Ehm, beberapa waktu ini saya jarang menulis di
lobimesen.com. Saya banyak menulis di blog pribadi karena rasanya lebih bebas. Itu
rumah sendiri, mau tulisan seperti apa terserah saya sebagai pemiliknya. Sedikit
egois memang (ya 'sedikit' hanya untuk menghaluskan saja), sebab saya seperti
tidak ingin bersinggungan dengan orang lain. Saya menjauh dari kemungkinan
dinilai oleh orang-orang yang membaca tulisan-tulisan itu.
Hingga sekarang saya masih takut dengan penilaian orang,
kawan.
Meskipun saya selalu berkata agar tidak perlu mendengar
omongan orang. Saya selalu memikirkan perkataan orang lain walaupun hanya
sekadar sambil lalu. Entah ini kemampuan penting atau tidak, saya tidak tahu. Pada
kenyataannya itu malah menyiksa saya karena banyak sekali omongan orang yang
masuk. Kebanyakan yang menempel omongan negatif, bukan positif. Otak saya masih
otak negatif dan cenderung berpikir buruk, I
admit it.
Rasa terpuruk karena omongan orang itu benar-benar luar
biasa.
Saya butuh lebih dari ‘semangat mas’ atau ‘semangat kakak’
dan lain sebagainya. Butuh perhatian lebih agar saya merasa aman. Tidak lagi
ketakutan dengan segala yang telah dan akan terjadi. Saya tidak tahu siapa yang
akan memberikannya, sebab kelihatannya Tuhan semakin jauh saja. Saya tidak tahu
mengapa Tuhan dengan arogan mencabut rasa percaya dari hati ini. Satu yang saya
tahu, tidak pernah terpikir di benak saya nikmat itu dicabut.
Itu sesuatu yang gaib dan tidak nalar sama sekali.
Namun saya tetap mencoba berpikir baik kepada Beliau. Ada maksud
di balik terdegradasinya rasa percaya ini. Membuat saya terus mencari dan
mencari dasar paling dasar dari materi. Materi yang membuat kita ‘ada’. Materi yang
memuat asal usul alam semesta. Ada jawabannya karena penelitian nanoteknologi
telah membagi materi ke dalam bagian terkecil. Mengejutkannya adalah pembagian
terkecil berujung pada: ketiadaan.
Ya saya belum membaca lebih detil tentang itu.
Tapi memang rasa tercabutnya (kalau boleh saya bilang) jiwa,
memang hal menyebalkan. Kita tidak tahu siapa diri kita sebenarnya, bertanya-tanya
untuk apa kita hidup, mengapa rasanya di dunia ini tidak ada tempat untuk kita
dan sebagainya. Entah bagaimana perasaan itu terwakili oleh Hancock, film
superhero antimainstream. Film yang
dirilis tahun 2008 ini benar-benar seperti perpanjangan perasaan saya. Lantaran
film ini pula saya jadi menyukai aktor Will Smith, pemeran tokoh utama.
Kisah John Hancock berawal dari sebuah aksi penumpasan
kejahatan. Aksi itu membuat fasilitas umum rusak, mobil-mobil berterbangan,
bahkan beberapa gedung berlubang. Itu semua hanya demi menangkap tiga penjahat
yang melanggar lalu lintas. Unik bukan? Ada kelebay-an dalam aksi itu. Sikap
berlebihan yang muncul akibat Hancock tidak tahu siapa dirinya. Ia hanya
mencoba mencari jawaban dari orang-orang di sekitarnya.
Pernahkah pada suatu waktu kita merasa sendirian? Orang lain
melakukan banyak hal tapi kita sama sekali tidak tertarik. Kita mendapatkan
cukup bahkan lebih segala keperluan nafsu biologis. Namun nafsu psikologis,
dahaga akan kasih sayang terasa semakin menyakitkan. Kita memohon namun
ternyata yang ada dicampakkan. Kita tidak tahu mengapa orang-orang membenci,
menatap kita dengan memincing. Sebab itu kita pun menolak mereka dan
berpura-pura tidak peduli.
Hancock merasakan itu setiap hari.
Ia tidak punya keluarga, kekuatannya bisa menghancurkan apa
saja. Ia mencoba berbuat baik tapi yang dilihat orang hanyalah efek samping negatif
perbuatan itu. Dia dikatai ‘brengsek’ oleh orang-orang dan itu seperti makanan
sehari-hari baginya. Orang-orang tidak menerima niat baiknya, mereka hanya
melihat Hancock sebagai pembuat onar. Menyebalkannya, dia tidak menemui orang
seperti dirinya di dunia ini.
