Bicara soal iman, sebenarnya saya tidak berani banyak
berkata-kata. Referensi definisi iman dari buku-buku agama sangat sedikit saya
kuasai. Saat kecil saya tidak mendapatkan cukup pendidikan agama. Setidaknya
pendalaman tentang konsep hidup menurut agama yang saya anut. Konsep hidup di
keluarga saya adalah mencari sebanyak mungkin kekayaan. Kekayaan yang pada
kenyataannya, mampu mengangkat derajat setidaknya di antara anggota keluarga.
Orang kaya sangat dihormati di keluarga saya, meskipun
kurang ajar.
Hal itu yang mendasari saya ingin mendobrak pemikiran
mereka. Saya merasa ada yang salah dengan kondisi ketimpangan ekonomi ini.
Jarak antara si kaya dan si miskin semakin jelas. Pada dasarnya hampir sama
dengan kondisi negara kita, bedanya ini dalam lingkup kecil. Kekayaan hanya
berputar di wilayah orang-orang itu saja. Mereka menjalankan bisnis, bekerja di
perusahaan besar, mewarisi harta orang tua dan sebagainya.
Satu kekurangan yang besar adalah ketika ditanya
permasalahan hidup. Mereka tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
nilai hidup. Iya sih mereka melakukan berbagai anjuran dalam agama, namun entah
mengapa soal nilai luput. Tingkatan perbuatan mereka dalam taraf meniru bukan
mengerti benar apa yang dilakukan. Apa itu buruk? Tidak. Justru saya merasa itu
lahan untuk berdakwah. Masalahnya hanya satu: saya belum membuktikan apa-apa.
Saya masih sebagai orang miskin yang perlu untuk diberi.
Perasaan tidak memiliki apa-apa terlalu dalam saya maknai.
Akhirnya saya seperti kehilangan semangat untuk memperbaiki taraf hidup.
Walaupun ini warisan sifat Ibu juga sebenarnya. Tidak mau berjuang kala keadaan
masih bisa dikompromi, saat masih ada orang yang digantungi. Cara mengatasi
warisan sifat itu adalah tetap membangun usaha walaupun profitnya naik sangat
lamban. Tetap menulis sebagai karya yang nantinya bisa ditunjukkan.
Usaha itu belum menampakkan keberhasilan yang cukup
membuktikan.
Buat saya sendiri sebenarnya itu juga belum cukup. Namun mengingat
kondisi di rumah saya bersyukur masih bisa hidup. Rasa syukur ini baru beberapa
hari saya cicipi. Perasaan itu tidak selalu mendominasi sih, seperti gelombang
ada naik ada turun. Seperti sekarang rasa syukur itu sedang diuji dengan
marahnya Simbah. Marah yang muncul memang karena spontan saja, bukan marah
dengan alasan jelas. Sementara rumah butuh diurusi dan Ibu tidak mau diajak
kompromi.
Sedikit menyebalkan memang tapi memang beginilah
kelangsungan hidup setiap hari.
Beberapa waktu lalu saya menulis di lobimesen.com tentang
resensi Hancock. Sebuah drama komedi romantis superhero yang saya sukai. Di dalam
tulisan itu saya menuliskan bahwa ada peristiwa pencabutan iman dari dalam hati
saya. Peristiwa yang memutarbalikkan semua pandangan hidup saya. Membuat saya
mencari hingga ke dasar mutiara dalam agama. Inti dari kehidupan ini yang bebas
dari kepentingan dan ego.
Pada saat saya kuliah saya pernah berdiskusi dengan seorang
teman. Ia termasuk orang yang memiliki pandangan luas tentang agama. Ayah juga
kakaknya seorang yang cukup disegani dalam komunitas agamanya. Kami berdiskusi
tentang: kita tidak memiliki apa-apa. Saat itu saya nyeletuk sebelum pulang:
bahkan iman itu bukan milik kita. Sepertinya ia tidak setuju (atau kesal karena
saya sok tahu), karena ia menanggapi dengan ‘iya’ namun ada nada penekanan.
Baru saya sadar ucapan itu menemui jiwanya baru-baru ini.
Kehampaan saya rasakan sejak beberapa tahun ini. Saya merasa
jadi orang atheis yang tidak bertuhan. Sebenarnya pengertian atheis itu banyak,
namun saya merasa begitu karena ada keterpisahan dengan Tuhan. Saya tidak
merasakan kehadirannya walaupun sudah sangat berusaha. Akhirnya saya memaksa
otak untuk menyerap sekuat tenaga segala yang ada di alam semesta. Kepekaan itu
coba saya rasakan kembali dan meyakinkan bahwa itu ada dalam diri.
