Sebelum liburan tahun baru tiba, tepatnya Jumat 29 Desember saya
menyempatkan menonton Ayat-ayat Cinta 2 (AAC 2). Baru pertama kali saya
menonton film lokal sendirian. Sebelum-sebelumnya saya menonton film lokal kalau
bareng-bareng teman saja. Saya agak suntuk dan butuh penyegaran waktu itu. Dapat
tiket paling malam pun tak apa –karena besok sudah mahal juga sih. Dan saya
tidak menyesal membeli tiket demi kisah Fahri (Fedi Nuril) yang fenomenal saat
saya SMA itu.
Sekuel film Ayat-ayat Cinta (AAC) yang menceritakan romansa
religius Fahri dan Aisha ini good job
kalau buat saya. Ya mungkin untuk sebagian orang kisah Fahri ini menggambarkan
penulisnya yang too high expectation. Jelaslah, Fahri begitu
sempurna digambarkan tidak pernah berbuat dosa –seperti halnya tokoh Azzam
dalam Ketika Cinta Bertasbih (2009). Buat penggemar cerita realis AAC 2 bisa bikin
mual. Terlalu mimpi, mungkin kata mereka.
Kalau saya coba plotkan, setidaknya ada 2 plot besar dalam
AAC 2. Plot pertama berisi keindahan pribadi seorang Fahri. Ia menjadi dosen di
University of Edinburgh dan –dicitrakan –dikagumi banyak wanita. Kalau saya
lihat hampir seperti tokoh Fame dalam May Who (2015) yang bahkan sampai punya
penggemar laki-laki. Bedanya, Fahri secara serius dikagumi dan digilai para
wanita di sekelilingnya –hingga mereka ingin menikah dengannya .
Iyyyuuuh!
Setidaknya setiap ke-iyuh-an muncul, selingan komedi Hulusi
(Pandji Pragiwaksono) dan Misbah (Arie Untung) memberi ‘air segar’. Komedi mereka
terasa natural karena keduanya memang komedian. Lawakan mereka menurunkan tensi
film ketika ceritanya mulai tegang. Seperti saat Misbah memberikan carier-nya kepada Hulusi yang disangka
pembantu, dan saat masuk rumah carier
itu dilemparkan Hulusi ke pemiliknya dengan wajah kesal. Juga Misbah bicaranya
sering kocak dengan logat Jawa medhok.
Salah satu tokoh yang saya tunggu kemunculannya adalah Keira
(Chelsea Islan).
Gadis berambut merah yang benci seratus persen kepada Fahri.
Alasannya adalah ayahnya mati terkena bom bunuh diri di London. Saya agak
kecewa karena ternyata Keira muncul beberapa menit saja selama film
berlangsung. Namun beberapa menit cukup berkesan karena Keira memainkan biola
mungilnya dengan indah. Chelsea Islan harus latihan bermain biola selama 2 bulan
demi mendapatkan gerakan yang natural.
Sayangnya kesan karismatik Keira anjlok saat dia berkata,
“Nikahi aku Fahri.”
“Anjrit!” pisuh saya waktu itu. Wajah Keira yang semula
penuh pendirian tiba-tiba berubah memelas demi cinta seorang Fahri. Wah saya
tidak terkesan sama sekali dengan kenyataan dalam film itu. Setidaknya, harga
diri seorang wanita tidak serendah itu. Hanya karena dibayari les biola oleh
Fahri lantas Keira berlutut memohon agar dinikahi. Hati saya geli melihat
adegan Keira menangis memeluk Hulya (Tatjana Saphira) yang saat itu sudah jadi istri Fahri.
Sepanjang film berlangsung saya hanya menikmati unsur
filmnya.
Musik adalah first
impression saya terhadap AAC 2. Alunan bagpipe
langsung menarik fokus saya terhadap film ini. Saya bisa merasakan suasana
seolah sedang berada di Edinburgh hanya dari musiknya saja. Unsur kedua adalah
gambar yang cerah, jernih, dan warnanya tenang. Ini pas dengan karakter Fahri
sebagai pribadi yang tenang sampai-sampai AAC 2 terasa hampir tanpa emosi.
Apabila tidak ada musik latar itu mungkin saya sudah keluar dari bioskop.
Kesan datar begitu terasa dan film ini terasa tanpa tujuan.
Tujuan dakwah yang menyentuh seolah tidak tercapai dalam
film ini. Jika melihat AAC 2 sebagai sebuah film dan mengabaikan unsur cerita,
menurut saya cukup bagus. Sayangnya, jika melihat dari keseluruhan film AAC 2
terasa nanggung. Seolah materi dalam novel semuanya ingin dimasukkan
sutradaranya ke dalam film. Akhirnya bertumpuk dan masing-masing materi malah
tidak maksimal penyajiannya. Seperti saat debat Fahri di depan para akademisi
University of Edinburgh.
Adegan itu dikeluarkan untuk menyajikan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, atau meninggikan
tokoh Fahri? Saya melihat yang kedua malah lebih menonjol. Tidak logis dalam
debat terbatas tiba-tiba muncul Mommy Catarina (Dewi Irawan), seorang wanita
Yahudi menangis-nangis menceritakan betapa Fahri sangat indah pribadinya. Lebih
lucu lagi mendengar pidato Fahri saat naik podium: tanpa fakta ilmiah. Padahal
sebelumnya ada adegan ia membaca buku, mengetik, sampai ketiduran demi debat
itu.
Materi debat yang disusun –secara romantis –bersama Hulya itu kemana?
Secara detail adegan AAC 2 sangat bagus. Penjiwaan karakter,
emosi tiap pemain, ekspresi, kostum, semua begitu maknyus. Namun, secara keseluruhan AAC 2 memiliki banyak bolong, ya
karena terlalu banyak yang ingin ditampilkan tadi. Datar sedari awal sampai
akhir karena kayak nayangin musik dan gambar aja. Dialognya kurang berisi dan
beberapa kesannya dipaksakan. Seperti Fahri saat berucap ‘pancasila ada di sini
(hati) bhineka tunggal ika ada di mana-mana.’
Kalau mengritik cerita baiknya ke pengarang 'kan ya. Saya
tidak tahu apa di novel ceritanya terlalu muluk-muluk juga. Jelasnya, film ini
gagal menampilkan keseimbangan karakter-karakternya. Tokoh utama terlalu
dominan dan tokoh antagonisnya kurang dieksplor. Seperti Baruch (Bront Palarae)
bekas tentara Israel juga anak tiri Mommy Catarina yang menantang debat Fahri.
Lebih parah kemunculan Bahadur (Sellen Fernandez) di akhir-akhir cerita, gak
mendukung blas antiklimaks yang
tragis.
Malah terkesan aneh karena cerita AAC 2 jauh melompat dari AAC.
Terakhir saat transplantasi wajah maknanya apa buat penikmat
cerita? Andaikata memang suci dan tulusnya cinta Hulya menjadi penutup cerita,
sedari awal harusnya dibangun imej
itu. Malahan cerita yang dibangun Hulya mengejar-ngejar Fahri. Terlalu fantasi rasanya jika Fahri yang religius islami digilai wanita-wanita –sampai ada
yang genit-genit pula. Wibawa Fahri hilang saat reaksinya malah senyam-senyum.
Namun alhamdulillah saya mendapatkan pencerahan setelah
menonton AAC 2.
Setidaknya saya teringatkan bahwa laki-laki yang baik adalah
yang memuliakan wanita. Memuliakan bukan karena indahnya perilaku, tingkah laku
santun, atau keras ketaatannya kepada Tuhan, tapi karena mereka wanita. Mereka yang
diturunkan ke bumi untuk menjaga kelestarian kehidupan. Lelaki dikodratkan
sebagai pemimpin yang membimbing wanita, namun tidak untuk menguasainya. Tanpa
wanita laki-laki tidak mungkin ada karena hanya Adam As yang mak cling langsung jadi lelaki dewasa.
Fahri mungkin ditokohkan dengan tujuan memberikan idola kepada masyarakat.
Namun, idola yang terlalu sempurna barangkali kurang
berkesan. Idola yang diterima adalah yang bisa mewakili aspirasi dan perasaan
masyarakat. Contohnya Ridwan Kamil kalau di kehidupan nyata. Kalau di fiksi
superhero-superhero seperti Batman atau V sudah inspiratif sekali.
Mereka mematahkan rencana-rencana jahat yang merugikan masyarakat. Nah kalau
Fahri yang ia ingin patahkan apa dalam AAC 2 ini? Bahwa kalau cinta lantas
sebaiknya menikah tanpa pacaran?
Terlalu menggurui kalau menurut saya.
Pun andaikata ingin mengubah citra superhero dari kuat
secara fisik menjadi kuat secara spiritual, Fahri tidak cukup memadai untuk
‘superhero’ semacam itu. Lucu kalau mengingat adegan-adegan Fahri menolong
tetangga-tetangganya. Kok semudah itu kebaikan bisa diterima padahal untuk
membudayakan Islam di bumi pertiwi saja prosesnya beratus-ratus tahun. Oh
mungkin karena karisma Fahri yang membuat semua itu mungkin, ye kan?
Kapten Amerika versi Indonesia kayaknya ini si Fahri.
Yah namun kembali saya mengakui jika AAC 2 adalah film bagus
untuk film lokal. Mungkin banyak karya anak negeri yang sinematografinya lebih
jos dan nyeni, namun untuk film
dakwah AAC 2 bisa sebagai titik tolak. Kelak film-film dakwah seperti 3: Alif
Lam Mim (2015) bermunculan. Film yang menyimbolkan materi dakwah ke dalam
cerita, bukan mencontohkan secara teknis dalam perilaku tokoh utama. Ya semoga
saja demi film Indonesia yang lebih berkualitas, maju, dan diterima dunia.
Sekretariat SPMB UNS, 2
Januari 2018
https://www.britannica.com/topic/Captain-America
https://today.line.me/id/pc/article/Fahri+Ayat+ayat+Cinta+2+Maaf+Man+United+Manchester+is+Blue-3pOGVM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar