Kutahu celamu tak sengaja berjiwa. Amarah dan benci beri kesempatan.
(Anganku Anganmu-
Raisa dan Isyana)
Beberapa hari ini lagu single yang dibawakan Isyana Sarasvati
dan Raisa Andriana jadi pengiring. Pertama mendengar lagu itu saya sudah suka
dengan iramanya. Melodi yang digunakan juga sederhana, jadi otak saya yang
sudah mulai tumpul mencerna musik tidak sulit menikmatinya. Satu yang saya suka
dari lagu ini adalah tentang berpadu. Lagu ini menginspirasi saya, setidaknya
untuk memaafkan orang-orang yang telah memberi warna luka.
Lagu ini seperti menggambarkan
bagaimana dua orang yang sedang menyatukan angan. Dua orang itu mengalami
berbagai macam masalah, hingga disebut dalam liriknya: kita sudah dingin hati. Bagaimana dua orang itu seperti lupa rasa, dulu pernah saling memahami
dan segan merasa telah menyakiti. Semua itu terjadi oleh semua perdebatan yang
sia-sia. Perasaan yang saya cari terkandung dalam lagu Anganku Anganmu ini.
Perasaan memiliki pasangan dan
menurunkan ego untuk menyatukan angan.
Ya saya hanya bisa membayangkan,
karena mungkin jalan menuju kondisi hati itu masih jauh. Jujur saja sampai
sekarang saya masih takut dengan yang namanya wanita. Terutama wanita yang
menarik hati saya, sungguh ketakutan itu nyata. Namun bukan berarti saya
biarkan diri ini terjebak dalam ketakutan. Perlahan saya memastikan ketakutan
itu mampu dilawan. Bahwa membuat diri ini tidak terpengaruh ketakutan itu
sungguh hal yang sulit.
Lari dari ketakutan lebih mudah
daripada menghadapi.
Urusan ketakutan dalam hal teknis
mungkin bisa teratasi dengan mudah. Dicontohkan sekali dua kali kalau mau tekun
lama-lama terbiasa. Urusan hati dan pendalaman diri, itu tidak ada contohnya. Sebab
diri kita ya hanya kita. Selain diri kita tidak ada yang bisa menyelesaikan
masalah dalam diri. Tidak akan ada contoh teknis yang bisa kita tiru. Kita hanya
bisa mencoba kemudian mempertahankan cara-cara yang pas dengan diri kita.
Cara-cara itu pun tidak jarang
akan bersinggungan hati dengan orang lain.
Kita bisa melukai bahkan tanpa
kita niati. Saat seperti itu mungkin kita akan membenci diri sendiri. Kita mungkin
kaget ternyata diri ini bisa melukai seseorang. Sangat jauh dengan ekspektasi kita
selalu bisa berguna bagi orang lain. Kita juga mungkin akan mendapatkan seleksi
otomatis. Seleksi teman yang masih bisa kita andalkan saat khilaf, dan teman
yang hanya bersama saat biasa. Saat khilaf ini, adalah saat di mana kita
sepenuhnya menjadi manusia.
Mencari pasangan, dalam hal ini
suami atau istri, adalah mencari seseorang yang maklum dengan khilaf kita. Rasa
cocok muncul ketika kita dimanusiakan pasangan. Ketika kita dimaafkan atas
kesalahan yang dilakukan. Tentu pasangan yang baik akan menyadari bahwa
kekhilafan bukan tanda perpisahan. Kekhilafan adalah tanda untuk lebih memahami
pasangan. Saat khilaf adalah saat pasangan benar-benar lemah, bila tidak mampu
memakluminya, bagaimana bisa bersama?
Kita hidup dalam kelemahan
bukannya kekuatan.
Satu yang sering terjadi adalah
ketika pasangan dalam kekhilafan, ego kita tidak terima, lalu meninggalkanya. Ini
tentu jauh dari harapan tentang hubungan harmonis. Pasangan yang egonya tidak
mau bertemu, hatinya juga takkan bertemu. Ego itu seluar-luarnya pintu namun
setebal-tebalnya lapisan. Tidak mampu membuka pikiran, tempat ego bersemayam,
akan membawa kesombongan bertahta. Kesombongan akan membuat pasangan sulit
saling menyesuaikan diri.
Saya tidak paham mengapa
kebersamaan yang sulit sekali diwujudkan, harus diakhiri hanya karena satu
kekhilafan. Jika saya menemukan seseorang yang mau menerima khilaf saya,
mungkin baru akan mengerti. Itu juga berarti saya harus jadi seseorang yang mau
menerima khilafnya. Jadi itu seperti siklus dan kesinambungan. Ah, saya jadi
ingat catatan Nacita 8: Yin dan Yang. Mengenai keteraturan hidup yang mengalir
dalam dimensi bernama waktu.