Rasa kesepian sebagai manusia yang berbeda dan terusir dari
masyarakat.
Namun pada suatu saat ia bertemu seorang pria bernama Ray
(Jason Bateman). Seorang pria yang bisa dibilang tidak punya kemampuan. Seperti
Nobita dalam serial Doraemon, namun ini versi dewasa dan ia tidak cengeng. Ray mencoba
berbuat baik kepada semua orang, bahkan kepada Hancock. Ia membantu Hancock
dengan kemampuan branding yang ia
dapatkan saat bekerja di perusahaan iklan. Ray mengajari Hancock agar menjadi
sosok yang lebih ramah.
Ray sosok pria hateless.
Itulah mengapa Mary (Charlize Theron), istrinya sangat
mencintai Ray. Cerita Hancock menjadi semakin dramatis ketika Mary mengaku
bahwa ia dulunya istri Hancock. Mereka berdua adalah dewa yang diciptakan
berpasangan. Lantaran dewa-dewa selain Hancock dan Mary hidup bersama, mereka
berubah dari immortal menjadi mortal, menjadi manusia sewajarnya. Kisah
flashback ini seperti menggambarkan
manusia yang saling mencintai, akan melunakkan ego dari diri mereka.
Ego yang menuhankan diri sendiri dan berpikir akan hidup
abadi.
Kisah Hancock bisa dibilang drama superhero yang melihat
sisi lain dari manusia super. Hancock bisa terbang, bisa mengangkat kereta
dengan satu tangan, kebal peluru bahkan di matanya, ia bahkan tidak terlihat
mengeluarkan tenaga saat melawan penjahat. Kelemahan superhero semacam itu
hanya satu: pasangannya. Itu benar-benar mengingatkan bahwa: kita lahir dan
diciptakan untuk seseorang. Itu membuat hidup jadi berarti dan kita tidak
merasa sia-sia dilahirkan.
Mungkin juga itu solusi untuk masalah psikologis saya.
Saya ingin merasa menjadi manusia yang lemah dan bisa
dikalahkan. Selama ini saya seperti Hancock yang mencari sesuatu yang bisa
mengalahkan. Menghancurkan apa saja yang bisa dihancurkan. Menarik perhatian
dengan mendebat setiap pendapat teman. Saya butuh orang yang bisa mengalahkan
ego ini, tanpa harus berusaha keras. Seseorang yang bisa membuat saya jujur
dengan apa yang ada dalam diri. Seseorang yang dengan relanya peduli meskipun
saya coba lukai.
Ia bisa tahu saya tidak ada niat buruk, itu sikap agresif yang
muncul bukan dari diri sendiri. Ia tahu saya mencoba sangat keras untuk
berdamai dengan agresifitas diri. Siapa yang mau bersabar dan mau menjadi pasangan
saya. Kekosongan iman ini saya ingin segera diisi. Dahaga psikologis ini sudah
terlalu lama merongrong pikiran dan hati. Sulit tidak sulit bukan itu permasalahannya,
tapi seberapa pasrah. Saya belum cukup pasrah dalam perjalanan #roadtomarriage ini.
Hancock mungkin bukan contoh film yang mengajarkan moral.
Seperti film hollywood lainnya,
konten perilaku seksual sangat dipaksakan. Film ini cocok untuk orang-orang
yang merasa kesepian. Mereka yang terus mencoba berbuat baik tapi semakin
dibenci. Setidaknya untuk beberapa menit Hancock bisa membuat pemirsanya
menangis. Jadi pemirsa bisa mengeluarkan sedikit ganjalan di kepala yang
mungkin sudah lama tertahan.
Film ini enak ditonton saat malam hari. Bersama pasangan
akan lebih menyenangkan, sebab mungkin kisah Hancock dan Mary akan mengingatkan
bahwa pasangan pada dasarnya saling membutuhkan. Setidaknya saat ada pikiran
untuk mendominasi salah satu, perasaan saling membutuhkan itu dapat melunakkan
ego. Saling membutuhkan sebagai manusia yang harus bekerjasama untuk hidup. Sebagai
manusia yang sewajarnya tidak bisa hidup sendiri.
Perpustakaan UNS, 10 Juni 2017