Tujuan saya menulis adalah menginspirasi. Mau seperti apa
tulisan saya niat itu yang ada di dalam hati. Namun, pada kenyataannya niat itu
terimplementasi ke dalam catatan-catatan sarat luapan emosi. Catatan saya
sebagian besar warna perasaannya yang meledak-ledak. Saya mencari apa
sebenarnya, tanya pada diri sendiri. Jika memang tujuan saya menginspirasi,
mengapa malah hal-hal buruk yang saya bagikan? Jika tujuan saya meluapkan
emosi, mengapa harus dibalut kata ‘menginspirasi’?
Saya kembalikan kepada pembaca karena toh catatan-catatan
saya sudah dibaca banyak orang.
Saya bukan orang dengan pengalaman ke-HRD-an seperti Riki.
Juga bukan yang memiliki wawasan keilmiahan seperti Fadjri. Atau Kadek yang
sering menuliskan tentang mindfullness.
Saya hanyalah kontributor yang berusaha mencari ‘rumah’ untuk tulisan-tulisan.
Bagi saya web berlogo burung hantu ini sudah banyak memberi ruang untuk
pikiran. Tentu, pikiran saya yang ruwet dan sedang dalam proses pembenahan
lewat tulisan.
Apa yang terjadi tatkala pikiran ruwet itu dibahasakan?
Ya, kode yang salah. Semisal saya ingin mengungkapkan rasa
senang tapi yang muncul malah kekecewaan-kekecewaan di masa lalu. Itu otomatis
dan saya tidak mampu mengontrolnya. Alhasil, niat awal yang tadinya
menginspirasi aplikasinya malah mencari eksistensi diri. Ada dendam yang belum
terkelola dengan baik. Ada kecewa yang belum sepenuhnya saya terima. Trauma,
terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu.
Harus diakui saya rentan secara psikologis dan tidak tahan
stres. Saya tidak kuat menghadapi tekanan dan karena itu masih sering mencari
pelarian. Saya masih sering menghindari masalah daripada berusaha
menyelesaikannya. Pikiran saya seperti terprogram untuk mencari masalah di
dalam masalah, bukan solusi yang membuahkan jalan keluar. Pikiran saya dipenuhi
hal-hal rumit yang membuat segala hal di dunia ini tampak ‘lebih dari
kelihatannya’.
Ya saya cenderung melebih-lebihkan sesuatu sehingga mudah
mengalami stres.
Stres itu menjadikan saya kehilangan fokus untuk menikmati
momen here and now. Saya mudah
teralihkan dan terpukau oleh sesuatu di luar topik atau sesuatu yang sedang
saya kerjakan. Melamun adalah hal biasa yang masih sering saya alami. Pernah menonton
film The Secret Life of Walter yang dibintangi Ben Stiller? Saat adegan Walter
berangkat kerja? Ya itu yang saya alami. Pikiran tiba-tiba terlempar ke alam
khayalan yang jauh di luar kondisi sekarang.
Jika hanya mengkhayal seperti itu masalahnya masih taraf
ringan. Nah, kalau sampai lahir bisikan-bisikan untuk bunuh diri, menyakiti
diri sendiri, dan menyakiti orang lain? Itu masalah level berikutnya bro. Bukan hanya fokus pikiran, isi
pikiran atau mindset harus dibenahi agar
bisikan-bisikan itu mampu diatasi. Tentu mengubah mindset tidak semudah mengubah wallpaper
di handphone kita. Butuh penghayatan
dan ketelatenan menghalau pikiran-pikiran itu dan menggantinya dengan pemahaman
baru.
Itu sulit apalagi jika sudah masuk usia dewasa.
Sekarang saya sedang berusaha mengatasinya. Mengurai satu
demi satu pikiran-pikiran buruk dan menggantinya dengan pikiran-pikiran baik. Memrogram
kembali mindset yang menjadi dasar
seluruh tindakan saya. Pertama, saya berusaha tidak takut dengan
bisikan-bisikan itu dulu. Saya kuatkan diri untuk menerima semua bisikan yang
muncul. Bisikan itu kalau sudah di-iya-in dia akan diam sendiri. Walaupun nanti
muncul lagi tapi lama-lama ia lemah sendiri.
Menulis adalah salah satu upaya saya meng-iya-kan bisikan-bisikan
itu. Jujur pada diri sendiri bahwa saya memiliki pikiran-pikiran seperti itu.
Keluarga sampai ada yang membaca dan beberapa menunjukkan reaksi yang tidak
suportif. Maksud saya, yang bereaksi itu bukannya prihatin malah kecewa dengan
kejujuran itu. Andai saja mereka tahu mendidik ego tidak semudah membuat bulatan bakso. Apalagi dalam id terlanjur terekam perilaku-perilaku
agresif dan emosional.
Keluarga kaget saya memiliki kenyataan psikologis mengerikan
semacam itu.
Namun, saya juga tidak bisa terus lari dari kenyataan bahwa
dorongan dari alam pikiran bawah sadar untuk bunuh diri memang ada. Saya tidak
membuat-buatnya karena ia seperti seseorang yang bicara tanpa menunjukkan
wujudnya. Bisikan setan mungkin kalau dalam sudut pandang agama. Jadi, apa
langkah yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya? Rekonstruksi alam pikiran
bawah sadar dengan melakukan pemrogaman ulang mindset tadi.
Oya, tentang tiga struktur kepribadian id, ego, superego bisa dibaca di sini.