Tapi tidak jarang juga pasangan
mengakhiri hubungan karena tidak ada pembelajaran.
Pasangan yang baik selalu
berusaha saling menyejajarkan diri. Bila satu berada di depan yang lain
mengikuti. Bila satu di belakang yang di depan menanti dengan sabar. Sebenarnya
lebih rumit lagi tentu, karena kadang kita bertemu dengan seseorang yang sulit
diajak jalan bareng. Ini pengalaman
saya juga dengan Nacita, di mana saat itu saya sulit sekali diajak jalan
bareng. Saya hanya ingin dituruti dengan segala ego yang ada di kepala.
Lagu yang dibawakan penyanyi dan
musisi wanita ini benar-benar menelusupkan perasaan tenang. Perasaan yang
terjadi karena kita berhasil mengusir segala kekhawatiran. Saat berhubungan
tidak jarang amarah muncul dan bila tidak diperhalus akan berubah jadi benci. Sekuat
apa kita menahan pasti sekali dua kali tetap muncul amarah. Namun, benci hanya
lahir ketika pikiran kita tidak cukup terdidik. Benci lahir dari pikiran yang
terus memutar ‘amarah’ yang sama.
Perasaan dalam lagu ini tergambar
jelas dalam lirik: berlari ke arah yang
sama bukan masalah.
Tidak ada yang mustahil untuk
pasangan jika mereka mau. Sama halnya dengan kita bahwa bila kita mau, Tuhan
akan mengubah nasib kita. Itu adalah satu pernyataan Tuhan dalam Al Qur’an yang
memberikan kebebasan utuh kepada kita. Kebebasan untuk berangan dan menjadi apa
yang kita mau. Tentu kebebasan ini jangan diartikan dengan: seenaknya. Konotasi
kata enak terlihat jelas mengarah
pada visi id atau nafsu yang selalu mengarahkan pencarian
pada kenikmatan.
Berpasangan tujuannya bukan
mencari kenikmatan, namun ketenteraman.
Isyana dan Raisa mengingatkan
saya mengenai banyak hal yang harus dicapai. Saya tidak tahu apakah hal-hal itu
adalah kualitas yang harus dimiliki sebelum atau sesudah menikah. Satu hal yang
saya tahu nanti pasangan saya adalah cerminan diri saya. Bila diri ini tidak
mampu memberi yang terbaik, bagaimana pasangan akan memberikan bayangan terbaik
pula. Mustahil ingin pasangan yang baik, namun diri ini tidak mau jadi baik.
Ini lebih dari sekadar cinta,
menurut saya.
Bahwa kita menyadari diri ini
harus belajar adalah tingkatan lanjut dari cinta. Cinta barangkali akan
mengantarkan hingga sesuatu yang kita sukai. Sesuatu yang mengantar kita
mengakrabi sesuatu yang tidak kita sukai, itu di luar kuasa manusia. Manusia
cenderung melakukan apa yang dekat dengan nafsunya. Bila ingin mencapai sesuatu
di atas itu, kita harus keluar dari ‘cangkang manusia’ itu. Meraih kekuatan
lebih tinggi yang mungkin sering disebut mindfullness.
Itu sesuatu yang layak sekali
diperjuangkan. Memaklumi pasangan adalah hasil dari pendalaman rasa. Pendalaman
rasa hanya bisa dilakukan oleh orang yang mau menempatkan egonya di posisi
terendah. Jika kita masih sulit meletakkan ego di bawah rasa, barangkali ada yang belum kita pelajari. Tidak mungkin orang
yang menyadari dirinya manusia akan menyalahkan manusia lain, ia justru
berusaha memaafkan. Jika berat ia akan kembalikan semua urusan kepada Tuhan.
Saya tidak tahu mengapa lagu Anganku Anganmu yang mengantar inspirasi
ini. Semua usaha pendalaman rasa saya terus coba upayakan. Ternyata inspirasi
datang bahkan dari sesuatu yang tidak pernah saya sangka. Keterbukaan hati yang
menjadikan saya mudah menangkap inspirasi. Tentu terbukanya hati itu sendiri
adalah anugerah Tuhan. Saya yang harus menjaga anugerah itu, seperti saya kelak
nanti juga akan menjaga pasangan.
Pasangan yang dianugerahkan Tuhan
kepada saya.
Kamar, 17 April 2017