![]() |
Sumber: media.licdn.com |
Kemauan kuat dari dalam diri sendiri hingga sekarang masih saya pelajari. Bagaimana menemukan niat dalam diri sendiri dan mengubahnya jadi energi tidak tergoyahkan. Berlebihan ya kedengarannya tapi niat memang pangkal dari segala perbuatan. Niat berbeda dengan keinginan walaupun masih ada yang menilai sama. Keinginan bisa saja tidak kita perjuangkan, karena tahu tidak semua keinginan harus terwujud. Niat adalah keinginan yang sudah diikat dengan komitmen terhadap diri sendiri.
Komitmen untuk berproses dan masuk ke dalam keinginan itu.
Semisal kita ingin menikah (maklum jomblo topiknya nikah
melulu). Kalau sebatas ingin nanti akan berubah-ubah. Satu waktu ingin banget
di waktu lain cuma agak ingin. Begitulah keinginan berfluktuasi sesuai suasana
hati. Niat seperti tali pengaman dalam kegiatan mendaki tebing. Saat kita
hilang pijakan, tali pengaman itu yang akan menopang badan. Kita bisa
meneruskan pendakian hingga mencapai puncak tebing.
Niat akan membuat kita tidak mudah terdistorsi.
Distorsi saat akan menikah apa sih? Beberapa distorsi atau
godaan yang harus dijawab pernah saya tulis di tulisan Laki-laki
di Persimpangan. Godaan yang kita kenal seperti finansial, keinginan orang
tua, masalah dengan orang di masa lalu, dan sebagainya. Menikah itu tidak
selalu mudah, walaupun sering ada promosi ‘nikah itu mudah’ di beberapa kajian.
Kenyataannya masalah-masalah sebelum menikah bisa datang silih berganti dan
memaksa kita menarik langkah.
Mungkin itu yang saya rasakan sekarang.
Beberapa waktu lalu saya berdoa untuk menikahi seorang
perempuan. Memohonkan seseorang sebagai istri saya kepada Allah. Pada waktu itu
saya menangis karena tahu ada sesuatu yang belum benar-benar ‘sudah’. Jiwa saya
belum tenang untuk berpindah dari keadaan depresi ke mental adaptasi. Saya
katakan mental karena yang butuh diperbaiki adalah kecenderungan depresi dalam mind. Kecenderungan yang berasal dari
rekaman pembelajaran sejak kecil.
Perbaikan mind
mungkin bisa dilakukan dengan langkah sederhana terapi kognitif.
Saat mental saya adaptif, respon yang terjadi mungkin tidak
se-melenceng saat depresif. Saya masih mengartikan beberapa hal berlebihan dan
jauh dari ketenangan manusia
tanpa ciri. Walaupun sudah tahu ilmunya saya tidak mau menyelaminya dengan
sungguh-sungguh. Itulah kesalahan terbesar saya yang membuat diri ini tidak
berkembang. Saya terus menyesali kecenderungan depresi yang muncul beberapa
tahun belakangan ini.
Dasarnya, yang melukai saya begitu dalam adalah cinta
seorang wanita.
Ternyata saya benar-benar tidak tahu bagaimana menyembuhkan
patah hati hingga ke akar-akarnya. Hanya satu yang membuat sakit: tidak bisa
bersama. Kenyataannya dulu tinggal sedikit lagi kita bisa benar-benar membuat
ikatan yang kuat. Namun, Tuhan ingin memberikan pelajaran berharga untuk
ditanamkan kepada diri saya. Pelajaran bahwa dia bukan jodoh saya dan hanya Allah yang tahu siapa yang terbaik untuk
menjadi pasangan saya.
Saya belajar memasrahkan diri dan proses menuju kepasrahan
itu tidak mudah.
Ternyata saya tidak hanya berhadapan dengan patah hati
karena wanita. Segala hal yang saya pendam bertahun-tahun muncul ke permukaan:
kekecewaan-kekecewaan terhadap orang tua, keluarga, dan trauma masa kecil. Semua
itu menabrak kesadaran dan akhirnya saya terjatuh dalam jurang tanpa dasar.
Saya tidak bisa keluar karena niat telah hilang, atau lebih tepatnya saya tidak
punya radar untuk mendeteksi niat dalam diri.
Radar itu adalah AKU
tukang nyawang kalau dalam terminologi Ki Ageng Suryomentaram.
Semakin saya sadar dalam diri sendiri ada ‘pengawas’ atau ruh, saya semakin mudah mengendalikan
jiwa. Jiwa dalam bahasan ini mencakup pikiran (mind) dan perasaan (feeling).