Aspek kepribadian ego saya
didik untuk tidak menuruti dorongan id
mentah-mentah, itu bisa jadi langkah awal. Aspek kepribadian superego yang harus diperkuat dengan
moral dan etika. Ya saya akui moral dan etika saya kurang berperan dalam
kehidupan sehari-hari. Kepada yang lebih tua saya juga tidak menghormati
sebagaimana baiknya. Kepada Ibu dan Simbah saja saya masih pakai bahasa Jawa ngoko, tingkat bahasa untuk bergaul
dengan teman sepermainan.
Mungkin yang membuat saya seperti itu adalah kesombongan.
Kesombongan yang merasa diri ini lebih baik dari orang tua
dan keluarga. Memang keluarga telah menorehkan banyak sekali kenangan
traumatis. Namun, itu tidak menjadikan saya lebih baik dari mereka. Apabila saya
dilukai oleh seseorang secara sengaja, apakah lantas saya jadi lebih baik
karena teraniaya? Jelas tidak. Saya tidak tahu apa yang dialami orang itu dan
segala amal yang telah diberikannya untuk mengisi hidup.
Mungkin mereka memiliki andil pada luka psikologis yang ada
dalam diri saya.
Namun, bukan berarti mereka tidak memiliki amal di luar
perbuatan-perbuatan mereka kepada saya. Ada saat mereka berbuat baik kepada
saya namun, itu tidak mampu mengimbangi rasa kecewa dalam diri saya. Rasa
kecewa terhadap hidup yang menempatkan saya dalam posisi jauh dari kenormalan. Jika
saya sulit menerima kenyataan perceraian dan kondisi Ibu sekarang, apakah itu
salah? Sementara kenyataan itu benar-benar menyakitkan, dan Ibu satu-satunya
keturunan Simbah yang pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Hidup saya sudah berbeda dari sepupu-sepupu yang lain.
Keluarga tidak mengerti betapa trauma psikologis berpengaruh
besar dalam kehidupan seseorang. Setiap kita tentu memiliki masa lalu dan itu
menjadi latar belakang masa sekarang. Apa yang menjadi sikap saya sekarang
sebagian juga hasil dari didikan yang saya dapatkan. Bukan murni dari kehendak
saya karena ada alam pikiran bawah sadar tadi. Sayangnya, saya disalahkan
sepenuhnya atas sikap dan sudut pandang terhadap keluarga.
Tanpa mempertimbangkan luka psikologis saya yang belum
sembuh.
Mengalami kegagalan beberapa tahun silam memicu semua
kecenderungan neurosis
dalam diri saya. Segala konflik diri yang belum selesai mencuat keluar. Rasanya
tidak enak sekali tatkala bayangan-bayangan kejadian buruk di masa lalu
menyerang pikiran saya. Menggerus kepercayaan diri dan menghilangkan
keseimbangan psikologis yang selama ini saya jaga. Itu saat saya benar-benar
berada di titik lemah dan keluarga tidak mampu menopang kegelisahan saya.
Saya paham apabila keluarga kecewa.
Ada yang berpikir kuliah di psikologi bisa membuat saya tahu
teknik menyembuhkan Ibu dari gangguan jiwa. Apabila beliau tahu betapa rumitnya
pikiran manusia, tentu pendapatnya akan berubah. Bukan hal mudah membenahi pikiran
manusia yang sudah bertahun-tahun dalam kondisi neurosis. Membutuhkan waktu dan
tenaga yang tidak sedikit, ditambah Ibu sendiri tidak memiliki kemauan kuat. Butuh mendorong sekaligus memberikan pemahaman agar Ibu berperilaku lebih
sehat.
Banyak hal terjadi setelah beberapa anggota keluarga membaca
tulisan-tulisan saya.
Ada yang masih merangkul, mengajak dan mau membuka
pikiran. Ada yang bersumpah tidak akan membantu urusan saya lagi. Terakhir ada
yang sangat marah sampai mengeluarkan segala penilaian yang disembunyikan
selama ini tentang saya. Mereka tidak salah, karena apa yang saya tulis juga
melewati batas –setidaknya batas adab di keluarga. Keluarga agak sulit memahami
bahwa saya berperang melawan segala pikiran berbahaya tentang bunuh diri dan
melukai tadi.
Tidak masalah, bukan hal aneh karena masalah psikologis
masih dipandang remeh sebagian masyarakat.
Jadi, entah apa cerita kehidupan saya bisa menginspirasi
pembaca. Apa yang saya hadapi sekarang adalah sesuatu yang mungkin juga
dihadapi pembaca. Barangkali tulisan ini bisa sedikit memberikan kunci atau
merangsang ide untuk tidak menyerah pada keinginan pada diri sendiri yang
destruktif. Bukan hal mustahil sembuh dari gangguan pikiran-pikiran negatif. Kita
selalu bisa melatih diri sendiri untuk terbiasa hidup dengan pikiran-pikiran
itu, dan menguasainya.
Terakhir, saya memohon maaf pada pembaca lobimesen.com yang
bosan dengan tulisan saya. Jujur saja saya yang membuatnya sendiri juga bosan.
Namun, harus diakui bahwa ini tulisan terbaik yang bisa saya berikan. Menulis
cerita fiksi seperti Sandy atau Kadek bagaikan membuat pesawat model baru buat
saya. Saya belum menemukan rumus untuk membuka ide dan imajinasi yang buntu.
Bercerita tentang kehidupan mungkin salah satunya, walaupun saya tidak yakin
itu cara terbaik.
Sekretariat SPMB UNS,
22 November 2017
Gambar: www.static.pexels.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar