Tulisan ini sedikit egois, anggap saja begitu –kenyataannya
mungkin egois sekali. Saking egoisnya saya kesal saat diajak bicara Simbah
ketika menuliskan paragraf pertama ini. Ya namanya orang tua maunya
diperhatikan, kadang walau untuk bertanya atau membicarakan hal yang itu-itu
saja. Tulisan ini bukan ingin membahas karakter orang tua yang egois namun
mengibakan itu. Bahasan dalam tulisan ini berkaitan dengan banyak cerita
tentang perceraian yang sampai kepada saya.
Sementara saya menerima kenyataan perceraian orang tua saja susahnya
minta ampun.
Hingga sekarang saya tidak pernah bisa menerima perceraian
sebagai hal yang bermanfaat. Benak saya dipenuhi perceraian adalah efek dari
kegigihan yang pupus di antara pasangan. Saat pasangan tidak mau bersama istri
atau suaminya lagi itu mungkin wajar bila terjadi sekali dua kali. Pertengkaran
dan konflik itu wajar terjadi antara suami istri menurut saya. Bukan berarti
harus dibiasakan karena kalau terlalu sering berarti masalah sebenarnya bukan
konfliknya.
Ya, manusianya.
Saat saya mencari cerita tentang perceraian Ibu dan Bapak
dulu yang ada hanyalah kekecewaan. Simbah ngotot agar Ibu tidak melanjutkan
pernikahannya dengan Bapak. Sementara Ibu antara lanjut dan tidak karena
keluarga Bapak tidak begitu ramah terhadapnya. Kalau pembaca berpikir ini
mungkin berasal dari Ibu yang tidak mampu beradaptasi, awalnya saya pikir juga
begitu. Namun, adik-adik saya menceritakan hal yang sama tentang keluarga Bapak
yang tidak begitu bisa diajak bicara baik-baik.
Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Bapak saat itu.
Kalau mendengar cerita Ibu saya tidak melihat adanya sisi
baik yang menonjol. Namun, melihat adik-adik saya sekarang jelas Bapak berusaha
keras memperbaiki hidupnya. Itu cerita yang dimiliki adik-adik dan saya tidak
mengalaminya langsung. Ibu sampai sekarang masih merasa sebagai korban
perasaan. Korban dari keegoisan Simbah dan keluarga Bapak yang dulu ngotot
memperjuangkan perceraian. Ironisnya Bapak dulu memilih keluarganya daripada
Ibu.
Setelah itu saya tidak pernah bertemu Bapak hingga beliau
meninggal.
Itu yang sampai sekarang menggelitik pikiran saya. Apakah
orang-orang tidak bisa berhenti egois sebentar saja dan memerhatikan perasaan
orang lain. Setidaknya anak yang telah lahir atas hubungan cinta pasangan. Setiap
kubu merasa paling mampu dan berhak merawat anaknya. Tanpa berpikir bahwa sang
anak ingin kedua orang tuanya bersama, bukan merebutkannya. Kasihan anak yang
masih bertumbuhkembang harus mengalami drama emosional yang berada di luar
kemampuan umurnya.
Andaikata orang tua mau meminta maaf atas kesalahannya,
tidak ada yang terlambat untuk diperbaiki. Kebanyakan saya temukan orang tua
tidak merasa bersalah. Mereka malah merasa memperjuangkan yang terbaik untuk
anak dengan memisahkannya dari ayah atau ibu mereka. Sikap dewasa macam apa
ini? Banyak cerita yang lebih ironis di luar sana dalam mempertahankan rumah
tangga. Semua dilakukan orang tua demi anak.
Mungkin posisi sebagai orang tua ini yang perlu disadari,
bukan hanya sebagai pasangan.
Kalau sebagai pasangan pikirannya jelas terfokus pada
kekecewaan terhadap suami atau istri. Namun, bila sadar posisi sebagai orang
tua yang terbayang banyak jelas masa depan si anak. Apakah si anak akan
terdidik dengan baik dan mampu bertahan dari badai kehidupan saat dewasa nanti.
Sebab saat rentan-rentannya si anak disuguhi drama konflik yang
kekanak-kanakan. Emosi-emosi yang tidak perlu bisa saja merangsang otaknya
untuk berperilaku berdasar emosi yang sama saat dewasa nanti.
Tidak usah jauh-jauh contohnya saya.
Banyak emosi-emosi negatif terprogram dalam otak saya.
Reaksi saya terhadap sesuatu bukannya sesuai keadaan tapi cenderung negatif
pula. Seperti Ibu yang merasa sengsara dan mendapatkan tanggungan saat
mendapatkan makanan. Ia anggap itu tanggungan bukannya rezeki dari Tuhan. Hasilnya
beliau mau makan juga muncul perasaan berat hingga kadang makanan itu
kadaluwarsa duluan. Jika berpikir bahwa itu rezeki, karena tahu tidak mampu
menghabiskan sendiri, makanan itu lantas dibagi.