Dua aspek jiwa itu yang menjadi pokok fluktuatif dalam diri. Ibu dan Simbah (baca
lengkapnya di sini)
tidak mampu masuk ke dimensi ruh dan menafsirkan jiwa terpisah dari ruh. Mereka
terlarut dan terbawa hingga mudah sekali terpancing keadaan. Kekosongan
pengetahuan untuk mengatur diri itu yang sekarang saya pelajari.
Jika menuruti jiwa saya akan terus terjebak dalam kondisi depresi.
Kondisi di mana saya tidak mampu mendidik pikiran dan
perasaan menjadi alat. Pikiran alat
pertahanan diri dan perasaan alat
memotivasi diri. Pikiran sifatnya seperti rem yang menghentikan laju sedangkan
perasaan adalah gas untuk meningkatkan laju. Terlalu memakai pikiran tidak akan
maju-maju, terlalu memakai perasaan membuat terburu-buru. Keduanya bukan
perilaku di bawah kontrol dan tidak adaptif (lebay mungkin kalau bahasa kekinian).
Respon-respon emosi yang tidak sesuai sering saya tunjukkan.
Sering saya sadari itu respon otomatis dari pikiran dan
perasaan yang tidak sinkron (padu). Sayang saya menyadarinya setelah melakukan
dan tidak jarang membekaskan sakit di hati orang lain. Orang lain belum tentu
memaafkan dan mau mengakrabi saya kembali. Jika mereka mau mengerti bahwa itu
di luar kendali, mungkin saya masih punya banyak sahabat. Kenyataannya bahkan
keluarga tidak membuka pintu hati mereka menerima kondisi depresi saya.
Saya ingin terbiasa dalam kondisi adaptasi secara singkat,
tapi jelas tidak mungkin.
Ada proses yang harus saya lalui untuk mengedukasi diri
sendiri. Saat proses mengedukasi itu tidak jarang saya mengalami pasang surut.
Ada kalanya saya begitu termotivasi namun ada juga saat frustrasi. Berhadapan
dengan diri sendiri yang mengalami banyak luka masa kecil jelas bukan hal
mudah. Egosentrisme akan terus menahan agar saya tidak memerangi
pikiran-pikiran destruktif. Takkan mau merendahkan hati untuk menerima bahwa
diri ini sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Beberapa waktu ini saya mulai mendekati keluarga kembali.
Tentu dengan pelan-pelan karena mereka mewarisi
pikiran-pikiran destruktif pula. Salah bicara sedikit langsung menusuk pusat
stres dan akhirnya pesan tidak tersampaikan. Mereka bisa jadi sulit memahami
perkataan saya yang cenderung transenden dan abstrak. Saya harus menyampaikan
dengan bahasa sangat sederhana agar mereka mengerti maksud baik dalam niat saya
–plus melerai dendam dalam diri saat berhadapan langsung.
Bukan usaha ringan mengingat betapa saya merasa tidak
memiliki teman.
Saya harus memahami orang lain dan saat saya butuh dipahami
mereka pergi. Rasanya saya ingin mati saja bila kelemahan dalam diri ini tidak
ada yang memaklumi. Teman yang benar-benar teman pun sudah memiliki hidup
bersama suami dan istri. Tentu mereka memiliki porsi sedikit untuk memahami
orang lain yang bukan di lingkaran keluarganya. Saya tidak mungkin memaksa
orang-orang itu untuk mengerti karena mereka memiliki ujian hidup sendiri.
Harapan saya hanyalah seorang istri yang mau menerima
kelemahan saya.
Ia yang mau memaklumi keadaan saya. Mengerti kemarahan saya
dan mau mendukung hidup saya. Saya rasa itu tidak muluk-muluk karena saya juga
berusaha untuk melatih kelemahan dalam diri. Saya juga berusaha mengurangi
khilaf agar tidak menyakiti orang lain. Walaupun saya masih jauh dari
ketenangan yang sebenar-benarnya tenang. Kenyataannya hijrah tidak seperti
membalik telapak tangan dan hasilnya tidak selalu sesuai harapan.
Kita berharap tidak melakukan A lagi tapi karena terlanjur
biasa A itu masih kita lakukan.
Butuh pembiasaan dan kesadaran tinggi pada keberadaan
AKU-tukang-nyawang. Saat kita mengawasi dan menjadi tuan atas diri kita
sendiri. Ruh kita memancarkan energi cakra yang beresonansi dengan cakra orang
lain. Saat itu kita mampu berkoneksi dengan orang lain, karena kita terkoneksi
dengan diri kita sendiri pula. Terbebas dari kondisi terpenjara pikiran dan
perasaan. Kondisi adaptasi di mana kita mampu menyatu dengan alam semesta.
Khusyuk.
Perpustakaan UNS, 17 Agustus 2017
Wew.. Ntu sebenernya curhat apa gimana sih gan? Bingung ane bacanya hehe
BalasHapusJangan lupa mampir ya gan
http://rudyjack.gnive.com
http://hayalband.info