Judulnya terkesan kurang ajar ya? Tulisan pendek yang akan
Anda baca ini memang bakalan banyak topik kurang ajar. Terutama bagi teman-teman
yang memiliki skema pemikiran: orang tua harus selalu ‘diutamakan’. Saat orang
tua menjadi tempat utama dalam mencari pertimbangan, ibarat direktur sebuah
perusahaan. Setiap keputusan selalu tergantung dari pengesahan dari dewan
direksi. Sebuah pola yang terjadi dalam hirarki organisasi.
Bukan rahasia kalau dalam keluarga kita mengenal beberapa
tipe pola asuh. Seperti demokratis, permisif, protektif, dan otoritatif. Orang
tua kita mungkin cenderung ke dalam satu pola asuh itu. Pola asuh itu menjadi
budaya pergaulan antara anak dan orang tua. Kalau dikaitkan dengan judul,
mungkin orang tua dengan pola asuh otoritatif yang akan mendemo saya karena
menuliskan ini. Walaupun tidak sedikit anak muda sekarang yang memperjuangkan
emansipasi anak kepada orang tua.
Terlepas dari tipe orang tua itu, saya ingin menceritakan
suatu keadaan di mana orang tua sulit sekali menerima kebenaran. Kebenaran yang
saya maksudkan adalah ilmu agama. Tidak semua generasi warisan kemerdekaan
adalah dari kalangan ulama. Keluarga-keluarga dari kalangan menengah dan
menengah ke bawah terutama, kebanyakan sangat jauh dari ilmu agama. Waktu
mereka kebanyakan untuk mempertahankan diri dari tekanan keadaan ekonomi.
Keadaan ekonomi era orde baru tidak seperti sekarang. Banyak
yang harus dilakukan untuk bisa memenangkan persaingan. Tidak ada namanya
kemerdekaan berbuat dan support system
berupa komunitas atau gerakan-gerakan dalam segala bidang. Uang yang beredar pun
belum terlalu banyak. Nilai 1 rupiah dulu masih sangat berharga, bahkan ada
nilai sen. Sekarang nilai rupiah telah mengalami inflasi yang terus meningkat
dari tahun ke tahun.
Orang-orang terus berjuang untuk mendapatkan harta. Zaman
uang membuat segala hal harus dibeli dengan uang. Makanan, baju, pendidikan,
semua tergantung ketersediaan uang. Bukan tidak mungkin orang-orang jadi kalap
karena kemerdekaannya dibatasi oleh pemerintahan. Meskipun pemerintahan telah
beralih, rakyat tetaplah belum merdeka karena uang. Sistem uang membuat
peradaban terglobalisasi, tapi kebodohan juga semakin tergeneralisasi.
Terjawab sudah pemikiran materialis orang tua di zaman
sekarang berasal dari mana.
Selain uang, dalam beberapa dekade ini perkembangan identitas
agama-agama sangat kentara. Terutama di wilayah-wilayah perkotaan yang sangat
membutuhkan tempat untuk melepas ketegangan. Masjid, gereja dan vihara adalah
yang paling banyak saya temui. Indonesia semakin mengukuhkan identitasnya
sebagai negara beragama. Orang-orang yang tidak beragama takkan diakui
keberadaannya. Sebab kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) wajib diisi.
Walaupun beberapa waktu lalu ada isu kolom agama bakal
dihilangkan.
Orang tua, sebagai pewaris pemikiran orde lama dan orde
baru, memiliki warisan kepercayaan pula. Kepercayaan itu bisa dari agama atau
adat budaya. Di abad 21 ini kita melihat adat budaya mulai tergerus agama-agama
resmi yang diakui. Tentu ini upaya yang tidak instan dari pewaris para nabi.
Efek nyatanya jelas terasa dari keluarga yang dekat dengan ulama. Efek terjauh
dirasakan oleh keluarga-keluarga yang di dalamnya masih belum melek agama.
Upaya dakwah tentu tidak mudah, apabila kita termasuk
dalam keluarga tersebut.
Kesadaran akan beragama, walaupun hanya sebatas ritual
mungkin masih kurang. Mereka masih memiliki kepercayaan dari agama nenek
moyang, atau mungkin hanya mampu mengamalkan sedikit dari ajaran agama yang
diakui. Tidak dipungkiri ini terkadang membuat pertentangan antara anak dan
orang tua. Saat anak memiliki pemahaman agama lebih banyak daripada orang tua.
Di sisi lain orang tua tidak mau menambah wawasannya soal agama.
Ada suatu kesadaran untuk menggauli mereka sewajarnya.
Membiarkan orang tua tetap dengan pegangannya. Namun ada perasaan ingin membenarkan
yang tidak bisa diabaikan. Bahwa mereka orang tua kita dan tentu kita tidak
tega apabila mereka masuk neraka. Pertentangan kemudian muncul antara sentimen
pribadi dan nilai diri. Sesuatu yang secara perasaan menguras banyak air mata,
namun nilai kita mengajarkan untuk membiarkannya saja.
Yang terpenting menggauli mereka dengan baik dan tetap
berbakti.
Ini hal yang sulit, bahwa kita harus merelakan sebagian
ideal kita tentang orang tua. Bahkan mungkin melepas semuanya saja sekalian.
Kita relakan saja mereka begitu, bahkan bila mereka pernah dan masih bertindak
jahat. Kita sudah tidak memiliki urusan lagi dengan orang tua, kecuali
mendoakan mereka. Mendoakan agar pintu hati mereka terbuka, dan hidayah Tuhan
datang menyinari hati keduanya. Doa yang sangat mendasar dan mungkin sering
tertutupi doa-doa lain.
Padahal hidayah itu kuasa Tuhan yang tidak bisa dimanipulasi
manusia, kawan.
Bisa dibayangkan bila Tuhan tidak memberi kita petunjuk,
jalan, dan ilmu. Kita tidak diberikan ilmu membaca saja takkan mungkin paham
tulisan ini sehuruf pun. Di belahan negeri ini banyak yang anak-anaknya masih
belum bisa membaca huruf latin. Mereka bukan primitif, namun tidak mendapatkan
kesempatan seluas kita di Pulau Jawa ini dalam akses keilmuan. Apakah kita lantas
merasa ilmu yang kita pelajari dan membentuk kita itu tidak berguna?
Lagipula, ilmu yang kita dapatkan tidak hanya untuk mencari
pekerjaan.
Walaupun orang-orang tua kita masih banyak yang berpikir
menyekolahkan anaknya untuk tujuan itu. Jabatan di suatu instansi tidak dapat
kita gantungi terus menerus. Kita hanya bisa mengandalkan pekerjaan di
perusahaan dan instansi pemerintah, selama negara ini masih ada. Apabila
kedaulatan kita hilang, semua badan penadah uang itu akan mati. Bukannya kita
lantas perang juga, tapi bisa dipastikan para manusia berperadaban kota akan
kelaparan karena tidak ada pasokan makanan.
Kita harus membuka hati dan pikiran untuk mendobrak
pemikiran orang tua.
Bukan hanya masalah agama, sudut pandang yang sempit pun
harus kita lebarkan. Kita tidak mungkin terus-terusan hidup dalam kecukupan.
Kemapanan yang ada dalam benak teman-teman, tidak selalu bisa dicapai. Pada
kenyataannya, yang membuat kita selamat hidup di dunia ini hanyalah kematian.
Kita tidak akan mungkin mengikuti khayalan peradaban. Saat kita bisa hidup
damai, tenteram, semua manusia mendapatkan apa yang dibutuhkan.
Itu semua adalah khayalan yang ditunjukkan Doraemon.
Tulisan ini untuk para anak yang telah matang usia, dan
ingin agar hidayah yang didapatkan juga berguna untuk orang tua. Mereka yang
masih berharap ayah dan ibunya mendapatkan akhir yang baik sebagai manusia.
Mati dalam keadaan telah terbebas jiwanya dari ikatan dunia. Agar orang tua
yang kita sayangi juga mendapatkan kasih sayang Tuhan secara layak. Agar kelak
kita dan keduanya kelak dapat dikumpulkan bersama-sama di surga.
Terus mendoakan mungkin adalah cara paling sederhana. Sebab
kita tidak mungkin mengubah orang lain. Apabila orang tua kita berbeda agama
pun, kita tidak bisa mengubah pilihan mereka. Sampai di sini sebenarnya tanggung
jawab kita begitu sederhana: berbakti kepada orang tua dengan berusaha terus
memperbaiki diri. Apabila ada pahala yang kita dapatkan, tentu orang tua pun
akan mendapatkannya. Mereka memiliki andil atas jadinya diri kita sekarang.
Pada akhirnya tulisan ini tidak ada kurang ajar-kurang
ajarnya.
Kamar Pecah, 5 Juli 2017