Itu baru satu contoh, belum Simbah yang marah-marah tatkala
mendapatkan banyak daging kurban.
Apa yang akan terjadi dalam otak si anak ketika yang ia
alami bersama orang tuanya adalah perceraian dan pertengkaran? Jelas ia saat
dewasa kemungkinan besar akan banyak berkonflik pula dengan orang lain. Pasalnya
ini berhubungan dengan nilai dan pembelajaran yang dapat mendidik jiwa. Saat jiwa
kita terdidik dengan baik anak kita kemungkinan besar akan terdidik dengan baik
pula. Namun, jika kita tidak mau mendidik jiwa kita sendiri bagaimana kita
mendidik jiwa anak?
Mendidik jiwa yakni berusaha mengendalikan pikiran dan
perasaan.
Ini tentu sulit karena kadang ego kita anggap sebagai diri
kita sendiri. Padahal ego itu hanyalah dimensi terluar yang menutup kita dari
sejatinya diri kita: ruh. Pikiran dan
perasaan adalah implementasi ego itu sendiri. Jika kita terbawa arus perasaan
dan kekauan pikiran kita masih dalam dimensi ego. Itu yang membuat kita lantas
disebut egois. Saat pikiran dan perasaan terkendali oleh kekuatan ruh itulah keadaan manusia
tanpa ciri.
Saya pikir keadaan manusia tanpa ciri ini perlu diusahakan.
Kita tidak berpatokan pada keinginan kita tapi apa yang
perlu. Tentu pertimbangan semacam ini butuh ilmu dan tidak sedikit dari kita
yang masih malas belajar. Substansi hidup perlu kita sadari dan ikuti agar
tidak melawan hukum alam. Keinginan kita bisa berbahaya apabila membelokkan
dari aturan alam. Banyak orang menikmati masa mudanya seperti raja dan
meninggal dalam keadaan hina. Ada juga yang menjalani hidup seperti rakyat
jelata dan mati meninggalkan setinggi-tingginya nama.
Hidup nikmat di dunia itu berbahaya meskipun kita semua
menginginkannya.
Ada baiknya kita memahami bagaimana alam ini bekerja. Prinsip
sederhana seperti: siapa yang menanam akan menuai. Apa yang kita tanam sekarang
akan melahirkan buah yang kita petik nanti. Tentu kita ingin anak kita lebih
baik dari diri kita sekarang. Namun, yang mau menjadikan dirinya lebih baik
sungguh sangat sedikit. Kebanyakan tidak mau meninggalkan kenyamanan dan
kenikmatan lama untuk mau beralih posisi sebagai orang tua –yang tinggal
menunggu mati.
Posisi kita sebagai orang tua hanyalah manusia yang menunggu
mati.
Jika kita sadar itu tentu kita akan lebih banyak berbenah
daripada mengungkit salah. Apa yang terjadi di masa lalu bukan lagi sesuatu
yang perlu banyak diributkan. Dibahas untuk diselesaikan memang perlu tapi
bukan dijadikan alasan sekarang tidak mau belajar. Orang yang aura dirinya memancar
tidak perlu menjelaskan dirinya di depan orang lain. Orang yang telah belajar
akan sadar bahwa dirinya hanya manusia yang suatu saat akan mati.
Untuk apa mempertahankan egosentrisme jika suatu saat kita
akan melepaskannya juga?
Lebih baik kita belajar berkompromi dengan keinginan dan
berkata: kamu tidak harus terwujud, daripada mempertahankan keinginan yang
akhirnya menyengsarakan diri kita sendiri. Kita mau mati dalam keadaan diingat
manusia? Boleh saja tapi tujuan linear semacam itu akan melahirkan usaha yang
dangkal pula. Lain halnya bila kita ingin mati meninggalkan kesan untuk
kebaikan. Lebih tinggi lagi saat kita mati dalam keadaan meninggalkan kesan
kepada Tuhan.
Hidup ini sederhana namun bila tidak mampu memahaminya akan
melahirkan banyak kerumitan.
Semua yang kita miliki akan kita tinggalkan. Anak dan
pasangan juga salah satunya. Tidak masalah kita sekarang dalam keadaan
bagaimana, tapi sikap kita melihat keadaan itu. Jika sikap kita masih merasa
lebih rendah dari masalah dan keadaan itu, kita takkan memiliki percaya diri. Jika
kita merasa diri kita lebih tinggi dari masalah maka akan lahir perasaan
sombong. Mau jadi bagaimana kita tergantung keputusan kita sendiri.
Putuskan sesuatu dengan ilmu bukan dengan pikiran dan
perasaan.
Kamar Pecah, 3 September 2017
Ilustrasi: jasonlevoy.com
Ilustrasi: jasonlevoy.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar