
sendiri yang cenderung bersikap berdasarkan pengalaman masa lalu.
Saat menikah pengalaman masa lalu hanya sekadar sesuatu yang
boleh diingat. Tidak ada sesuatu yang
banyak kita dapatkan dari masa lalu itu. Sebab sekarang tugas kita menjalankan
visi bersama pasangan. Pengalaman masa lalu tidak
boleh dihayati, sekali dihayati kita akan sulit melepas. Menyebalkannya,
saat dewasa kita selalu berhadapan dengan pengalaman masa lalu. Setiap waktu
memori memutar bayangan-bayangan agar kita terlarut ke masa lalu.
Ia akan menguji kita dalam menemukan solusi kreatif terhadap
masalah yang terjadi. Saat memori itu berhasil kita jinakkan dengan akal, ia
bisa menjadi sumber inspirasi. Masa lalu yang berisi pengalaman-pengalaman
membuat solusi. Keberhasilan-keberhasilan mengatasi masa-masa sulit. Pengalaman
itu jadi pengingat bahwa kita pernah survive
saat terpuruk. Pasca menikah kita butuh itu untuk membuat solusi menghadapi
masalah rumah tangga.
Kita tidak harus melepaskan, atau menganggap pengalaman masa
lalu itu tidak ada. Itu sama saja membuat memori masa lalu tetap liar. Memori
itu hanya butuh diakui keberadaannya, tidak perlu diratapi atau dirayakan. Jika
dia ada ya wajar karena setiap hal dalam hidup ini pasti meninggalkan jejak.
Kita tidak mungkin menghilangkan memori, namun selalu bisa menjinakkan
perasaan. Belajar menjinakkan perasaan ini yang jadi kunci untuk membuka hati.
Pendeknya, kita harus selalu belajar membuka diri untuk
pengalaman baru.
Setelah pernikahan akan lebih banyak pengalaman terjadi.
Bahkan pengalaman berturut-turut datang secara massive. Setiap waktu kita dihadapkan pada ujian karena hidup
bersama pasti terjadi tubrukan. Apalagi saat awal-awal pernikahan sebagai
proses penyesuaian. Jadi menikah bukanlah hanya tentang sulitnya membangun
rumah tangga saja. Menikah juga tentang mengatasi kesulitan-kesulitan dalam
rumah tangga itu.
Jika tidak sanggup mengatasinya, kita akan terjebak dalam
ujian tanpa jeda.
Perpustakaan UNS, 31 Maret 2017