Semacam pencerahan pun saya dapatkan.
Sudah bukan hal aneh apabila kita mengatakan bahwa segala
hal yang ada di alam semesta ini milik Tuhan. Namun itu pun sebenarnya memiliki
tingkatan pemahaman. Pada awalnya kita sadar segala yang terpisah dari diri
kita seperti bumi, langit, hewan, dan benda-benda itu milik Tuhan. Di tingkatan
lebih esoterik, kita mulai sadar bahwa diri ini bukan milik kita: badan, otak,
mata, tangan semua milik Tuhan. Lebih mendasar lagi semakin sulit dipahami
adalah segala yang ada dalam batin juga bukan milik kita.
Termasuk di dalamnya iman.
Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya namun ada satu Hadits
Qudsi dari Imam Bukhori:
“Seorang hamba yang
berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah yang Aku wajibkan dan Aku
sunnahkan maka Aku akan mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku menjadi
telinganya untuk mendengar, matanya untuk melihat dan tangannya untuk
digerakkan, dan kakinya untuk berjalan.”
Ini bukan berarti saya menganggap diri dekat dengan Tuhan. Hanya
merasa ‘oh jadi ini yang dimaksud riwayat itu.’ Saat badan dan seluruh anggota
tubuh merasa adalah milik Tuhan.
Kesadaran bahwa Tuhan melingkupi semuanya. Tuhan ada, bahkan
menguasai yang tidak terlihat seperti iman. Jadi semakin berpikir lagi untuk
merasa diri ini hebat. Iya memang diri ini hebat namun sebagaimana orang lain
juga memiliki kehebatannya sendiri. Jadi ketika kita manusia ini merasa
memiliki iman, mungkin perlu dikaji kembali. Nah kalau perkataannya diganti:
kita dianugerahi iman, mungkin itu lebih dekat pada kepasrahan.
Saat sadar bahwa iman itu bukan milik saya, seperti halnya
cinta dan perasaan-perasaan lainnya, rasanya lebih enteng. Sebab saya jadi
merasa tidak harus ini harus itu, memaksa diri ini itu, hingga memaksa orang
lain karena diri sendiri tidak bisa mencapai keharusan yang saya ciptakan
sendiri. Lebih merasa diri ini memiliki kesamaan dengan benda-benda dan mahkluk
lain. Mungkin inilah yang disebut menyatu dengan alam dan merasa sama-sama berasal
dari tepung alam semesta.
Mempertahankan inspirasi ini tentu tidak mudah kawan.
Pada kenyataannya banyak sekali godaan dan saya pun tergoda
pula. Saat saya tergoda pun jadi sadar bahwa ternyata manusia hanya bisa
melakukan dosa. Manusia hanya bisa membuat kesalahan dan mengurangi nilai dari
suatu ciptaan. Apa ini skeptis? Saya pikir tidak. Realistis, kalau boleh saya
menyebutnya begitu. Jadi lebih dekat dengan kenyataan dan secara status
kewarasan, mungkin berlawanan dengan gangguan disosiatif.
Ini seperti dialog terakhir dalam novel Angels and Demons
karya dan Brown, saat Langdon mengaku iman adalah sesuatu yang belum ia terima.
Pengakuan itu sepertinya jadi sebuah kejujuran, yang menandakan iman ada dalam
hati Langdon. Ya kadang memang mengartikan hal-hal bersifat esoterik tidak
hanya dengan menerima namun juga menolak sesuatu. Yang terpenting adalah itu
benar-benar perasaan dan pikiran dalam diri kita, yang bebas dari mengada-ada.
Well, tulisan ini
tidak bermaksud apa-apa dan murni ingin berbagi pengalaman. Jadi apabila
pembaca muncul perasaan tidak enak itu semata-mata bukan berasal dari niat
saya. Kata-kata adalah media saya untuk berbagi dan saya rasa kita semua
memiliki hak untuk berkata-kata. Selama kata-kata itu tidak mengajak berbuat
buruk, selama kata-kata masih digunakan sebagai penyampai makna, tidak masalah
bagaimana persepsi dan pemikiran di dalamnya.
Tidak ada penulis yang ingin menyesatkan pembacanya.