![]() |
Sumber Gambar |
Siang itu bisa dibilang sepi pelamar.
Namun, bukan berarti hari itu saya hanya makan gaji buta. Ada agenda ke kantor
imigrasi untuk mengurus dokumen keimigrasian karena kantor tempat saya bekerja
baru saja mendatangkan tenaga ahli dari China.
Ketika baru mengurus surat ijin dinas
luar, ada informasi dari pos security, bahwa ada satu pelamar. Saya
menginstruksikan kepada security yang sedang bertugas di pos depan untuk
menerima pelamar dan memberikan form aplikasi
pelamar. Pikir saya, tak apalah menyelakan waktu sebentar untuk interview
sambil menunggu jam istirahat shift pagi.
Setelah saya sudah mendapatkan tanda
tangan untuk keperluan dinas luar, saya langsung menuju kantin. Kebetulan saya
lebih sering melakukan interview di kantin, mengingat ruang rekruitmen yang
biasa digunakan interview sudah dialih fungsikan sebagai ruang dokumen dan
arsip.
Seperti biasa, sambil menyiapkan form interview dan melihat-lihat CV
pelamar. Untuk mencairkan suasana, biasanya saya mulai bertanya-tanya kepada
pelamar terlebih dahulu. Seperti tempat tinggalnya mana, dari rumah jam berapa,
kemudian dapat informasi dari mana kalo di tempat kerja saat ini ada lowongan pekerjaan.
Kemudian saya mulai mempersilahkan
pelamar untuk memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Dan dari perkenalan
tersebut, ada satu hal yang membuat saya, langsung meletakan pulpen saya.
kemudian ingin tahu lebih dalam ketika ia langsung jujur kepada saya, “Maaf Pak, sebenarnya saya lulusan
keperawatan, namun karena ada suatu hal, saya memutuskan untuk tidak
menggunakan keahlian sesuai akademik saya, dan memilih menjadi karyawan
perusahaan”
Waktu saya lihat pengalaman kerja di
CV-nya. Bahwa benar ia selama ini bekerja di industry yang sama dengan
perusahaan tempat saya bekerja. Dan saya justru mulai mendalami lagi kenapa ia
memutuskan untuk tidak bekerja di rumah sakit atau klinik mengingat ia adalah
seorang lulusan keperawatan.
Sebelum saya mulai menggali lebih
lanjut tentang keputusannya menyimpan ijazah keperawatannya, alih-alih
menggunakannya untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang akademiknya.
Tiba-tiba terdengar suara bel, tanda istirahat untuk shift pagi. Karena kantin
bisa dipastikan akan penuh sesak dengan karyawan shift pagi yang menggunakannya
untuk istirahat dan makan siang. Saya memutuskan untuk pindah lokasi interview,
yaitu di sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu di dekat resepsionis.
Di tempat biasa menerima tamu itulah,
saya justru keluar dari SOP dalam interview. Karena saya juga masuk shift pagi,
artinya sebenarnya sudah masuk jam istirahat saya. Waktu istirahat saya gunakan
untuk mngobrol hal santai dengan pelamar.
Ia kemudian mulai bercerita tentang
sebuah pengalaman ketika ia masih kuliah. Yaitu ketika sedang praktek dan untuk kali pertama berhadapan langsung mayat, ia merasa selalu diikuti dan bisa dibilang sampai mengganggu
kehidupannya. Sambil mengerutkan kening, saya seperti harus meyakinkan lagi
tentang apa yang ia ucapkan.
“Saya bisa merasaka kehadiran sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang
lain” Mendengar
ucapan itu, saya seperti sedang bertemu dengan orang yang cocok untuk diajak
diskusi. Jujur saya adalah orang yang selalu menganggap bahwa
ketakutan-ketakutan kita tentang sesuatu yang hal yang tak kasat mata, adalah
produk dari pikiran kita sendiri. Karena segala ketakutan yang muncul dalam
pikiran kita itu bersumber dari pengalaman-pengalaman kita sendiri, apalagi
dari kecil pemahanan tentang makhluk halus hanya bersumber dari cerita orang
lain, dikuatkan lagi dengan film-film horror Indonesia. Missal saya menjadi
sangat takut untuk ke kamar mandi seorang diri, karena saya baru saja menonton
film keramat. Iya, film keramat menurut saya, adalah film horror terbaik.
Daripada film horror lainnya yang lebih menonjolkan unsur sex ketimbang
horornya itu sendiri.
Dalam sesi berbalut seleksi interview
tersebut, ia bercerita tentang “kemampuan” yang ia miliki. Dan tentu hal itu
tidak saya masukan dalam hal keahlian atau kemampuan yang dimiliki dalam form
interview.
Menurutnya, kemampuan yang ia miliki karena
adanya garis keturunan dari sang Kakek, yang menurut penuturannya juga memiliki
kemampuan seperti dirinya. Pada awalnya saya sulit untuk mempercayai adanya hal
tersebut. Namun, bukan berarti juga saya tidak percaya dengan hal tersebut. Karena
jika kita dilihat, budaya juga berpengaruh dalam mencerna hal-hal yang berbau
mistis tersebut. Sedangkan budaya itu sendiri juga merupakan produk dari akal
pikiran manusia.
Sudah lama saya berusaha untuk
memahami hal tersebut, namun dalam pertemuan saya dengan seorang pelamar yang
menurut pengakuannya, ia sudah dari kecil mampu melihat apa yang tidak bisa
dilihat oleh kebanyakan orang. Iya, indigo! Suatu kemampuan seseorang yang
tidak dimiliki oleh semua orang, dimana ia mampu merasakan maupun melihat
sesuatu yang tak kasat mata.
Selama kurang lebih setengah jam
berdiskusi dengan dia. Saya benar-benar mengesampingkan form interview di hadapan saya. Dan malah melebar kemana-mana
membahas tentang "kemampuannya". Dan saya juga turut menceritakan tentang
ketakutan-ketakutan saya, dan mencoba untuk tidak keras kepala mempertahankan
argumen saya yang saya yakini selama ini.
Dan selama kurang lebih 30 menit
itulah, saya seperti disadarkan tentang adanya suatu batasan. Bahwa setiap orang
memiliki pengalaman mistis sendiri-sendiri. Tidak ada gunanya juga
memperdebatan tentang suatu yang belum pernah kita alami, sedang bagi orang
lain mungkin sudah menjadi hal yang terlalu sering ia alami. Dan untuk
pengalaman mistis yang pernah saya alami, mungkin akan saya tuliskan dalam
tulisan yang berbeda. Kalo sempat, tapi!
Kembali lagi tentang batasan. Obrolan
saya dengan seorang pelamar yang mengaku indigo tersebut, membuat saya menyadari akan keterbatasan pada
diri saya. Saya seperti halnya orang yang memiliki mata plus atau rabun jauh.
Artinya, saya memiliki batasan bahwa pada jarak tertentu ada obyek yang hanya
bisa saya lihat samar-samar, bahkan tidak mampu saya lihat sama sekali. Dan itu artinya, ada sesuatu yang tidak bisa saya jangkau.
Terima kasih untuk waktu dan pengalamannya, dan terima kasih telah mengingatkan bahwa memperdebatkan sesuatu yang tidak bisa kita jangkau adalah salah satu bentuk keegoisan dalam cara berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar